Upaya
Mencari Pemimpin Mampu di Era Demokrasi
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 05
Mei 2017
DIA tampak
sering gelisah. Terutama di dua tahun terakhir masa kepresidenannya. Jenderal
TNI Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono berpikir dan terus berpikir. Terutama
mengenai masa depan Indonesia. Lebih khusus lagi mengenai nasib kesinambungan
kepemimpinan nasional.
Dalam bahasa
blak-blakan saya: Siapa presiden setelah dia? Mampukah si pengganti
melanjutkan capaian kemajuan yang dia peroleh selama dua periode
kepresidenannya? Bisakah sistem demokrasi saat ini menghasilkan pemimpin yang
menjamin kemajuan negara? Dan seterusnya.
Di alam
demokrasi seperti ini, siapa yang lebih disukai akan lebih memungkinkan
dipilih daripada siapa yang lebih mampu. Ini karena suara seorang penjambret
bus kota sama nilainya dengan suara seorang profesor atau doktor.
Kegelisahan
SBY itu, menurut pengamatan saya, dilatarbelakangi beberapa hal. Mungkin
pengamatan saya ini tidak tepat. Jawaban yang paling tepat tentu akan datang
dari SBY sendiri. Misalnya, bila suatu saat nanti Presiden SBY menulis memoar
dan jangan lupa mengupas soal ini. Namun, karena saat itu saya termasuk salah
satu menteri kabinetnya yang di pos yang secara ekonomi cukup penting,
rasanya pengamatan saya ini tidak akan terlalu meleset.
Pertama, SBY
tampak gelisah karena sampai saat itu belum muncul nama calon penggantinya
yang lebih mampu dari dia. Bahkan setara pun tidak.
Di antara nama
yang beredar luas di masyarakat saat itu barulah sebatas orang yang memenuhi
kriteria disukai. Dia populer. Dan memang orangnya sederhana. Tetapi, saat
itu dia belum memiliki track record yang hebat. Terutama untuk satu beban
tugas berat secara nasional.
Kedua,
Presiden SBY merasa selama kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat besar. Dalam kurun yang panjang. Selama dua periode kepemimpinannya.
Terutama di bidang ekonomi, stabilitas, dan kesejahteraan.
Di zamannyalah
Indonesia berhasil masuk kelompok negara G-20. Besaran ekonomi Indonesia
masuk 16 besar dunia. Pendapatan per kapitanya mencapai 4.500 dolar. Dan
seterusnya.
Tentu masih
banyak alasan lainnya. Kalau mau, saya bisa membuat daftar sampai 10 alasan.
Tapi, dua itulah yang saya catat yang paling utama.
Kegelisahan
mengenai siapa yang bakal meneruskannya itu didasari pada logika berpikir SBY
yang kuat. Presiden SBY sering mengemukakan logika begini: ’’Dalam sistem
demokrasi seperti ini, orang yang mampu belum tentu terpilih dan orang yang
terpilih belum tentu mampu’’.
Kalau sampai
itu yang terjadi, maka negara yang jadi korban. Demokrasi sebagai alat
memajukan negara hanya berhenti sampai di alat. Tapi, SBY sangat komit pada
demokrasi. Meskipun ada logika ’’yang mampu belum tentu terpilih dan yang
terpilih belum tentu mampu’’, demokrasi tidak boleh dibunuh. Sebaliknya harus
juga diupayakan jangan sampai muncul ketidakpercayaan pada demokrasi akibat
’’yang mampu tidak terpilih, yang terpilih tidak mampu’’.
Masih ada
waktu, waktu itu. Presiden SBY terus mengamati perkembangan di masyarakat dengan
harap-harap cemas. Akankah akhirnya muncul bakal calon yang dinilai mampu dan
punya kans untuk terpilih?
Diikutinya
situasi politik dari waktu ke waktu. Ternyata, belum juga muncul nama yang
memasuki kriteria ’’mampu dan bisa terpilih’’. Yang beredar saat itu masih
terus saja ’’populer tapi belum tentu mampu’’.
Kalau sampai
Indonesia jatuh ke tangan ’’populer tapi belum tentu mampu’’, Presiden SBY
seperti harus ikut bertanggung jawab. Terutama kalau kelak, setelah dia
lengser, Indonesia mengalami kemunduran. Bisa ada penilaian bahwa dia kurang
negarawan. Tidak berpikir strategis untuk masa depan bangsanya.
Dari pikiran
merasa ikut bertanggung jawab itulah rupanya muncul idenya yang brilian:
Mencari orang yang mampu biarpun orang itu belum populer. Dasar berpikirnya:
Untuk bisa populer masih bisa dibuat. Tapi untuk bisa ’’mampu’’ tidak bisa
mendadak mampu. Sebagian besar orang memang akan bisa mampu. Tapi, proses
untuk menjadi mampu itu ada yang cepat dan ada pula yang lambat. Negara
sedapat mungkin tidak menjadi taruhan tempat meningkatkan kemampuan
seseorang.
SBY termasuk
yang berpendapat harus ada mekanisme tertentu untuk membuat orang yang mampu
menjadi populer. Dan akhirnya bisa terpilih. Banyak orang mampu yang sengaja
tidak ingin populer. Menjadi populer punya risikonya sendiri: bisa menjadi
sasaran angin topan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar