Musuh
Rakyat Itu Baik
Seno Gumira Ajidarma ; Panajournal.com
|
INDONESIANA, 22 Mei 2017
Matematika politik bisa berlangsung seperti berikut: jika
mayoritas keliru, minoritas yang baik dan benar menjadi musuh rakyat. Dalam
arti ini, musuh rakyat bermakna positif, dan jika mayoritas semacam ini
memenangi pemilihan umum, demokrasi jelas menunjukkan kelemahannya. Plato
sudah lama menunjuk demokrasi sebagai kapal berisi orang-orang bodoh, sejak
Socrates harus dihukum mati minum racun berdasarkan pemungutan suara dari 501
anggota parlemen Athena pada 399 SM. Dengan ajaran logikanya, Socrates,
antara lain, didakwa menista dewa-dewa Yunani.
Demokrasi bolong-bolong itu, terutama jika kualitas para
pemilih terbatas, menjadi subyek Henrik Ibsen (1828-1906) ketika menulis
Musuh Rakyat. Dalam lakon itu, peran Dr Stockman, yang menemukan bahwa sumber
air warga kota beracun, memilih untuk mengungkap dan tidak mencabut
pernyataannya, meski semua orang-berdasarkan kepentingan
masing-masing-melarang dengan kegemparan dan kemarahan massa sebagai
risikonya.
Terhadap naskah tahun 1882 berbahasa Norwegia itu, Arthur
Miller (1915-2005) pada 1950 melakukan adaptasi dari terjemahan Lars
Nordenson ke bahasa Inggris demi situasi sosial-politik Amerika Serikat saat
itu. Tema sentral Musuh Rakyat adalah: (1) apakah jaminan melindungi kaum
minoritas secara politis boleh dipinggirkan semasa krisis; (2) apakah visi
seseorang atas kebenaran mesti menjadi sumber kebersalahan ketika massa
mengutuknya sebagai hasutan setan yang berbahaya; (3) tidak akan pernah
terjadi khalayak terorganisasi dapat menyetujui dengan tenang pribadi yang
mendesak bahwa dirinya benar ketika mayoritas secara umum sudah jelas salah.
(Miller, 1979 [1950]: 8-9).
Dalam drama itu, dengan perbandingan seluruh suara lawan
dua suara saja atas pernyataannya bahwa sumber air mereka beracun, Stockman
secara resmi dinyatakan sebagai musuh rakyat. Semula dari Norwegia ia
bermaksud menyeberang ke Amerika Serikat, yang dianggap akan bisa
menerimanya, tetapi kemudian memutuskan tetap tinggal.
"Organisasi massa berbentuk
manusia tidaklah secara otomatis menjadi rakyat," ujarnya. "Aku melawan dusta tua bahwa mayoritas selalu benar; apakah
mayoritas benar ketika menolak percaya bumi mengelilingi matahari dan
membiarkan Galileo merangkak seperti anjing? Perlu lima puluh tahun bagi
mayoritas untuk menjadi benar. Mayoritas tak pernah benar sampai berlaku
benar. Satu-satunya cara diriku menjadi sahabat rakyat adalah mengambil
tindakan atas korupsi itu, maka aku adalah musuh. Air itu beracun, beracun,
dan beracun!" (ibid., 93-5, 122).
Ibsen, dan tentu juga Miller, disebut tidak mengakhiri
situasi dengan penyelesaian, melainkan dengan undangan diskusi. Publik
diminta berpendapat siapa lebih ideal: seorang moralis yang sedikit pun tidak
berkompromi dengan keyakinan dan hati nuraninya ataukah seorang politikus
yang tidak segan mengkompromikan keyakinannya asal tujuannya tercapai (sedang
seorang moralis selalu terbentur-bentur). (Soekito, 1984: 129).
Dalam analogi teater atas politik, sama seperti ketika
pertunjukan berlangsung, saat peristiwa politik bergulir, Wiratmo Soekito
mencatat pertanyaan berikut: (1) apakah yang akan terjadi selanjutnya?, (2)
saya tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi bagaimanakah terjadinya?,
(3) saya tahu apa yang akan terjadi dan saya tahu pula bagaimana terjadinya,
tetapi bagaimanakah publik akan memberikan reaksi mereka nanti?, (4)
lihatlah, tetapi apa yang terjadi di sana? Suspense menonton teater
berlangsung ketika publik mengikuti peristiwa politik.
Bedanya, jika pertunjukan Teater Koma selama tiga atau
empat jam kini sudah dianggap terlalu lama, dalam contoh kasus yang diajukan
Wiratmo, yakni Gerakan 30 September 1965, sampai hari ini belum juga jelas
apa yang telah terjadi. Betapapun, meski politik dari teater modern berbeda
dengan politik dari politik, disebutkan bahwa teater modern selalu tegas
sikapnya: membela maupun menentang perilaku sosial tertentu di antara
khalayak. Maka, segenap pementasan teater modern menjadi peristiwa politik
(Soekito, 16/11/1986: 2).
Analogi Musuh Rakyat dengan peristiwa politik Indonesia
kontemporer terhubungkan dengan posisi mayoritas, yang dalam dominasinya
belum tentu menjadi representasi "kebenaran" selain kebenarannya
sendiri. Tentu analogi ini juga berlaku bagi angka pembagian suara: bahwa
hasil akhir, secara politik dan moral tidak merupakan kata akhir. Apalagi
menjadi minoritas. Bahkan, apabila tinggal satu orang pun, dalam naskah itu, "Kamu berjuang demi kebenaran,
makanya kamu sendirian, dan itulah yang membuatmu kuat. Kita adalah rakyat
terkuat di dunia! … dan yang kuat mesti belajar untuk menjadi kesepian."
(Miller, op.cit., 124-5).
Untuk yang terakhir itu, saya kira bukanlah situasi Ahok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar