Serikat
Buruh Politik
Surya Tjandra ; Dosen
di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 17 Mei 2017
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan apa yang bisa
disebut sebagai kembalinya serikat buruh politik di negeri ini. Serikat buruh
terlibat secara aktif secara politik untuk memengaruhi pengambilan kebijakan
negara. Ini adalah perkembangan yang baik sekaligus juga berbahaya kalau
tidak dijalani dengan benar.
Dimulai khususnya dengan keberhasilan Komite Aksi Jaminan
Sosial (KAJS) yang merupakan aliansi besar gerakan sosial yang dipimpin
serikat buruh pada 2010 mendorong pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang memberi jaminan sosial
menyeluruh bagi seluruh penduduk, hingga keterlibatan langsung serikat buruh
pada pemilu legislatif dan presiden 2014.
Keduanya adalah dua peristiwa terpisah, tetapi amat dekat
kaitannya. Keberhasilan KAJS memberi kepercayaan diri pada gerakan serikat
buruh akan potensi dan perannya di masyarakat. Ini mendorong bangkitnya
semangat politis untuk mendorong perubahan lebih luas melalui politik praktis
elektoral kemudian. Namun, ada perbedaan mendasar pada keduanya dari segi
hasilnya.
Pada 2010 hasilnya adalah persatuan dan perluasan gerakan
serikat buruh dengan berbagai kekuatan sosial alternatif lain, seperti
petani, mahasiswa, akademisi, politisi, dan birokrat reformis. Sementara pada
2014 hasilnya adalah polarisasi gerakan serikat buruh yang ikut terjebak
polarisasi politik elite yang terjadi jelang dan setelah pemilu dilaksanakan.
Meski ada beberapa upaya kemudian dilakukan untuk
mengembalikan persatuan yang dibutuhkan itu, praktis gerakan serikat buruh
terus terpolarisasi, dan pelan tapi pasti mulai kehilangan orientasi dan
pengaruhnya kepada pemerintah, terutama kepada masyarakat.
Belakangan, dalam disorientasi dan kegagalan untuk
membangun partai politiknya sendiri, sebagian serikat buruh memilih
meleburkan dirinya pada sebagian parpol. Ditandai didominasinya kepengurusan
serikat buruhnya oleh buruh yang adalah juga aktivis parpol tertentu.
Aksi-aksi yang dilakukan serikat ini pun kemudian menjadi
tidak banyak berbeda dengan parpol yang didukungnya. Akibatnya, alih-alih
menjadi kekuatan pengimbang dari pertarungan elite politik partai, gerakan
serikat buruh pun masuk menjadi bagian dari pertarungan tersebut.Pencapaian
kekuatan sosial serikat buruh di era KAJS pun surut menjadi tidak lebih
bagian dari pertarungan kekuasaan elite, bukan lagi perjuangan untuk
kesejahteraan masyarakat yang sempat menjadi perhatiannya yang utama.
Ini yang mewarnai gerakan serikat buruh beberapa tahun
belakangan ini, yang melahirkan pertanyaan kritis: bagaimana sesungguhnya
hubungan antara serikat buruh dan parpol perlu dibangun?
Serikat bukan partai
Hubungan antara serikat buruh dengan parpol selalu
mengandung kontradiksi dan ketegangannya sendiri. Tantangan bagi serikat
buruh senantiasa adalah bagaimana mengambil sikap dan tindakan yang paling
tepat, sesuai dengan konteks dan situasi yang terus berkembang.
Apakah terus menjalin hubungan dengan risiko kehilangan
kemandirian sebagai serikat karena kooptasi partai? Atau bercerai dengan
kemungkinan kehilangan beberapa keuntungan dan peluang untuk memperluas
sumber-sumber kekuatan serikat buruh? Saya pikir, selain menjalin hubungan
dengan parpol, tugas serikat buruh yang paling penting adalah menjalin
hubungan dengan masyarakatnya. Ini adalah masalah keberlanjutan.
Meraih kekuasaan tidak selalu berarti memperkuat pengaruh
pada masyarakat. Bahkan kalau pun serikat buruh berhasil meraih kekuasaan,
pengaruh sosial pada masyarakat sering kali justru menurun, karena masyarakat
cenderung memang tidak percaya pada kekuasaan.
Ini adalah masalah pembangunan kelembagaan.
Serikat buruh tidak sama dengan parpol. Orientasi serikat
adalah pada kepentingan anggota dan masyarakatnya. Sementara tujuan parpol
adalah untuk memperoleh suara dan kekuasaan dari suara yang diraihnya.
Keduanya berbeda, tetapi keduanya dibutuhkan di dalam sistem demokrasi.
Itulah mengapa di negara yang ada partai buruh, seperti
Inggris dan Australia, peran dan organisasi partai buruh dan serikat buruh
pendukungnya dipisahkan secara tegas untuk menjamin berjalannya sistem check and balance yang memang
dibutuhkan.
Gerakan serikat buruh berangkat sebagai anti tesis dari
totaliterisme (fasisme kanan), sebagai pendukung dan penjaga demokrasi yang
penting, penopang negara kesejahteraan.
Ia secara alamiah memilih untuk terus bersifat inklusif
bukan eksklusif, demokratis bukan oligarkis. Ia juga menganut semangat
internasionalisme, di mana di sana terjadi pertarungan gagasan melalui
agitasi, birokrasi, organisasi, dan diplomasi yang melampaui batas negara.
Kekuasaan politik tidak selalu sama dengan kekuatan
politik. Kekalahan pada pemilu tidak selalu berarti kehilangan politik dan
pengaruh itu sendiri. Politik serikat buruh harus terus berjalan meski partai
yang didukung serikat buruh kalah, atau bahkan menang, dalam pemilu.
Politik bagi serikat buruh sejatinya adalah alat untuk
membangun pengaruh sosial pada masyarakat untuk membantu masyarakat
berkembang menjadi lebih baik, lebih toleran, dan bersolidaritas, bukan
sekadar untuk meraih kekuasaan apalagi memecah belah.
Pengaruh sosial, seperti dijelaskan Richard Hyman, seorang
intelektual buruh asal Inggris, mengacu pada kemampuan serikat buruh untuk
secara jelas dan meyakinkan mengartikulasikan perubahan sosial dan perubahan
masyarakatnya.
”Serikat buruh perlu mendemonstrasikan bahwa masyarakat
yang lebih baik adalah misi sekaligus identitas mereka, dan untuk meyakinkan
yang lain bahwa itu adalah tujuan yang mungkin dicapai dan pantas untuk
diperjuangkan.”
Hanya dengan demikianlah kita bisa berharap serikat buruh
dapat memberi peran yang lebih bermanfaat bagi masyarakatnya, melampaui
kekuasaan, menjadi lebih baik, sebagai sebuah temuan sosial terpenting yang
dihasilkan abad ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar