Seriuslah
dengan Data
Asna Husin ; Dosen
Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry;
Sekarang Peneliti di Nonviolence
International Washington DC
|
KOMPAS, 19 Mei 2017
Sebagai anak bangsa, kita patut bersedih dengan artikel
cemoohan dan hinaan Jake Van Der Kamp di South
China Morning Post Hongkong, 2 Mei 2017, terhadap Presiden Joko Widodo.
Judulnya: ”Sorry President Widodo, GDP
rankings are economists’ equivalent of fake news.”
Judul ini dapat diberi terjemahan bebas: ”Maaf, Presiden Widodo, posisi produk
domestik bruto (PDB atau GDP) yang digunakan para ekonom merupakan
ketidakbenaran informasi (tentang pertumbuhan ekonomi).” Jake bahkan
mengakhiri tulisannya dengan ungkapan kasar: ”Thanks for the show, Joko, but you have better things to do with
your time than make silly GDP boasts” (“terima kasih atas kemunculannya, Joko, tetapi Anda memiliki hal lain
yang lebih baik untuk dilakukan dengan waktu Anda daripada membuat klaim
bodoh tentang PDB.”
Sebagai non-ekonom, saya tak punya kompetensi untuk
menganalisis hubungan PDB dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Namun,
kita dapat merujuk artikel dalam The
Economist (30 April 2016), ”Measuring
economies: The trouble with GDP” (Mengukur ekonomi: ketidakakuratan
[penilaian] dengan PDB), dan dalam The
Telegraph (15 Oktober 2014), ”What
does GDP really tell us about economic growth?” (Apa saja yang sesungguhnya digambarkan oleh PDB tentang pertumbuhan
ekonomi?). Kedua artikel ini menjelaskan bahwa PDB merupakan alat
penilaian kemajuan ekonomi yang sudah ketinggalan zaman. Sistem ini ”bahkan
bukan alat ukur terpercaya untuk menilai produktivitas”.
PDB dikritik karena sistem ini tidak mampu menggambarkan
tingkat kesejahteraan masyarakat, sementara ia digunakan oleh politisi
sebagai ”alat manipulasi” tentang pertumbuhan ekonomi. Karena itu, ekonom
penerima Hadiah Nobel, Joseph Stiglitz, menyebutnya sebagai ”GDPfetishism” atau penyembahan dan
pengakuan berlebihan terhadap PDB. Ahli globalisasi ini menegaskan bahwa ”PDB bukan pengukuran yang baik untuk
mengetahui sejauh mana pertumbuhan ekonomi” karena sistem ini gagal
mendeteksi perjuangan dan kesulitan para pekerja dalam memperoleh
penghasilan. Sistem ini tidak bisa mengukur standar hidup karena ”PDB cenderung menilai bahwa ekonomi
berpenampilan jauh lebih baik dari apa yang dirasakan rakyat.”
Menyelami kelemahan penilaian PDB/GDP yang digambarkan di
atas membuat kita memahami kritik Jake tentang penilaian pertumbuhan ekonomi
Indonesia versi pemerintah. Namun, kita tak bisa terima cemoohan dan
hinaannya terhadap Presiden kita. Indonesia adalah negara besar yang memiliki
sistem dan simbol kenegaraan yang harus dihormati oleh siapa saja, termasuk
jurnalis asing.
Pelajaran berharga
Karena Presiden mengemban simbol negara, Presiden
selayaknya memuliakan institusi negara ini dengan memenuhi berbagai syarat,
harapan, dan tuntutan. Kita meyakini bahwa Presiden Jokowi telah memenuhi
tugas kenegaraannya dengan baik, dan kesalahan informasi tentang data ekonomi
ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Tim Presiden selayaknya
bukan hanya orang yang bisa memuji, tetapi juga mereka yang bisa melakukan
koreksi atas kesilapan dan kesalahan yang muncul, khususnya dalam hal data.
Kesalahan informasi yang disampaikan Presiden di Hongkong
bukanlah yang pertama. Bedanya, kekeliruan kali ini disampaikan di luar
negeri dan terekam jurnalis asing, sedangkan kesilapan sebelumnya tidak
terpantau awak media mancanegara.
Di antara kesalahan data lain yang sempat tercatat adalah
ungkapan Presiden pada peringatan Hari Ibu di Serang, Banten, pada 22
Desember 2016. Saat itu, Presiden mengatakan bahwa Indonesia memiliki menteri
perempuan terbanyak di dunia, dengan sembilan orang dari 34 menteri Kabinet
Kerja, dan Uni Emirat Arab (UEA) berada di urutan kedua dengan delapan
menteri perempuan (antaranews.com). Informasi yang disampaikan Presiden
mengandung kekeliruan.
Pertama, UEA memiliki delapan menteri perempuan dari total
29 menteri atau 27,5 persen, sedangkan Indonesia punya sembilan perempuan
dari total 34 menteri, yang berarti hanya 26,4 persen. Artinya, persentase
menteri perempuan di Indonesia masih berada di bawah UEA.
Kedua, Kanada di bawah PM Justin Trudeau membuat sejarah
baru pada November 2015 dengan melantik setengah dari jumlah menterinya
adalah perempuan, yaitu 15 orang dari total 30 menterinya. Jadi, kabinet
perempuan Kanada jauh melebihi menteri perempuan di Indonesia, baik dari
jumlah maupun persentase.
Ketiga, meski Kanada memiliki 50 persen anggota kabinet
perempuan, dari segi persentase, Ottawa masih berada di bawah negara berikut.
Finlandia memiliki 10 menteri perempuan atau 62,5 persen dari total 16
menterinya. Cape Verde, negara kecil di barat laut Afrika, punya 17 menteri
dan 9 orang (52,9 persen) adalah perempuan. Swedia punya 23 kementerian dan
12 posisi (52,2 persen) dipimpin kaum Hawa. Berikutnya, Perancis saat itu
memiliki 16 menteri dengan 8 (50 persen) posisi kabinet diisi oleh kaum ibu.
Sementara Nikaragua, Norwegia, Belanda, Estonia, Irlandia, Italia, dan
Slovenia adalah negara yang persentase kabinet diisi perempuan di atas 40 persen.
Sebaliknya, Indonesia sesungguhnya belum termasuk dalam 15 besar negara dengan
jumlah menteri perempuan terbanyak di dunia.
Kekeliruan data ini bukan kesilapan Jokowi semata, tetapi
kesalahan informasi yang diberikan tim Presiden. Seorang teman warga negara
asing dari Pusat Informasi PBB Jakarta menanggapi ungkapan Jokowi tentang
posisi perempuan di kabinet: ”It is
typical of Indonesian officials that they lack reliable data (Biasa, pejabat Indonesia kurang memiliki
data akurat).” Syukur, wartawan asing tidak ada yang meliput ungkapan Presiden
saat itu, sementara media nasional hanya memberitakan informasi yang
disampaikan, tanpa koreksi.
Belajar dari dua pengalaman ini, sepantasnya Indonesia
lebih berhati-hati tentang data dan informasi yang disampaikan Presiden.
Perlu pengecekan berlapis. Itulah tugas para menteri dan tim Presiden. Upaya
ini dapat mengikis anggapan bahwa kita sebagai negara kurang memiliki data
akurat tentang kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar