Terima
Kasih Ahok!
Imam Shamsi Ali ; Presiden
Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 10 Mei 2017
Dalam tradisi Islam, dan sekiranya Ahok
meyakininya, kata yang pantas terucap dalam kasus ini adalah alhamdulillah
(puji syukur pada Tuhan). Syukur karena terlalu banyak pelajaran yang wajar,
bahkan harus diambil oleh semua pihak. Hikmah-hikmah dari peristiwa ini
serasa telah dirancang oleh Pencipta langit dan bumi. Mungkin, selama ini,
banyak hal berlalu tapi semua seolah seperti biasa. Menjadikan kita berpura-pura
bisu, atau memang telah buta dan tuli, sehingga semua berlalu tanpa makna
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya menuliskan ini secara khusus ingin
menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Ahok. Ini bukan
basa basi. Tapi, tersadarkan oleh sensitivitas rasa adil yang masih
bersemayam dalam hati kecil ini. Bahwa Ahok telah secara tidak langsung
menjadi "penyebab" hadirnya hikmah-hikmah tadi.
Selama ini mayoritas rakyat Jakarta, bahkan
Indonesia, terbuai oleh propaganda-propaganda media dan pencitraan, seolah
calon pelayan publik jika datangnya dari kelompok mayoritas bangsa ini pasti
diidentikkan dengan ketidak mampuan dan korupsi. Sehingga, begitu banyak
rakyat Jakarta, dan Indonesia menutup mata terhadap realita bahwa yang
namanya kesempatan dan kapabilitas itu tidak harusnya didominasi oleh
kelompok tertentu. Jujurnya, terlalu banyak juga dari kalangan umat Islam
yang mampu asal diberikan kesempatan yang sama.
Kalau bukan karena ulah Ahok, secara khusus
seperti yang diputuskan oleh Majelis Hakim sebagai penistaan agama tertentu,
mungkin saja rakyat Jakarta masih terbuai dengan propaganda-propaganda tadi.
Sehingga, persepsi yang berkembang selama ini cenderung diterima sebagai
fakta.
Terima kasih Ahok. Anda sudah membangunkan
kesadaran umat Jakarta, dan dengan sendirinya Indonesia, jika dalam dunia
demokrasi biarlah semua berjalan secara alami. Jangan pernah ada vonis sosial
melalui ketuhanan media dan uang untuk menggagalkan peluang bagi semua
kalangan dalam rumah Indonesia kita.
Selama ini yang paling berat bagi umat Islam
adalah keluar dari sel-sel sempit golongan mereka. Masing-masing merasa
berjuang untuk bangsa, negara dan agamanya. Tapi, sesungguhnya esensi
perjuangan mereka adalah sekedar memperkuat dan memperindah sel-sel sempit
itu.
Terima kasih Ahok. Anda telah memberikan
nasehat dan peringatan yang berharga kepada umat Islam. Bahwa persatuan itu
begitu berharga. Bahwa persatuan itu adalah kekuatan yang dahsyat.
Selama ini umat tercabik-cabik oleh
kepentingan sempit dan golongan masing-masing. Tapi dengan sikap anda, baik
pada kata-kata maupun karakter, telah menyadarkan mereka bahwa di hadapan
umat ini adalah kepentingan yang lebih besar. Yaitu membela kebenaran,
keadilan, keragaman dan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran yang
terbangun dengan begitu dahsyat karena Anda.
Kesatuan umat itu tersimbolkan dalam gerakan
411, 212, dan seterusnya. Sebuah aksi demokrasi yang seharusnya dicatat oleh
sejarah, tidak saja oleh bangsa Indonesia. Tapi dicatat oleh sejarah
perjalanan demokrasi dunia itu sendiri.
Bagaimana mungkin ada demo besar, menuntut
keadilan atas penistaan Kitab Suci mereka, dengan realita bahwa mereka adalah mayoritas. Tapi, semua itu,
dilakukan dengan suasana damai dan tertib. Di mana di dunia ini bisa terjadi
seperti itu? Apalagi dalam konteks umat Islam yang selalu dipersepsikan keras
dan anarkis?
Terima kasih Ahok. Andalah penyebab sehingga
realita yang sesungguhnya tentang umat ini mematahkan mitos banyak orang jika
umat Islam itu tidak mengenal kata damai. Anda membuka mata dunia bahwa yang
diinginkan umat Islam itu hanya satu, adil.
Dan jika keadilan itu dipenuhi, damai yang
memang karakter alami umat ini dapat diwujudkan. Maka seharusnya Aksi 212 itu
masuk MURI dan dijadikan kebanggan nasional Indonesia dan dunia Islam.
Karenanya sekali lagi, terima kasih Ahok. Anda menjad penyebab tersingkapnya
mutiara keumatan ini.
Juga terima kasih Ahok, Anda telah menjadi
contoh dua hal sekaligus. Bahwa sesungguhnya Indonesia sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, yang selama ini berusaha dipropagandakan
sebagai negara yang "kurang fair" terhadap minoritas, anda
membuktikan mampu menjadi walikota ibukotanya.
Terima kasih karena Anda dari kalangan
minoritas dalam minoritas (Kristen Cina) tapi menjadi penyebab tersingkapnya
realita bahwa dalam negara Indonesia itu semua bisa saja menjadi seseorang.
Termasuk Anda menjadi gubernur dari ibukota negara Muslim terbesar di dunia.
Kalau itu terjadi di Inggris mungkin biasa
saja. Toh memang kita akui bersama kalau Inggris sudah taubat dari masa
lalunya yang kelam di seluruh dunia. Kalau itu terjadi di Amerika, mungkin
itu juga biasa saja. Karena Amerika memang telah merdeka sejak 4 Juli 1776.
Tapi ini terjadi di sebuah negara berkembang, mayoritas Muslim, merdeka
relatif baru.
Tentu banyak orang yang terbingung-bingung
bahkan menganggap ini sebuah peristiwa aneh. Negara berkembang, mayoritas
Muslim, relatif baru memasuki era demokrasi, kok bisa seorang minoritas dalam
monoritas bisa menjabat gubernur ibukota. Sebuah posisi yang sesungguhnya
mewakili wajah dari negara Indonesia itu sendiri.
Maka, saya membayangkan di Cina sana ada orang
Muslim yang jadi gubernur, di salah satu daerah saja. Tidak usahlah di Peking
atau di ibukota RRT. Atau saya membayangkan seorang Muslim menjadi gubernur
di ibukota Singapura. Atau seorang Muslim menjadi gubernur di Manila, Roma,
atau di negara-negara yang mayoritas non Muslim itu. Ah nampaknya mimpi. Tapi
terima kasih Ahok, anda telah menjadi penyambung lidah bangsa ini kalau
Indonesia itu memang hebat.
Terima kasih juga Ahok, anda telah menjadi
penyebab harapan dan optimisme di Indonesia. Bahwa hukum dan penegak hukum
(hakim-hakim) di negara ini masih banyak yang jujur. Saya yakin proses
persidangan anda penuh dengan intervensi. Intervensi oleh masyarakat di
jalan-jalan, dan ini adalah wajar dalam dunia kebebasan dan demokrasi selama
dilakukan secara damai dan civil (beradab).
Tapi, juga tidak kalah pentingnya melalui
kasus Anda, hakim-hakim telah membuktikan reputasi yang baik. Saya yakin,
tekanan dan intervensi di belakang layar itu sangat luar biasa dari pihak
yang punya kekuatan, baik politik maupun ekonomi. Tapi, pada akhirnya hakim
telah memutuskan sesuatu yang boleh jadi belum memuaskan kedua pihak. Tapi
itulah kata hukum. Di saat hukum telah berbicara, maka biarlah hukum
menikmati hak supremasinya tanpa intervensi lagi.
Banyak orang yang ragu apakah hakim akan
independen dalam keputusannya. Saya yakin di kedua belah pihak ada keraguan
itu. Kenyataannya, kasus Anda ini bisa kembali dijadikan sebagai
"barometer" keadilan di Indonesia. Walau ini hanya percikan cahaya
di tengah kegelapan peradilan di Tanah Air.
Akhirnya juga terima kasih karena Anda telah
mengingatkan kita semua betapa berharganya "toleransi dan
kerukunan" antaumat itu. Tapi, toleransi dan kerukunan itu bukan sesutau
yang jatuh dari langit. Melainkan sebuah proses panjang, menaiki gunung
tinggi dan menyelami dalamnya laut. Betapa tidak mudahnya merajut hubungan
harmoni di tengah keragaman Indonesia yang luar biasa itu.
Dengan sikap Anda selama ini, dan pernyataan
Anda dalam beberapa kesempatan itu, telah mengingatkan kita bahwa toleransi
dan kerukunan yang mahal itu harus kita jaga bersama. Itu adalah aset bangsa
dan negara ini, melebih Freeport dan kekayaan lainnya.
Apalah arti kekayaan alam, jika manusianya
tidak mampu membangun kehidupan yang harmoni dan damai di antara mereka. Oleh
karenanya setiap sikap dan kata dari anak-anak bangsa harus dijaga
sensitivitasnya agar toleransi dan kerukunan yang telah menjadi "darah
daging" manusia Indonesia itu tidak terkoyak dan terkontaminasi.
Pada akhirnya saya ingin menutup dengan
mengingatkan kepada saudara-sauara seiman dan seislam saya. Bahwa jika selama
ini Anda merasa berjuang untuk memenangkan sesuatu, yakinkan diri Anda bahwa
yang Anda perjuangkan bukan ego dan amarah. Bukan permusuhan dan dendam. Tapi
demi kebenaran dan keadilan untuk
terwujudnya kebaikan nasional bagi bangsa dan negara.
Oleh karenanya, jangan angkuh dan sombong.
Sebaliknya "fasabbih bihamdi Rabbika wastagfiruh" (besarkan puji
Tuhan seraya meminta ampun). Mengingatkan kita semua untuk rendah hati dan
mengembalikan pujian kepada Allah semata. Bahkan meminta ampun karena dalam
proses itu boleh jadi ada yang kurang, atau sebaliknya ada juga yang
melampaui batas.
Ingat, hiruk pikuk selama ini bukan anti
minoritas, bukan anti Kristen, bukan anti ras tertentu (Cina), dan lain-lain.
Kalau ada di antara umat ini yang memusuhi orang karena agamanya atau karena
etnik dan ras, saya akan berada di garis terdepan untuk mengingatkan, bahkan
melawan. Karena kalau itu terjadi maka dengan sendirinya kita melecehkan
agama (Alqur'an dan sunnah Rasul) itu sendiri, yang mewasiatkan: "jangan
karena kebencian kamu kepada kaum tertentu menjadikan kamu tidak adil.
Bersikap adillah karena lebih dekat kepada ketakwaan" (Alquran).
Allahu Akbar...merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar