Siapa
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 29 Mei 2017
Untuk Romo Magnis-Suseno
Siapakah Ahok? Siapakah X? Dan Y? Bagaimana Anda
menentukan mereka?
Saya ingat Groucho Marx. Ketika seseorang minta agar sang
komedian menjelaskan identitasnya, ia menjawab, "Saya tak punya foto.
Saya hanya punya jejak, tertinggal di kaus kaki saya."
Sebuah jawaban yang berseloroh, tapi juga jawaban yang
bisa diberi makna yang lebih jauh. Identitas bukan terpaut di potret KTP.
Identitas lahir dari sejarah perjalanan yang panjang. Identitas ada karena
kita ingin mengenali orang lain, juga diri sendiri, dengan cara sederhana.
Identitas adalah penyederhanaan. Tentang seseorang, kita
ambil satu sisi pribadinya saja dari beraneka ragam sisi, dan kita beri
tanda. Mungkin nama.
Yang sering diabaikan, satu sisi saja akan tak cukup,
bahkan tak adil, jika kita anggap bisa mewakili seluruh gurat yang tak
tepermanai dalam diri seseorang. Kita bisa menghadirkan multiplisitas itu
sebagai satu, tapi "satu" itu-jika kita pinjam argumen Alain
Badiou-sebenarnya bukan.
Ada sejenis kekerasan: menentukan identitas adalah
menyisihkan. Bila saya dan pejabat sensus mengatakan "Goenawan seorang
Jawa", kesimpulan itu diambil seraya menyisihkan sisi "Jawa"
yang lain yang barangkali ada.
Sebab bisakah kita mengetahui "Jawa" dengan
mendefinisikannya? Tidak. Benarkah pengertian "Jawa" dalam diri
saya mewakili seluruh "ke-Jawa-an", kalaupun "ke-Jawa-an"
itu ada? Tidak.
Tapi kita sering terhanyut "politik identitas".
"Politik" ini, sebagaimana diketahui, mula-mula gerakan (dan gelora
hati) berdasarkan kesamaan etnis atau gender. Di tahun 1970-an ia berjangkit
di AS sebagai bagian dari perjuangan untuk kesetaraan-perjuangan yang berbeda
dengan pertentangan kelas Marxis.
Waktu itu, perempuan-perempuan, juga orang-orang hitam,
bersama-sama membentuk, atau menjadi, satu identitas. Keanekaragaman mereka
sendiri diwakili dalam yang satu itu. Dengan itulah mereka menggedor tembok
lapuk masyarakat, hingga ruang pun terbuka bagi yang semula tak masuk
hitungan.
Yang dilupakan: "politik identitas" adalah
produk sebuah masa, sebuah tempat. Ia tak berakar pada yang selamanya ada.
Identitas pada dasarnya hasil keputusan politik. Setidaknya, menegaskan
identitas punya fungsi instrumental: cara praktis buat memperoleh pengakuan,
kekuasaan, dan kedaulatan.
Itu, tentu saja, berlainan dengan sikap yang menyambut
identitas sebagai bagian dari keterbukaan kepada yang berbeda-sebuah
"sikap ethis". Dalam sikap ethis, seperti pada Groucho Marx,
identitas dianggap tak sekaku pasfoto; identitas diletakkan bukan sebagai
konsep yang mandek, melainkan sesuatu yang terjadi dalam sejarah, berubah
terus, serba mungkin. Dalam sikap ethis, identitas hadir bagaikan sebuah
gugusan, atau "konstelasi", ciri-ciri yang berdekatan tapi bisa
lepas.
Tentu, orang suka bisa punya identitas dan menganggapnya
sangat berharga. Amin Maalouf, sastrawan Prancis asal Libanon, orang Katolik
dari tengah masyarakat Islam, menyebutnya "les
gènes de lâ âme".
Tapi sebagian besar dari "gen sukma" itu,
seperti diakui Maalouf sendiri, bukan sesuatu yang lahir bersama kita. Ia
didapat atau ditera dari proses bermasyarakat. Siapakah Ahok, X, dan
Y-jangan-jangan Anda ikut menentukannya. Tapi pada saat-saat tertentu, Ahok,
X, dan Y adalah nasib-nasib tersendiri (dan "nasib adalah kesunyian
masing-masing", kata Chairil Anwar), tak mewakili apa pun, tak diwakili
apa pun.
Bertolak dari paradigma politik identitas, para penelaah
menutup mata kepada nasib-nasib itu-di mana pengertian "minoritas"
dan "mayoritas" tak berlaku.
Tidakkah kita perlu paradigma baru?
Yang jelas, kita perlu politik keadilan yang membuka jalan
bagi orang-orang yang terjepit: politik buat yang lemah dan digusur, juga
politik buat yang dibungkam kebencian dan suara beringas. Mungkin ia X,
nelayan yang lautnya direbut, mungkin ia Y, gadis toko yang diberhentikan.
Mungkin ia bernama Ahok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar