Perlukah
Negara Islam?
Agus Mustofa ; Penulis
buku ”Perlukah Negara Islam”
|
JAWA
POS, 11
Mei 2017
PADA Agustus
2010 saya memperoleh kiriman buku Ajhizah Ad Daulah Al Khilafah dari seorang
aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Itulah buku pegangan resmi ormas yang
mendakwahkan pendirian khilafah di dunia internasional. Termasuk di Indonesia
yang dimotori HTI.
Buku yang
diterjemahkan dengan judul Struktur Negara Khilafah tersebut dikirimkan
kepada saya sebagai respons mereka atas terbitnya buku karya saya yang
berjudul Perlukah Negara Islam. Sebuah buku yang saya tulis ketika tinggal di
Mesir antara 2010–2011. Isinya, di antaranya, membahas seberapa pentingkah
mendirikan negara Islam, termasuk kekhilafahan sebagaimana didakwahkan Hizbut
Tahrir itu.
Saya memang
termasuk di antara umat Islam yang tidak sependapat dengan pendirian negara
Islam, dalam bentuk apa pun, termasuk khilafah. Alasannya sangat sederhana:
karena Rasulullah SAW sebagai teladan umat Islam tidak pernah mencontohkan
”negara agama”. Yang beliau dirikan adalah ”negara bangsa”.
Negara bangsa
adalah negara yang mengayomi rakyat yang penuh kebinekaan. Mulai ras, suku,
budaya, adat istiadat, hingga agamanya. Mereka dipersatukan dalam sebuah
kesepakatan untuk hidup dalam sebuah tatanan yang saling melindungi dan
tolong-menolong untuk mencapai kesejahteraan bersama. Perbedaan SARA tidak
menjadi masalah yang menghalangi rakyat untuk membentuk bangsa yang utuh.
Itu berbeda
dengan apa yang dijalankan di negara Vatikan misalnya. Vatikan adalah contoh
”negara agama” yang sempurna. Kepala negaranya adalah seorang paus –imam
agama– sekaligus kepala pemerintahan. Dan rakyatnya harus beragama Kristen
Katolik Roma. Tidak boleh ada rakyat yang beragama lain. Meskipun itu Kristen
Protestan.
Negara Madinah
yang didirikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi agama Islam
bukanlah negara agama. Rakyatnya terdiri atas umat Islam, Nasrani, Yahudi,
dan siapa saja yang ingin bersatu dalam kesepakatan pendirian negara bangsa
itu. Semuanya diikat dalam sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Piagam
Madinah atau Konstitusi Madinah tahun 622 M.
Piagam yang
memuat 47 pasal tersebut berhasil mempersatukan berbagai kalangan
muslim-nonmuslim dalam sebuah ikatan kebangsaan yang disebut sebagai umat (ummat).
Salah satu kesepakatan yang fenomenal sebagai bukti berdirinya negara bangsa
terlihat dari redaksi pasal 25, yang mengakui eksistensi kaum Yahudi beserta
sekutunya sebagai bagian dari umat yang satu dengan kaum mukminin. Meskipun
mereka beragama lain dengan segala tradisi yang berbeda.
Pasal 25
Piagam Madinah berbunyi: Kaum Yahudi dari Bani Awf adalah satu umat dengan
(kaum) mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama
mereka. (Kebebasan ini berlaku) juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka
sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri
dan keluarga.
Jadi,
sesungguhnya Islam tidak pernah mengenal negara agama. Bahkan, setelah
wafatnya Rasulullah SAW, para khalifah penggantinya tidak mendirikan negara
agama. Mereka tetap mempertahankan negara bangsa meskipun menerapkan syariat
Islam bagi pengikutnya. Tapi juga menerapkan syariat agama lain kepada setiap
pengikutnya. Kecuali mereka mengganggu kesepakatan dalam berbangsa dan
bernegara, maka mereka akan diadili menurut peraturan kenegaraan dan
pemerintahan yang telah disepakati.
Pendirian
khilafah Islamiah yang didakwahkan Hizbut Tahrir merupakan gerakan
transnasional yang berpotensi memunculkan tabrakan di skala praktis dengan
sistem negara yang sudah ada. Termasuk di Indonesia yang berdasar Pancasila.
Sebab, menurut buku panduan resminya, Ajhizah Ad Daulah Al Khilafah, sistem
khilafah yang diusung itu memang memiliki konsep yang berbeda dengan negara
Indonesia dalam banyak hal.
Dalam buku
tersebut dibahas berbagai hal mendasar, mulai syarat dan sistem pengangkatan
khalifah, pembaiatan, kewenangan, keamanan dan pertahanan, perindustrian dan
hubungan internasional, mahkamah peradilan, bendera dan panji negara, sampai
slogan atau nasyid daulah khilafah. Sebuah konsep utuh yang memang berbeda
dengan yang telah dianut negara Indonesia yang telah berusia lebih dari 70
tahun ini.
Melalui buku “Perlukah
Negara Islam?” saya mengamini konsep negara yang telah diteladankan
Rasulullah Muhammad SAW. Yakni sebuah negara bangsa di mana rakyatnya telah
bersepakat untuk bersatu dalam perbedaan –Bhinneka Tunggal Ika– dan berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan sebagaimana termaktub di dalam Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar