Presidential
Threshold
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro,
Semarang
|
KORAN
SINDO, 20 Juni 2017
Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu oleh DPR dan
pemerintah belum juga usai. Bahkan, walau tidak diharapkan, potensi
terjadinya jalan buntu (deadlock)
telah diantisipasi pemerintah. Masih terdapat perbedaan pandangan, baik
antarfraksi di DPR maupun antara fraksi di DPR dan pemerintah mengenai
beberapa isu utama yang menentukan corak sistem pemilu yang akan datang.
Salah satunya adalah tentang persyaratan ambang batas perolehan suara atau
kursi sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold/PT). Perdebatan
PT tidak hanya terkait dengan soal besaran persentase, tetapi juga dikaitkan
dengan eksistensinya, bertentangan dengan konstitusi atau tidak .
Eksistensi PT telah dinyatakan oleh MK tidak bertentangan
dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. PT ada di wilayah
kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) yang menjadi wewenang pembentuk und ang-undang. PT telah
diterapkan pada 3 kali pemilu di era reformasi. Soal PT kembali mengemuka
setelah adanya putusan MK yang menyatakan bahwa pemilu legislatif dan pemilu
presiden harus dilakukan secara serentak.
Walaupun putusan ini sama sekali tid ak berkaitan dengan
soal PT, banyak pihak menjadikannya sebagai landasan untuk menyatakan bahwa
dengan pemilu serentak, PT menjadi berten tangan dengan konstitusi.
Acuan Konstitusional
Landasan konstitusional pencalonan pasangan calon presiden
dan wakil presiden adalah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
”Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksana an
pemilihan umum.” Pasal itu menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden dapat diusul kan oleh satu partai politik saja atau oleh gabungan
beberapa partai politik yang bersama-sama mengusulkan satu pasangan calon
presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Memaknai ketentuan tersebut tentu tid ak dapat dilepaskan
dari konteks pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya dari arah sistem
kepartaian. Para perumus perubahan UUD 1945 telah mendiskusikan bahwa untuk
membentuk pemerintahan yang stabil atau yang dapat dikelola (governa bility),
diperlukan sistem multipartai sederhana. Tidak seperti sistem multipartai ek
strem di awal era Reformasi dan belajar dar i hasil Pemilu 1999, tetapi di
sisi lain juga tidak mau terjebak pada sistem kepartaian terbatas seperti
masa Orde Baru.
Sistem multipar tai sederhana itu di - wujudkan dalam
sistem pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil
presiden. Salah satu wujudnya adalah rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Frasa ”diajukan oleh partai politik ” berarti bahwa satu partai politik dapat
mengajukan satu pasangan calon presiden d an wakil presiden. Partai politik
ini adalah partai politik yang memiliki kekuatan politik tertentu sehingga d
apat menjamin stabilitas pemerintahan serta governability, khususnya d alam
hubungannya dengan DPR.
Jika suatu partai politik itu tidak memiliki kekuatan
politik yang signifikan guna menjaga stabilitas dan governability, partai itu
harus bergabung dengan partai politik lain untuk mengajukan satu pasangan
calon presiden dan wakil presiden bersama-sama. Karena itu pasangan calon
presiden dan wakil presiden juga dapat diajukan oleh gabungan partai politik
.
Kriteria kekuatan politik yang paling ter ukur sebagai
dasar pengajuan pasangan calon adalah suara sah yang diperoleh dalam pemilu
leg islatif atau jumlah kursi yang diperoleh di DPR . Antara suara sah yang
diperoleh dengan jumlah kursi yang diperoleh di DPR tentu tidak akan banyak
selisih mengingat sistem pemilu leg islatif yang menganut sistem proporsional
atau distrik berwakil banyak.
Persentase jumlah kursi DPR pasti lebih tinggi dari
persentase suara sah yang diperoleh karena adanya suara yang tidak diperhitungkan,
baik karena tidak memenuhi parliamentary threshold maupun sisa suara yang
tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Pemilu Serentak dan PT
Walaupun saat ini pendapat yang menolak PT didasarkan pada
pelaksanaan pemilu serentak, sesungguhnya kedua hal itu memiliki orientasi
yang sama, yaitu mencapai stabilitas pemerintahan. Keduanya berangkat dari
asumsi bahwa meskipun dalam sistem presidensial kekuasaan presiden
mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat , dalam realitas politik
dan ketatanegaraan dipengaruhi oleh relasinya dengan parlemen.
Pencapaian stabilitas pemerintahan melalui pemilu serentak
diharapkan terjadi terutama dari efek keserentakan (cocktail effect) terhadap
pilihan pe milih. Pemilih diharapkan memberikan pilihan secara konsisten
antara partai politik untuk pemilu legislatif dan pasangan calon presiden
serta wakil presiden yang diusung. Hal ini juga didorong oleh pelaksanaan
kampanye secara bersamaan sehingga antara partai politik pengusung dengan
pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat saling mengampanyekan.
Par tai politik diharapkan membang un koalisi permanen,
yaitu koalisi yang dibangun sebelum pelaksanaan pemilu legislatif sehingga
tidak semata-mata ditentukan oleh per timbangan kekuatan politik praktis.
Tapi tetap harus diingat bahwa kasus sebaliknya dapat saja terjadi. Antara
pilihan terhadap partai politik berbeda dengan pilihan atas pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Hal ini sangat dimungkinkan karena pemilih Indonesia
cenderung memilih partai berdasarkan ikatan ideologis tradisional, sedangkan
pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden lebih didasarkan pada
popularitas figur. Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009, walaupun
pemilu belum dilaksanakan secara serentak.
Setidaknya Pemilu 2009 di mana tiap partai telah dapat
diramalkan akan mengusung calon presiden yang mana ter nyata partai politik
pemenang pemilu tidak mampu menjamin pasangan calon presidennya terpilih.
Sebaliknya pre siden terpilih ternyata adalah calon yang diajukan partai
politik menengah. Terdapat potensi besar yang mendorong partai politik tetap
mengajukan calon masing-masing.
Target yang dituju bukan menjadi calon terpilih, melainkan
menyolidkan suara partai politik, apalagi jika kapasitas merebut suara dari
orang yang dicalonkan lebih besar dari kapasitas par tai politik. Partai
politik tidak akan takut kehilangan momentum untuk membangun koalisi
pemerintahan karena masih ada kesempatan yaitu pada saat penyusunan kabinet.
Perolehan suara pemilu sebagai dasar koalisi yang
dihindari oleh pemilu serentak sebagai dasar koalisi saat mengusung pasangan
calon bergeser menjadi dasar koalisi dalam pembentukan pemerintahan yang
sangat mungkin lebih bersifat pragmatis lagi. Karena itu tujuan dari pemilu
serentak adalah untuk mewujud kan stabilitas pemerintahan d an governability
melalui proporsionalitas antara hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden
serta melalui pembentukan koalisi permanen sesung guh nya yang lebih kuat
jika menggunakan ketentuan PT.
Keharusan melakukan koalisi semakin kuat karena kalaupun
masih ada kemungkinan koalisi pada saat pembentukan peme rin tahan, koalisi
awal yang di bangun pada saat pengajuan pa sangan calon akan lebih per manen
dan menarik bagi partai politik. Koalisi yang terbentuk melalui persyaratan
PT juga memastikan proporsionalitas antara komposisi kursi di DPR dengan
Presiden terpilih. Karena itu tidak ada alasan mempertentangkan antara pemilu
serentak dengan eksistensi PT.
Persoalannya hanya pada tataran teknis dan peralihan. Pada
tataran teknis menentukan dasar PT dengan sendirinya pilihan terbaik ad alah
hasil pemilu sebelumnya. Ad apun un tuk partai baru perlu dirumuskan pada
ketentuan peralihan, misalnya harus berkoalisi dengan partai lama atau dapat
mengajukan sendiri bersama sejumlah partai baru yang lain. ●
|