Merelakan
Hari Buku Nasional
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial, dan suka menulis di mana saja;
Kini ia tinggal sementara di
Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 16 Mei 2017
Saya memandangi rak besar itu dengan perih. Beberapa buku
saya ambil, saya bersihkan dari debu yang hinggap, juga dari tempelan butir
tanah sisa serangan rayap beberapa tahun silam.
Ini sebuah ziarah. Rumah itu kosong lama, seiring domisili
sementara kami di Perth. Pernah adik kami menempatinya sekian waktu, namun
sekarang kosong lagi. Makanya, ketika sepuluh hari lalu saya mudik sekejap,
rasanya ziarah ke makam desa untuk menjumpai peristirahatan bapak saya, anak
kedua saya, dan sahabat saya yang meninggal tahun lalu, kurang sempurna tanpa
ziarah ke kuburan buku-buku.
Saya mengingat sekian jejak sejarah unik pada hampir
setiap biji buku di situ. Sebagian buku Pramoedya merupakan buku-buku awal
yang saya beli di Palasari, Bandung, jauh waktu sebelum pasar itu terbakar.
Beberapa karya klasik terbitan Pustaka Jaya saya beli di Manahan, Solo, juga
jauh hari sebelum tempat menyenangkan itu disantap api. Banyak pula buku yang
saya borong di Pasar Shopping Jogja, bertahun-tahun sebelum tempat itu
dirombak menjadi Pasar Buku Taman Pintar yang tidak lagi beralas tanah becek.
Bukan cuma tempat belinya yang saya ingat. Momen-momen
emosional pun berkelebat lagi saat saya menatap buku-buku itu satu persatu.
Coba lihat karangan Paulo Coelho yang itu. Itu saya dapatkan sebagai hadiah
dari seorang gadis, dalam sebuah rangkaian dialektika-afeksi yang agak rumit
dan memusingkan. Juga buku biru tentang sosok Arung Palakka, yang nafsu saya
memburunya sampai-sampai muncul dalam mimpi di sela tidur saya.
Tak terkecuali satu mahakarya sejarawan Takashi Shiraisi.
Pernah saya menemukannya di sebuah pameran, saat buku itu sedang
langka-langkanya dan saya sangat menginginkannya. Lalu saya bertanya kepada
Mahfud Ikhwan (waktu itu dia belum jadi sastrawan termasyhur) di samping
saya. "Fud, menurut prediksimu, kira-kira aku jadi menikah sama Si Anu
enggak ya?"
Mahfud mengernyit. "Kenapa memangnya? Kok tiba-tiba
tanya begitu?"
"Anu," saya menatap buku berjudul Zaman Bergerak
di lapak depan saya. "Dia punya buku ini. Kalau aku jadi sama dia, kan
aku nggak perlu beli."
Mahfud menyambutnya dengan umpatan spesial bercita rasa
Lamongan, tanpa peduli bahwa pikiran saya barusan itu benar-benar muncul di
tengah compang-campingnya situasi moneter dompet mahasiswa.
Saya kembali menatapi buku-buku sendu di rak saya. Bersama
rekan-rekannya yang lain di gudang, kalau cuma seribu judul saja sudah pasti
lebih. Satu gambaran yang akan membawa Anda kepada sebuah jebakan imaji,
bahwa saya adalah seorang pembaca buku yang rakus, seorang yang khusyuk mabuk
tenggelam di kedalaman palung kata-kata, seorang cerdik cendekia pencinta
ilmu yang bijak bestari blablabla.
Malang sekali, Anda keliru. Sangat keliru. Andai Anda
berdiri di samping saya sepuluh hari lalu, bukan mustahil terdengar di
telinga Anda sayup-sayup isakan tangis itu. Ratapan terluka dari
berjilid-jilid kertas berisi gagasan-gagasan dahsyat, namun belasan tahun
diabaikan dalam kesunyian yang menyayat. Ya, mereka merintih pedih,
mengemis-ngemis minta dibaca.
Di antara semua koleksi buku saya, mungkin baru sepertiga
yang saya baca. Atau bahkan kurang. Saya bukan jenis manusia yang kuat duduk
diam berlama-lama untuk mengeja kata demi kata. Selain itu, Anda juga tahu:
kecepatan dalam berbelanja buku berada pada level yang jauh di atas kecepatan
untuk membacanya.
Karena itulah, ketika di masa bujangan saya kalap membeli
buku-buku itu, dan sahabat saya Gus Indi Aunullah bertanya apakah benar saya
mau membaca semuanya, saya tatap mata filsuf nahdliyin itu dengan dingin
sembari menjawab, "Ini semua bukan untukku. Tapi untuk istri dan
anak-anakku." Saya yakin Gus Indi merinding mendengarnya.
Jawaban saya itu lebih terasa sebagai apologi yang culas,
apalagi pada masa yang suram itu belum terang benar apakah akan ada perempuan
yang berkenan menjadi istri saya. Namun tetap saja itu jenis jawaban yang
lumayan menenteramkan. Lebih-lebih sejak saya membaca buku Freakonomics
tulisan Levitt & Dubner. Di situ digambarkan bahwa menurut sebuah
hitungan statistik, anak-anak cerdas di Amerika tumbuh bukan dari orangtua
yang tekun membacakan buku, atau yang memberikan pelajaran khusus ini-itu.
Anak-anak cemerlang, secara sangat sederhana, muncul dari keluarga dengan
koleksi buku yang melimpah. Itu saja.
Meski kurang jelas apakah statistik suguhan Levitt dan
Dubner mengandung relasi kausalitas ataukah sekadar koinsidensi, tak ayal
dalam pikiran saya tumbuh pula imajinasi. Saya punya banyak buku, yang
bertebaran di setiap sudut rumah. Anak-anak saya pasti akan memiliki
referensi visual yang kaya dengan tampilan buku-buku. Mereka akan melihat
buku di mana-mana, melihat banyak tema bisa mereka akses melalui buku-buku,
melihat ayah-ibu mereka setiap saat bersentuhan dengan buku-buku.
Buku akan menjadi satu bagian terpenting dalam dunia kecil
mereka, sejak bayi merah hingga di usia ketika mereka siap menentukan pilihan
intelektual mereka sendiri. Betapa indahnya. Betapa hebatnya.
Bayangan seperti itu menyalakan semangat saya untuk terus
membeli dan membeli. Kalaulah ini konsumtif, bukankah sah untuk saya klaim
sebagai konsumtivisme intelektual?
Semangat berlandas khayalan demikian bertahan sangat lama.
Hingga akhirnya saya betulan menikah, punya anak, lalu mengamati segala hal
yang dilakukan anak saya saban harinya.
Hasilnya adalah sesuatu yang berbeda. Ternyata, anak saya
tidak terlalu menggilai buku-buku. Memang beberapa hari dalam sepekan ia
mendapat PR membaca dari gurunya, dan kadangkala ia pun tampak senang dengan
tugas-tugasnya. Tapi saya melihat, persentase terbesar dari pengetahuan yang
ia dapatkan dan ia tampilkan bukanlah dari buku-buku.
Berkali-kali dalam percakapan kami, anak saya bercerita
tentang hal-hal yang tak kami ketahui. Tentang sains, tentang
ungkapan-ungkapan khas bahasa Inggris, atau tentang hal-hal tak terduga
lainnya. Sekali dua kali memang ia berkata mendapatkan hal-hal itu dari buku.
Namun jauh lebih sering ia menyebut "Youtube", atau
"Internet", atau minimal acara-acara untuk anak di televisi sebagai
sumbernya.
Kami orangtua yang biasa-biasa saja. Kami paham, ada
banyak hal berbahaya di internet. Mewanti-wanti anak agar tidak terlalu bebas
dalam mengakses internet jelas kami lakukan. Namun untuk melakukan pengawasan
setiap waktu atas apa yang ia tonton atau ia baca dari layar iPad, jujur saja
kami tak kuasa.
Meski demikian, syukurlah, sampai detik ini tak pernah ada
hal mengkhawatirkan yang ia munculkan sebagai produk aktivitasnya
berinternet. Yang ada justru kejutan-kejutan menyenangkan, yang membuat saya
pelan-pelan mengakui bahwa kita telah tiba di tubir zaman.
Beberapa pekan lalu, saat saya menulis di kolom ini
terkait Hari Buku Sedunia, saya ngotot bahwa pada masa transisi ini peran
buku masih sangat vital. Buku masih sangat penting sebagai instrumen yang
kita gunakan untuk mengakses kedalaman, menyantap sajian ide yang
komprehensif, serta memahami konstruksi gagasan yang utuh dan bukan semata
remah-remah.
Ada nuansa konservatisme di situ, memang. Namun ada bagian
yang perlu diberi titik tekan, bahwa tuntutan tersebut hanyalah untuk fase
transisi ini, masa ketika produktivitas dipegang oleh mereka yang lahir pada
era 80 hingga 90-an.
Selebihnya, anak-anak kita akan berbicara dengan bahasa
generasinya. Mereka adalah digital native, anak-anak dengan titik start yang
jauh berbeda dengan kita. Kita pasti resah, sebagaimana setiap perubahan
selalu melahirkan gelisah. Namun yakinlah, akan muncul semacam kemampuan
beradaptasi yang jauh melampaui kecemasan-kecemasan kita. Bukan sekadar
digital wisdom sebagaimana digagas Marc Prensky, tapi jauh lebih kompleks
lagi. Dengannya, anak-anak kita menjalankan prosedur alami yang sangat berbeda
dengan kita, saat mereka mengunyah buah pengetahuan dan mengisap
sari-sarinya.
"Karena simbol menggantikan ingatan, tulisan akan
membuat kita menjadi pemikir dangkal, sehingga kita tidak bisa mencapai
kedalaman intelektual yang akan mengantarkan pada pengetahuan dan kebahagiaan
sejati." Socrates merengek dengan kalimat itu hampir 2500 tahun lalu,
sebagaimana dikisahkan oleh Plato dalam Phaedrus-nya. Pemikir agung itu
ketakutan melihat hadirnya tulisan dan buku-buku, sesuatu yang masih asing
pada zamannya.
Hari ini dan hari-hari sebelum ini, kita menertawai
rengekan Socrates itu. Terbukti kekhawatiran lelaki galau dari Athena itu
keliru belaka. Maka kita juga mengerti, bahwa ketika kita sekarang merengek
dengan kalimat senada sebagai bentuk ketakutan kita akan jauhnya anak-anak
kita dari buku, semua itu akan sama kelirunya.
Esok pagi adalah tanggal 17 Mei, Hari Buku Nasional. Saya
tidak yakin apakah satu dekade ke depan anak-anak kita masih akan
merayakannya. Bahkan bisa jadi, mereka memang tidak lagi perlu merayakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar