Pembubaran
Ormas: Belajar dari Kasus HTI
Ali Rido ; Peneliti Pusat Studi Hukum
Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
|
DETIKNEWS, 24 Mei 2017
Resmi sudah pemerintah mengumumkan pengusulan pembubaran
terhadap organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Apresiasi dan
sanjungan pun banyak dituai, namun tidak sedikit pula yang kontra atas
langkah yang diambil pemerintah dengan dalih sebagai bentuk pemasungan hak
asasi manusia (HAM).
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
memang diakui sebagai bagian HAM yang diatur dalam UUD 1945, sehingga
membubarkannya sama halnya melanggar kebebasan dasar manusia. Hal ini
sebagaimana termaktub di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Konstruksi pasal tersebut, bahkan dapat dikatakan sebagai
hal yang paling signifikan dan revolusioner dalam dinamika sejarah demokratisasi
di Indonesia. Dikatakan revolusioner, mengingat selama masa Orde Baru
kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat seakan dimatikan dengan
dalih menjaga stabilitas negara.
HAM yang Berimbang
Pertanyaannya kemudian, apakah landasan konstitusional
tersebut dapat menjadi pelindung absolut keberadaan ormas? Apabila dibaca
secara utuh, bangunan konstitusi Indonesia menampakkan pemberlakuan konsepsi
HAM yang berimbang. Hal itu terlihat di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
yang menegaskan dalam menjalankan hak, setiap orang wajib pula menghormati
hak orang lain dan wajib ikut mewujudkan kedamaian bagi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara.
Artinya, keberadaan ormas yang dilindungi oleh konstitusi
adalah ormas yang dapat menjadi mitra negara untuk bersama-sama mewujudkan
tatanan demokrasi dan pembangunan nasional yang berkeadilan dan tertib hukum.
Oleh karenanya, sebuah perkumpulan atau ormas yang dalam pergerakannya justru
merusak tatanan sosial dan tujuan nasional, pemerintah dapat membekukan izin
maupun membubarkan keberdaan ormas dimaksud.
Apabila ditelisik, langkah pemerintah melakukan pembubaran
ormas dapat dibaca sebagai penegas kewibawaan dan kemampuan negara untuk
dapat mengatur, menegur, dan menertibkan perkumpulan warga negaranya yang
'membangkang' dari aturan hukum yang berlaku. Kehadiran negara dalam konteks
demikian, tidak lain dampak dari kesepakatan dalam kontrak sosial yang
dilakukan antarindividu.
Dalam dalam kesepakatan ini, masing-masing individu telah
sepakat untuk menyerahkan kepercayaan pada pemerintah untuk menertibkan dan
mengatur keadaan di masyarakat. Sebagai perwujudan kesepakatan tersebut, maka
pemerintah harus senantiasa hadir untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat,
termasuk dalam hal ini mengurai problematika keormasan.
Namun demikian, langkah pembubaran ormas dapat juga
diartikan sebagai kegagalan pemerintah mencipta paradigma bernegara yang
Pancasilais kepada warganya. Pemerintah terlambat –jika tidak ingin dikatakan
gagal- dalam meramu harmoni demokrasi dan menganggap keberadaan ormas 'nakal'
sebagai benalu sehingga layak untuk dibubarkan.
Pada posisi demikian, maka pemerintah harus rela untuk
dikatakan sebagai rezim yang seakan mendikte masyarakat ke dalam format
politik ideologi yang monolitik, ketimbang rezim demokratis yang mengakomodir
semua perbedaan menjadi sebuah mozaik.
Rambu Pembubaran
Pilihan untuk membubarkan ormas, tentu pilihan dilematis
dan problematis. Oleh karenanya, agar dalam operasi pembubarannya sejalan
dengan konstitusi, maka pertimbangannya harus diletakkan pada proporsi untuk
kepentingan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Langkah
pembubaran bukan atas upaya untuk mengoyak keragaman yang menjadi ikon dalam
demokrasi dan memaksakan untuk membaiat diri pada keseragaman.
Oleh karena itu, pasca dibubarkannya sebuah ormas, maka
pemerintah wajib merangkulnya untuk berikhtiar bersama melakukan pendidikan
ideologi dan politik, bukan justru melakukan pendudukan politik kepadanya.
Tidak kalah pentingnya, agar ke depan tidak lagi
bermunculan ormas-ormas yang dianggap anti-Pancasila maka pemerintah perlu
secara intensif melakukan evaluasi terhadap program-program dari
masing-masing ormas yang ada di Indonesia.
Melalui kontinuitas evaluasi, dapat dijadikan parameter
penilaian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan ormas yang kurang sejalan
dengan tujuan nasional dan mengancam kedaulatan negara. Sehingga tindakan
maupun pengambilan kebijakan, tidak hanya bermuara pada pembubaran melainkan
dengan mekanisme lain berupa pendidikan ideologi dan sejenisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar