Atlet
Hebat Bernasib Buruk
S Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Universitas
Padjadjaran
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Juni 2017
MALANG nian nasib Sandra Diana Sari. Atlet angkat besi 53
kg peraih empat medali emas dalam Kejuaraan Angkat Besi Junior Asia di
Soreang, Kabupaten Bandung, Jabar, 1-5 Mei lalu itu kini mengemis di tepi
jalan. Dalam kejuaraan internasional Sandra pastilah membawa nama Indonesia,
bukan nama daerah asalnya, Sumbar. Namun, tak satu orang/lembaga pun yang
menghargai prestasi dara berusia 22 tahun itu. Karena itu, Sandra terpaksa
mengemis di tepi jalan bersama rekan-rekannya di persimpangan Masjid Raya
Kota Padang pada Jumat (12/5) dan hari-hari lainnya.
Tanpa merasa malu Sandra menyodorkan kardus bertulisan,
'Kotak Menggemis: Penggalangan Recehan untuk Sandra Juara Asia'. "Saya
terus minta sumbangan dari pengguna jalan karena tidak ada biaya lagi,"
kata Sandra. "Kami terus mengemis dan meminta recehan di jalanan sebelum
pemerintah dan KONI memperhatikan keadaan Sandra," kata Ketua Famili
Barbel Club dan Atlet Angkat Berat Padang Yal Azis (Metrotvnews.com, 12/5).
Ketua KONI Sumbar, Syaiful, mengatakan tahun ini Sandra tidak mendapatkan
dana binaan dari KONI karena tidak dianggarkan di APBD Sumbar.
Sandra baru bisa mendapatkan dana di anggaran perubahan
tahun ini. "Tahun 2016 Sandra atlet binaan KONI. Karena tidak
mendapatkan medali saat di PON, otomatis Sandra tidak bisa mendapatkan dana
dari KONI," ujar Syaiful. Ia tak melarang aksi Sandra dan teman-temannya
mengumpulkan uang receh di tepi jalan. "Pendanaan di dunia olahraga
diperbolehkan pihak ketiga memberikan bantuan," kata Syaiful. Sandra
menggalang dana agar dapat mengikuti Kejuaraan Nasional Angkat Berat 2017 di
Medan, Sumut, Agustus mendatang.
Ia tak punya cukup dana untuk membiayai persiapan
mengikuti kejuaraan itu. Setelah berprestasi pada Kejuaraan Angkat Berat Asia
2017, Sandra sama sekali tak menerima penghargaan dari KONI Sumbar, KONI
Pusat, dan lembaga/perusahaan mana pun. Sandra merupakan atlet binaan Family
Barbell Club di Kelurahan Matoaia, Kecamatan Padang Selatan. Di tempat itulah
dia bisa berlatih secara cuma-cuma. Sehari-hari Sandra bekerja di sebuah
warung makan, dari pagi hingga sore hari demi upah Rp60 ribu-Rp70 ribu/hari.
Upah itu digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari,
sekaligus menghidupi dua adiknya. Sandra juga harus menanggung sewa rumah
semipermanen Rp600 ribu/bulan, setelah ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.
Ibundanya hanya pencari kayu di ladang. Kisah pilu para atlet yang berhasil
mengibarkan bendera Merah-Putih di berbagai kejuaraan internasional tentu
bukan cerita baru di negeri yang konon kaya raya ini. Contohnya Suharto, kini
64 tahun, peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979.
Meski menderita hernia akut, dia tetap menjadi tukang
becak di Surabaya. Juga ada mantan olahragawan hebat yang menjadi kuli
bangunan, satpam, demi mempertahankan hidup. Bahkan dahulu di Medan seorang
mantan juara maraton Asian Games terpaksa menjual medali emasnya untuk
membeli beras. Para atlet hebat itu telah mengorbankan segala-galanya demi
membela nama negara/daerah masing-masing. Mereka mengorbankan sekolah/kuliah,
meninggalkan keluarga berbulan-bulan, dan bahkan menjual harta orangtua untuk
membeli alat-alat latihan.
Pemerintah pusat dan daerah hanya memuji-muji tanpa
memberi penghargaan yang pantas. Sangat beruntunglah para atlet peraih medali
di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, Brasil, yang meraih bonus luar biasa. Atlet
bulu tangkis ganda campuran Liliyana Natsir-Tontowi Ahmad, peraih medali
emas, memperoleh Rp10 miliar dari negara. Mereka juga memperoleh bonus besar
dari pemda dan pengusaha di Manado dan Jateng. Peraih medali perak dari
cabang angkat besi, Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni, masing-masing meraih
bonus Rp2 miliar.
Sebagai perbandingan, atlet peraih medali emas Olimpiade
2016 dari Singapura Rp9,8 miliar, Azerbaijan Rp3,3 miliar, Kazakhstan Rp3
miliar, Italia Rp2,4 miliar, Rusia hanya Rp799 juta, bahkan AS cuma Rp327
juta. Pemerintah Indonesia kini sangat menghargai keempat atlet besar kita
itu. Pada Olimpiade 2016 kita berada di peringkat kedua dalam jumlah bonus,
tetapi dalam prestasi kita peringkat ke-46 saja. Pemprov DKI Jakarta Raya
juga memberi bonus Rp1 miliar kepada setiap atlet mereka yang meraih satu
medali emas di PON XIX 2016 Jabar.
Jaminan hari tua
Sesungguhnya kita sudah lama memiliki UU No 3/2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) dan PP No 16/2007 tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan (PP PK). Namun, sayang, hukum olahraga itu
diskriminatif. Yang diberi penghargaan hanya para olahragawan profesional,
sementara olahragawan amatir dan olahragawan penyandang cacat sama sekali tak
memperolehnya. Menurut Pasal 1 ayat 19 UU SKN, 'Penghargaan olahraga adalah pengakuan
atas prestasi di bidang olahraga dalam bentuk material dan/atau nonmaterial'.
Pasal 55 ayat 3d-nya berbunyi, 'Setiap olahragawan
profesional mempunyai hak pendapatan yang layak'. Pendapatan yang layak ialah
penghasilan yang mencukupi untuk kesejahteraan yang memadai (di atas
kebutuhan hidup minimum). Pasal 86 UU SKN ayat 1 menyatakan setiap pelaku
olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan
yang berprestasi dan/atau berjasa memajukan olahraga diberi penghargaan. Di ayat
2-nya dinyatakan, penghargaan diberikan pemerintah pusat, pemerintah daerah,
organisasi olahraga, organisasi lain, dan/atau perseorangan.
Menurut UU SKN Pasal 86 ayat 3, penghargaan dapat
berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan
pangkat luar biasa, tanda kehormatan, dan lain-lain. Dalam PP PK Pasal 57
ayat 6 (d) dinyatakan, olahragawan profesional dalam melaksanakan kegiatan
olahraga mempunyai hak pendapatan yang layak. Selain diskriminatif, hukum
olahraga ini juga tidak berlaku mundur. Seharusnya penghargaan bukan hanya
bagi para olahragawan yang meraih medali sejak 2006 atau 2007, tapi juga bagi
para atlet hebat sebelumnya.
Jadi, para peraih medali zaman dulu tak lagi terus hidup
melarat dan sakit-sakitan. Melalui mdia ini, kita mengusulkan agar Presiden
dan DPR segera merevisi UU SKN 2005 agar tidak lagi membeda-bedakan
olahragawan profesional dengan olahragawan amatir dan penyandang cacat. UU
SKN juga harus diberlakukan buat para peraih medali sebelum UU SKN dibuat. Dalam
UU SKN baru itu harus ada patokan atau standar jumlah bonus. Harus pula
diatur jumlah penghargaan berupa jaminan hari tua atau gaji bulanan, sejak
meraih medali hingga usia 70 tahun.
Oleh karena merevisi sebuah UU biasanya sangat lama, untuk
sementara Presiden dapat segera mengeluarkan keppres tentang penghargaan
tetap dan tidak tetap bagi semua olahragawan peraih medali di Olimpiade,
Asian Games, SEA Games, dan di kejuaraan internasional lainnya. SK sejenis
juga perlu segera dibuat oleh setiap gubernur (buat para peraih medali di
PON) dan SK bupati/wali kota (buat peraih medali di Pekan Olahraga
Daerah/Porda).
Tentu jumlah penghargaan buat peraih medali di PON berbeda
dengan peraih medali di Porda. Bila itu diwujudkan, para atlet hebat tak lagi
mengalami masa depan suram. Para orangtua pun tak perlu lagi melarang anak
mereka menjadi olahragawan sejati. Salah satu penentu tinggi-rendahnya gengsi
atau derajat sebuah negara ialah prestasi para olahragawan mereka di
forum-forum internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar