Sejak
Kau Mendua
Arie Saptaji ; Penulis,
Penerjemah, Editor, dan penyimpan kenangan;
Sedang menyiapkan sebuah novel
dan kumpulan puisi
|
DETIKNEWS, 19 Mei 2017
Judul kolom ini saya comot dari tulisan pada tenda warung
angkringan di kawasan Sekip, Bulaksumur, Yogyakarta. Biar tidak dikira hoax,
saya sertakan fotonya.
"Itu berdasarkan kisah nyata, Pak?" saya
bertanya sambil menyeruput wedang campur
jahe-serai-jeruk-kayu-manis-gula-aren hangat nan nikmat.
Laki-laki berkulit gelap itu tersenyum. Mengangguk.
"Iya, ada ceritanya itu."
Ia mengakui latarnya ada dua: kisah romantis dan konflik
bisnis. Saat muda ia pernah diduakan oleh gadis idamannya. Lalu, ketika
membangun bisnis dengan teman, perkongsian mereka bubar karena temannya
kemudian bermitra dengan orang lain. Sejak enam tahun lalu ia menjalankan
bisnis angkringan sendiri dengan memasang tagline yang mengundang senyum itu.
Sehari-hari ia dibantu istrinya dan diganggu dua bocah laki-laki mereka.
"Berdiri sejak kau mendua"—kisah move on yang
menarik, bukan? Kegagalan—baik dalam percintaan maupun bisnis—tak perlu jadi
dalih untuk cengeng. Sebaliknya, kegagalan bisa jadi lecutan untuk bangkit
berdiri dan mandiri, tegak dan terus berkarya.
Move on dapat diterjemahkan dengan beranjak. Namun, makna
sampingannya bermacam-macam: melupakan, meninggalkan, menghapuskan,
memaafkan, memulai kembali lembaran baru. Istilah ini kerap dilontarkan untuk
memotivasi mereka yang mengalami kegagalan atau kekalahan.
Selain kegagalan hidup pada umumnya, belakangan move on
kerap digunakan dalam ranah politik. Pendukung calon yang kalah dalam pilkada
dinasihati untuk segera move on, tidak terus nyinyir meratapi kegagalan
idolanya. Lalu mereka membalas, "Kami baru tiga hari, sedangkan kalian
sudah tiga tahun belum ke mana-mana!"
Begitulah. Ada yang sudah bisa sumringah tegar mengenang
kegagalan masa lalu seperti bakul angkringan tadi. Ada pula yang masih
berkutat di situ-situ saja. Tak kunjung move on. Kenapa mesti serumit itu?
Film Eternal Sunshine of the Spotless Mind (Michel Gondry,
2014) menggarap isu move on secara menggelitik. Judulnya saja sudah menggoda,
salah satu judul film terindah sepanjang masa. Mengucapkannya pelan-pelan
bikin mabuk, melambungkan imajinasi dalam ketakjuban magis: langgeng, jernih,
tak bercela –citra-citra elok yang tepatnya bukan dari dunia ini, yang mesti
dihayati dalam ruang pengharapan. Cocok dengan persoalan cinta yang
diangkatnya.
Eternal Sunshine mengobrak-abrik konvensi cerita cinta.
Film ini tidak bertutur tentang cowok bertemu dengan cewek, cowok bertengkar
dengan cewek, berpisah lantas, setelah beberapa liukan plot, akur lagi. Film
ini ingin orisinil, memaparkan apa yang belum sempat dituturkan. Film ini
bertutur tentang apa yang mungkin sempat diinginkan oleh orang-orang yang pernah
jatuh cinta, tetapi terlampau rumit membayangkannya: ya, apa yang terjadi
seandainya kita bisa menghapuskan kenangan akan si dia?
Saat kita jatuh cinta terjadilah pertukaran. Warna
rambutku menjadi bagian dari kenanganmu. Kecanggunganmu menjadi bagian dari
kejemuanku. Itulah yang terjadi. Seperti dialami Joel (Jim Carrey) dan
Clementine (Kate Winslet) setelah pertemuan tidak istimewa di Montauk, sebuah
daerah berpantai, pada sebuah musim dingin yang memboyakkan dan mengajak Anda
membolos kerja. Mereka segera jatuh cinta. Namun, setelah sekian lama, mereka
menemukan: bahwa perbedaan satu sama lain rasanya terlalu melelahkan untuk
dikelola.
Clementine pun memilih move on dengan mendatangi Lacuna
Inc. Apakah lacuna? Kata bahasa Latin ini kalau tidak salah berarti rongga,
hampa, ceruk–bayangkanlah kolam atau danau. Secara kiasan, bisa dimaknai
sebagai kekurangan, kerugian, atau kesenjangan. Secara medis, bisa mengacu
pada perusakan otak–prosedur yang dijalani Clementine untuk menghapuskan
kenangan akan Joel dari benaknya.
Ketika mengetahuinya, seriklah hati Joel. Apalagi yang
bisa dilakukannya kecuali mengikuti jejak Clementine? Mendatangi Lacuna, ia
pun menyusul menjalani prosedur penghapusan pikiran.
Dalam keadaan tak sadar, saat kenangan berbaur dengan impian,
berlangsunglah keganjilan. Di tengah jalan, nyatanya, Joel tak pengin
menghapuskan seluruh kenangan akan Clementine. Masih ada senyum yang hendak
ia ingat, masih ada kehangatan yang masih mau ia dekap. Bisakah ia menembus
lapisan kesadarannya sendiri dan menghentikan prosedur yang bekerja secara
dingin itu?
Kenangan kita akan orang lain rupanya baru separuh cerita.
Percuma kalau kita menghapuskannya secara sepihak karena masih ada kenangan
orang lain akan kita. Percuma–karena orang itu bisa menyembunyikan Anda ke
sudut-sudut kenangannya, ke tempat-tempat yang belum pernah Anda kunjungi.
Begitulah, Joel berpetak umpet dengan komputer untuk menghidupkan kembali
kenangan akan dirinya pada diri Clementine–atau kira-kira seperti itu.
Yang jelas, cinta rupanya lebih rumit daripada sekadar
kenangan. Ia bukan seperti lembaran-lembaran naskah yang dengan gampang bisa
kita pilih untuk kita arsipkan atau kita bakar. Kenangan mungkin melekat di
otak, di pikiran, tetapi di manakah dia berakar? Getar-getar yang berpendar
bukan di pikiran, tetapi menyuruk jauh di dalam relung hati. Barangkali.
Kalau begitu? Eternal sunshine of the spotless mind
agaknya kita alami justru dengan merengkuh seluruh kenangan. Ia bukan lagi
ditentukan oleh kenangan-kenangan itu, melainkan oleh cara kita memandang
kenangan-kenangan itu. Spotless mind adalah ketika lembaran yang bernoktah
terkenang sebagai bersih cemerlang. Ketika nada-nada sumbang terngiang
sebagai harmoni sebuah orkestra. Ini bukan kebutaan atau ketulian: melainkan
karena kita memilih untuk tetap mencintai meskipun menyadari segala noktah
dan nada sumbang yang mungkin menggayuti hubungan kita.
Dengan perkelindanan yang begitu pelik, move on memang tak
segampang menggoreng tahu bulat. Tak bisa dadakan.
Saya teringat obrolan kecil di dinding Facebook seorang
penyair. Si penyair tengah merana patah hati. Seorang sahabat dekat sudah
beberapa kali mendorongnya beranjak, menata kembali kepingan hatinya, dan
memulai babak hidup yang baru. Setelah sekian lama, nyatanya si penyair masih
bergeming.
"Mau sampai kapan kamu begini?" tanya
sahabatnya.
"Apakah kamu percaya akan cinta sejati?" si
penyair balik bertanya.
Sahabatnya terdiam. Mengerutkan kening. Bingung dengan
pertanyaan yang terkesan asal menghindar itu.
Lalu, sambil mengembuskan napas, ia menjawab,
"Percaya."
"Kalau begitu, katakan padaku, bagaimana caranya
beranjak dari cinta sejati?" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar