Palsu
Samuel Mulia ; Penulis
Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21 Mei 2017
Kalau hari ini saya mengajukan sebuah pertanyaan, apakah
menurut Anda, Anda adalah orang yang bisa dipercaya? Bahwa apa yang Anda
keluarkan dari mulut, baik itu sebuah janji maupun nasihat, tak akan berakhir
sebagai bualan semata?
Diperdaya
Saya teringat dengan janji ayah kepada kakak perempuan
saya. Ayah menjanjikan menyekolahkannya ke Inggris. Dengan semangat gadis
remaja, ia mengumpulkan semua data dan keperluan pembiayaan selama mengenyam
pendidikan di negeri orang itu. Singkat cerita, semua usahanya itu dibatalkan
ayah secara sepihak, dan ayah menyarankan ia melanjutkan ke "Negeri
Paman Sam".
Apa yang ada di benak Anda kalau mendengar cerita di atas?
Apakah ayah saya menepati janjinya? Apakah omongannya dapat dipercaya?
Mungkin ia menepati janjinya untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri,
tetapi ia juga melanggar janjinya sendiri karena sejak awal "Negeri
Paman Sam" tak pernah disuarakan oleh mulutnya.
Peristiwa itu hanya peristiwa ringan. Namun, sebagai anak,
saya belajar sesuatu. Sering kali saya cepat sekali mengumbar janji. Akan ada
banyak alasannya mengapa umbaran manis itu dilakukan. Dari yang sekadar mau
cepatnya tanpa berpikir panjang, seperti ayah saya, ada yang beralasan untuk
pencitraan, seperti ayah saya juga.
Itu mengapa saat ia meninggal, orang mengatakan ayah saya
orang baik. Karena saya tahu siapa ayah saya sesungguhnya, saya berpikir
pasti salah satu citra baiknya itu gara-gara janji manisnya yang belum tentu
dilakukan. Selain itu, orang mengumbar janji untuk mencapai sebuah tujuan.
Kalau melihat cerita seperti di atas, ketika janji itu tak
bisa ditepati, acapkali saya pindah ke persoalan lain yang sama sekali tidak
ada hubungannya, tetapi terasa seperti ada kaitannya. Kalau mengambil contoh
cerita di atas jadi begini. Saya tidak jadi sekolah ke Inggris, tetapi saya
tetap disekolahkan ke luar negeri.
Pernyataan itu terasa ada janji yang tak ditepati, yang
tumpang tindih dengan janji yang ditepati. Dari situlah lahir kekecewaan bagi
mereka yang dijanjikan, dan dari tempat yang samalah predikat bahwa seseorang
itu tak bisa dipercaya, diberikan.
Janji dan bukti
Kekecewaan bukan terjadi karena memindahkan lokasi dari
Inggris ke Amerika. Karena itu bukti bahwa ayah saya tetap menyekolahkannya
ke luar negeri. Namun, kekecewaan itu terjadi karena janji yang cepat diumbar
tanpa berpikir panjang. Sebuah janji palsu yang terlihat tidak palsu.
Kekecewaan yang lahir karena sebuah janji yang manipulatif.
Ketika saya menjalani sebuah cerita asmara beberapa tahun
lalu. Saya dijanjikan dengan berjuta cerita, saya terpesona dengan caranya
memberi perhatian meski kadang bisa bikin sakit kepala. Namun, dua tahun
berjalan tanpa menghasilkan janji yang manis, dan hanya berbuah kekecewaan
yang besar. Janji sehidup-semati itu hanya bualan. Karena pada kenyataannya,
yang satu hidup dan yang satu mati.
Mengapa kecewa? Karena perjalanan asmara itu tak seperti
ungkapan memberi bukti bukan janji. Namun, sebaliknya, hanya memberi janji
tanpa bukti. Dalam perjalanan hidup yang setengah abad lebih ini, sudah
banyak yang saya alami soal janji surga yang tak bisa ditepati di dunia ini.
Harus saya akui, menjadi manusia yang tak bisa dipercaya
itu bukan sekadar saya melihat kepada orang lain, melainkan acapkali saya
juga menjadi manusia yang tak bisa dipercayai diri sendiri.
Acap kali orang lain terkecoh melihat saya. Wajah dan
penampilan bisa begitu santun dan tidak bersalah, ternyata di dalamnya
dipenuhi dengan kebencian. Pakaian saya begitu terlihat bersusila, tetapi
siapa yang tahu kalau dengan pakaian bersusila itu, saya malah berbuat
asusila.
Sejujurnya yang terkecoh bukan orang lain, melainkan saya.
Perilaku di atas itu, contoh nyata bahwa saya sendiri saja tak bisa dipercayai
diri saya sendiri. Itu mengapa saya sampai pernah berpikir untuk tidak
memercayai siapa pun, terutama diri sendiri.
Melalui peristiwa semacam itulah saya jadi tahu, kalau
yang tak bisa dipercaya itu acapkali hadir dengan penampilan seperti malaikat.
Mulut manis yang berbisa itu adalah salah satu bukti bahwa seseorang itu tak
bisa dipercaya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa saya dapat menjadi manusia
yang tak bisa dipercaya? Bahkan, lebih dari itu, mengapa saya yang tidak bisa
dipercaya dapat tetap hidup tenang? Mungkin, alasan utamanya hanya sederhana.
Mungkin.
Kalau saya ini saja tidak bisa dipercayai oleh diri saya
sendiri, yaaa... mana mungkin saya membangun sebuah sosok yang bisa
dipercaya. Bukankah apa yang telihat dari luar, semuanya berasal dari dalam?
Bukankah katanya, buah itu tak jauh jatuhnya dari
pohonnya. Jadi, kalau buahnya terlihat tak bisa dipercaya, ya. mungkin bisa
dilihat saja pohonnya seperti apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar