Saling
Mendengarkan dan Menghargai
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 05
Mei 2017
PERJUMPAAN
lintas budaya, agama, dan bangsa sekarang ini berlangsung semakin intens,
terutama di kalangan profesional kelas menengah kota. Khususnya bagi seorang
pemimpin, entah pemimpin di lingkungan pemerintah atau perusahaan, sangat
penting memiliki perhatian dan kemampuan memahami budaya lain serta
keterampilan berkomunikasi jika seseorang ingin sukses.
Tidak
saja kalangan profesional, politisi dan pejabat negara pun harus mau
mendengarkan, mempelajari, dan menghargai keanekaragaman budaya Indonesia agar
memahami karakter anak buahnya dan masyarakat pada umumnya.
Tanpa
memahami konteks kulturalnya, kita mudah salah paham terhadap individu
seseorang. Namun menilai seseorang hanya dengan mengacu pada watak komunal
sebuah kelompok etnik juga bisa menyesatkan.
Seperti
tulis Erin Meyer dalam The Culture Map:
Speaking of cultural differences leads us to stereotype and therefore put
individuals in boxes with "general traits". Instead of talking
about culture, it is important to mjudge people as individuals, not just
products of their environment. (Erin Meyer, hal 13). Jadi keduanya sama
penting untuk memahami baik keunikan individu maupun watak etnisnya karena
seseorang tidak terbebas dari pengaruh lingkungan budaya yang mengasuhnya.
Namun,
sebagai pribadi, setiap individu memiliki keunikan dan kebebasan untuk
memilih jalan hidupnya serta bertanggung jawab atas tindakannya.
Di
alam demokrasi, sebuah masyarakat yang sangat majemuk ini, orang mudah
terjebak pada stereotyping dan generalisasi dengan merujuk pada persepsi
terhadap etnik tertentu, mengabaikan karakter individualnya.
Dalam
konteks ini, sangat penting untuk saling mengenalkan diri dan mendengarkan
yang lain (the others). Demokrasi
memang selalu gaduh (noisy) dan
membuat masyarakat tidak bisa diam (restless).
Di
Indonesia kegaduhan wacana politik itu sangat terasa sejak era Reformasi yang
ditandai dengan berakhirnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto pada 1998.
Sejak itu bermunculan partai politik dan ormas baru yang juga menandai
terbukanya ruang demokrasi dan meningkatnya partisipasi rakyat untuk memilih
pemimpin melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan
umum (pemilu) secara langsung untuk memilih wakil rakyat dan pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Dengan
melihat kenyataan bahwa Indonesia terdiri atas beragam suku dan budaya yang
telah mapan dan berakar kuat ke masa lalu, muncul pertanyaan: apakah
Indonesia ini merupakan ethnic nation, nation state, ataukah civic nation?
Seperti dalam konsep ethnic nation
dan nation state, sebuah negara
dibangun atas dasar kesamaan bahasa, suku, dan bangsa.
Contoh
yang mendekati adalah Turki, baik bangsa, bahasa maupun negaranya adalah
Turki. Adapun civic nation yang menjadi perekat utama adalah civic identity,
sebuah cita-cita bersama memajukan warga negara yang masing-masing memiliki hak dan
kewajiban politik yang sama di depan hukum serta kesamaan hak dalam
mengaktualisasi diri dan dalam meraih kesejahteraan hidupnya. Yang terakhir ini,
contoh yang paling mendekati adalah Amerika Serikat mengingat yang namanya
bangsa Amerika tidaklah populer karena warganya mayoritas imigran.
Dengan
argumen di atas sesungguhnya Indonesia masuk kategori civic nation karena
yang menjadi pemersatu dan identitas Indonesia adalah kesepakatan dan
cita-cita bersama untuk merdeka. Adapun nama Indonesia lebih mengacu pada
letak geografis, jajaran pulau di bawah India.
Sebuah
negara baru di atas kekuasaan lokal yang secara ideologis diikat oleh
ideologi Pancasila. Semua kekuasaan lokal bergabung ke dalam negara
Indonesia. Semua warganya berkedudukan sama di depan hukum. Identitas lokal
dan primordial bersifat sekunder-komplementer posisinya, lalu bersama-sama
membentuk identitas nasional.
Kita
sebagai generasi penerus selayaknya menyampaikan salut dan rasa kagum akan
kerelaan dan ketulusan suku bangsa untuk menjadi bagian dari bangsa. Kenaikan
status itu mengubah cara berpikir mereka secara revolusioner, yang tadinya
selama berabad-abad hanya berpikir sebatas sukunya, lalu berkembang memiliki
kerangka berpikir kebangsaan.
Perkembangan
ini tidak berarti mengabaikan pola pikir kesukubangsaan, melainkan justru
memperkaya keduanya. (Nunus Supardi, Bianglala Budaya, hal 767). Namun
penyemaian dan pembentukan identitas nasional ini masih dalam proses menjadi
(becoming) dan tidak mungkin bisa
menghilangkan loyalitas warga negara terhadap identitas primordialnya,
terutama identitas keagamaan.
Jadi
kesadaran sebagai warga negara (citizenship)
mesti disadarkan dan dibangun terus-menerus tanpa meremehkan identitas
lokalnya. Ini sebaiknya dilakukan sejak dini, terutama di lingkungan sekolah,
agar terbentuk pribadi toleran, inklusif, dan menghargai mereka yang berbeda
sepanjang dalam koridor hukum dan kepantasan sosial. Perbedaan itu bukan saja
diterima, dipahami, dan dihargai, melainkan juga dirayakan (celebrates the differences). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar