AS
dan Kesepakatan Paris
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma
Jaya Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 07
Juni 2017
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan
secara eksplisit akan keluar dari Kesepakatan Paris, Rabu dan Minggu lalu.
Keputusan ini mungkin tidak lagi mengejutkan. Garis
politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan AS (American First) telah
menghasilkan keputusan-keputusan kontro versial di tingkat internasional
sebelum nya, seperti penarikan diri dari kesepakatan TPP (Trans Pacific
Partnership) dan mengurangi keeratan hu - bung an dalam NATO (North Atlantic
Treaty Organization).
Keputus an ini memang di satu sisi akan mengurangi
moralitas negara-negaramajudanber kembang untuk menciptakan lingkungan yang
lebih baik, namun di sisi lain juga memberikan ke - sem pat an lebih besar
bagi China untuk mengambil keko - song an kepemimpinan untuk melawan
perubahan iklim. Trump tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan proses
penarikan diri dari Kese pa kat - an Paris tersebut. Apakah sama sekali
keluar dan bergabung de - ngan Suriah dan Nikaragua se - bagai negara-negara
yang tidak terlibat dalam Kese pa kat an Paris atau menegosiasikan kem bali
syarat dan ketentuan yang telah disepakati.
Suriah tidak berpartisipasi di dalam Kesepakatan Paris
karena ma - sih terjebak dalam konflik yang tak berkesudahan sementara
Nikaragua menolak untuk ber - gabung karena merasa negaranegara maju belum
berkorban banyak untuk mencapai me - lawan perubahan iklim. Saya rasa kita
dapat melihat apakah pernyataan Trump ini benar-benar serius akan di jalan -
kan atau sekadar gertak sambal untuk merenegosiasi ulang ke - pen tingan AS
di Kesepakatan Paris tersebut dalam jalan yang diambilnya untuk keluar. Ada
dua jalan Trump dapat keluar dari Kesepakatan Paris. Pertama adalah mengikuti
pro - sedur untuk menunggu empat tahun baru bisa keluar dari ke - sepakatan.
Kesepakatan Paris mengatur bahwa sebuah negara hanya dapat
mengundurkan diri dari kesepakatan setelah tiga tahun Kesepakatan Paris itu
diimplementasikan. Ke se - pa katan Paris sendiri efektif berjalan sejak 4
November 2016 dan artinya AS harus menung - gu sampai November 2019. AS juga
tidak bisa segera keluar ka - rena ada kewajiban satu tahun masa transisi,
yang artinya me - nunggu sampai 2020, semen - tara pemilihan Presiden AS akan
terjadi pada tanggal 3 November 2020. Artinya ke putusan AS benar-benar
keluar akan sangat tergantung siapa presiden yang akan terpilih di tahun 2020
dan ini tentu akan menjadi materi kampanye yang akan meramai - kan bursa
pemilihan presiden AS di masa mendatang.
Dalam masa itu, Trump mungkin akan melakukan se -
rangkaian perundingan ulang dalam setiap berbagai kesem - pat an dalam
konferensi ling - kung an hidup untuk menya ta - kan posisi AS yang baru. AS
menilai ada beberapa butir kesepakatan yang merugikan kepentingan ekonomi AS,
setidaknya beberapa hal yang disebutkan Presiden Trump da - lam pidato
mengenai ke putus - an untuk undur dari Kesepa kat - an Paris. Misalnya ia
menuduh bahwa Kesepakatan Paris mem - berikan kesempatan bagi China untuk
membangun ratusan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sementara tidak
untuk AS.
Dalam ke nyata annya, China telah mem - batalkan
pembangunan 103 pembangkit listrik tahun ini. Di sisi lain, kesepakatan itu
sendiri bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Artinya tidak ada yang melarang
AS untuk mem - bangun industri batu baranya demikian pula negara lain. Jalan kedua
yang tersedia bagi Trump untuk benar-benar k eluar dari Kesepakatan Paris ada
lah sekaligus keluar dari United NationsFrameworkConventionon Climate Change
(UNFCCC).
UNFCCC adalah organisasi yang memiliki keanggotaan hampir
universal. Organisasi ini menye - diakan kerangka kerja yang men - jadidasar
kerjasamainter nasional untuk memerangi perubahan iklim. Dasar ini yang men
dorong ProtokolKyotodanKe sepakatan Paris2015. Pasal28Kesepakatan Paris
disebutkan bahwa setiap negara yang me ninggalkan UNFCCC dianggap juga telah
di - tarik dari Kese pakat an Paris. Apabila langkah kedua ini yang akan
diambil segera oleh Trump dapat menjadi sinyal bahwa Trump memang betulbetul
serius dengan ancaman - nya.
Meskipun harus menjalani satu tahun transisi, dia tidak
harus menunggu sampai tahun 2020. Jika AS keluar dari Kese - pakatan Paris
maka Eropa dan negara-negara berkembang lain tidak memiliki harapan lagi
selain menoleh ke China untuk memimpin perang melawan perubahan iklim. Posisi
China menjadi penting karena men - jadi negara penghasil emisi karbon
dioksida lima terbesar di dunia menurut Global Carbon Project. Posisi
tersebut diikuti berturut-turut oleh AS, India, Rusia, dan Jepang. Posisi itu
dapat berubah apabila diukur dari pendapatan per kapita.
Peter Singer dalam Project Syndicate 2017 menga - ta kan
bahwa AS yang jumlah pen d uduknya adalah 5% dari total populasi dunia
menghasil - kan emisi sebesar 15% dari total keseluruhan emisi karbon dunia,
sementara India yang pen duduknya 17% dari popu - lasi dunia hanya
menghasilkan 6% produksi emisi karbon du - nia. Fakta ini juga membantah
pernyataan Trump bahwa AS dirugikan dan negara lain diuntungkan dari
Kesepakatan Paris. Banyak pihak meng harap kan Chinatidakmenyurutkankomit -
mennya untuk meme rangi per - ubahan iklim dan juga beberapa negara lain yang
telah menye - pakati peta jalan untuk mengu - rangi emisi.
Di tingkat politik inter nasional, negara-negara maju yang
selama ini terdepan dalam mengadvokasi pengu - rang an emisi karbon mau tidak
mau harus berhadapan atau be - kerja sama China yang memiliki politik luar
negeri nonintervensi atau tidak mau tunduk dengan tekanan pihak lain termasuk
da - lam perjanjian atau kesepakatan inter nasional. Bukan saja China, India
dan Rusia adalah termasuk negara-negara yang harus diajak lebih erat bekerja
sama padahal dalam masalah politik lain, khu - susnya masalah di Timur Tengah
dan terorisme, posisi kebijakan yang mereka pilih kerap bertolak belakang.
Dengan kata lain, saya menyimpulkan bahwa keputusan Trump
untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris mungkin akan mendatangkan ke khawatiran
surutnya upaya untuk melawan perubahan iklim. Di sisi lain, ada kesempatan
terbuka bagi negara-negara yang selama ini sulit bekerja sama dalam masalah
politik internasional untuk mulai membangun sikap saling percaya melalui
usaha bersama melawan perubahan iklim.
Indonesia mungkin juga dapat mulai mem persiapkan skenario
lain untuk mengantisipasi kekosongan inisiatif AS yang secara konkret adalah
berkurangnya dana bantuan untuk programprogram lingkungan hidup. ●
( Mohon maaf, karena proses edit belum diselesaikan )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar