Shari'ati
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 08 Mei 2017
Tak cukup hanya mengatakan kita harus kembali ke Islam. Kita
harus jelaskan Islam yang mana: Islam-nya Abu Zarr atau Islam-nya Marwan Sang
Penguasa.... Islam kaum miskin, rakyat yang diisap, atau Islam khalifah,
Islam istana....
-- Ali Shari'ati
Iran, tahun
1960-an. Shah berkuasa dan dinas keamanan yang ditakuti itu, SAVAK, bekerja
sebagai mata dan telinga di tiap sudut.
Syahdan, pada
suatu pagi 2 Juni 1964 sebuah mobil Mercedes 320 sampai di pos perbatasan di
Bazargan, dengan tiga orang dewasa dan tiga anak kecil di dalamnya. Petugas
meminta mereka turun. Di dalamnya ada Ali Shari'ati beserta istri dan
anak-anaknya, menumpang mobil milik seorang temannya dari Paris. Di pos
perbatasan itu Shari'ati dipisahkan dari keluarganya dan diinterogasi.
Ia mungkin tak
menyangka, setelah lima tahun ia kuliah di Sorbonne, Paris, SAVAK masih belum
menghapus namanya sebagai pembangkang. Tahun 1952 ia, ketika masih jadi guru
sekolah menengah dan mendirikan Persatuan Pelajar Islam, ikut dalam sebuah
demonstrasi protes; ia ditangkap. Tahun 1957, setelah lulus dari universitas
di Mashhad, ia juga dipenjarakan; ia anggota gerakan yang mendukung Perdana
Menteri Mosaddeq yang digulingkan militer dengan bantuan CIA. Tahun 1959 ia
bebas dari pengawasan; ia mendapat kesempatan ke Paris untuk melanjutkan
studinya. Tapi pagi itu, dalam perjalanan pulang ke Mashhad, kota
kelahirannya, ia disetop. Petugas keamanan mengirimnya ke penjara Qezel
Qal'eh.
Ia ditahan
selama enam minggu. Tapi kelak ia akan dipenjarakan lagi selama 18 bulan di
Penjara Komiteh yang seram.
Dari pemikiran
dan riwayatnya, namanya harum sebagai "ideolog Revolusi
Iran"--revolusi yang meletus setahun setelah ia tiba-tiba meninggal di
Southampton, Inggris, 19 Juni 1977. Bukunya, pamfletnya, rekaman pidatonya
dibaca luas dalam perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Shah--bahkan lebih
dikenal ketimbang pemikiran Ayatullah Khomeini.
Tak berarti
Shari'ati menawarkan doktrin yang "siap-pakai" seperti Lenin dalam
Revolusi Rusia di awal abad ke-20. Tulisan Shari'ati lebih literer ketimbang
sistematis--dan lebih menggugah. Gagasannya merupakan perjalanan mencari. Ia
cendekiawan yang dibesarkan dalam tradisi Islam, khususnya Syiah, yang
bergulat dengan masalah besar negerinya: penindasan politik dan sosial dan
kebekuan pemikiran--hal-hal yang dialami banyak orang Iran waktu itu.
Ia beruntung.
Iran punya khazanah yang kaya dalam sastra dan filsafat, dan terutama sufisme,
dan sekaligus sumber-sumber intelektual abad ke-20. Tapi keberuntungan itu
juga membawa problem. Hadirnya pelbagai acuan itu--terutama ajaran Islam yang
mewariskan nilai-nilai luhur dan Marxisme yang menjanjikan pembebasan dan
keadilan--sering membelah perspektif. Shari'ati mencoba, dengan susah payah,
menghindari bentrok kedua acuan dalam hidupnya itu.
Ia ambil dari
sejarah Islam satu tauladan: Abu Zarr. Tokoh ini hidup di abad ke-7, konon
orang kelima pertama yang masuk Islam. Di bawah kekhalifahan Usman, ketika
kekayaan mulai menumpuk di kalangan yang berkuasa, ia jadi penganjur
kehidupan sosial yang merata. Ia menolak harta. Ia menolak jabatan. Dalam
biografi yang ditulis Ali Rahnema, An Islamic Utopian, Shari'ati menyebut Abu
Zarr sebagai pejuang "komunisme Islami", eshterakiyat-e eslami.
Selain menerjemahkan riwayat hidup sahabat Nabi ini, Shari'ati mendorong
pementasan sebuah lakon tentang tokoh ini--lakon yang disambut hangat di
mana-mana.
Pada Abu Zarr,
Shari'ati menemukan titik pertemuan antara yang "Islami" dan yang
"Marxis". Tapi pada saat yang sama, seraya mengemukakan kritik
kepada "Islam" para ulama yang hanya menengok ke belakang,
Shari'ati mengecam Marxisme seperti yang dipraktekkan di Uni Soviet yang
mengekang kemerdekaan perorangan.
Di sini tampak
kecenderungannya mengedepankan kemerdekaan manusia (ia pengagum Sartre dan
juga Iqbal), tapi kemerdekaan itu dikaitkannya dengan kesetaraan: hidup yang
tanpa hierarki. Shari'ati bukan penyusun ideologi revolusi melalui bangunan
kekuasaan. Kekuasaan ia singkiri.
Melalui
gurunya di Paris, Louis Massignon, ia mengagumi Al-Hallaj, sufi yang dihukum
mati penguasa agama. Itu sebabnya ia tambah mengedepankan sifat ke-sufi-an
sebagai iman yang tulus yang berada di luar struktur. Itu sebabnya ia mengecam
kehidupan umat dan ulama Syiah di bawah dinasti Safavi.
Dari segi ini
Shari'ati beruntung. Ia meninggalkan dunia sebelum Revolusi Iran meletus dan
menang. Republik Islam yang menggantikan Shah ternyata juga mencekik
kemerdekaan sesama muslim. Sejumlah orang, dulu sama-sama berjuang, dihukum
mati. Mimbar para mullah pun jadi takhta tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar