Merawat
Kesadaran
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 18 Mei 2017
Demokrasi langsung yang lahir dari rahim reformasi terasa
kian berat. Setelah didera pragmatisme, transaksional, politik uang, dinasti
politik, kini demokrasi makin terbebani politik identitas. Adu program cuma
menjadi "basa-basi kampanye". Justru isu primordial, seperti agama
dan etnik, begitu "seksi" dipanggungkan saat ini. Boleh jadi karena
agama adalah institusi kebenaran, hukum, dan ritual di mana manusia tunduk
pada kekuatan transenden (Adeniyi, 1993).
Maka, ketika pilkada serentak digelar di 101 daerah (7
provinsi dan 94 kabupaten/kota), hanya Pilkada DKI Jakarta yang paling gaduh.
Di Jakarta, pilkada sangat keras karena panggung politik bertabur politik
identitas. Bahkan, ketika pesta sudah berlalu hampir sebulan silam,
kegaduhannya masih mengekor hingga saat ini. Salah satu dampak paling konyol
adalah retaknya kohesi sosial bangsa ini. Tiba-tiba kebinekaan, keberagaman,
dan kebersamaan terasa berada di tepi jurang.
Kalau masyarakat terus terbelah, bangsa ini yang rugi.
Kelompok-kelompok tertentu bisa jadi terpuaskan, tetapi kasihan pada bangsa
ini. Ibarat pepatah "kalah jadi abu, menang jadi arang" karena
menderita kerugian yang lebih besar. Dan, pertarungan rebutan kekuasaan bukan
mematangkan demokrasi, melainkan bisa membuat demokrasi membusuk karena semua
kepentingan menunggangi demokrasi.
Memasuki era otonomi daerah pada awal 2000-an, politik
identitas memang marak. Isu putra daerah, agama, etnik, misalnya, menjadi
ramuan yang mudah ditemui saat pilkada dan pemekaran daerah. Misalnya, bisa
belajar dari pengalaman pembentukan Kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat (dulu
masuk wilayah Sulawesi Selatan) tahun 2002. Pemekaran yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperpendek rentang kendali pemerintahan,
meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, dan mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik; justru terjebak dalam konflik sosial.
Saat pemekaran, ada kelompok setuju pemekaran (pro) dan
kelompok yang menolak (kontra). Ada tiga kecamatan yang bergolak, yaitu
Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM). Beda sikap ini secara cepat membelah
masyarakat. Tahu-tahu masyarakat sudah tersegregasi. Padahal, mereka berasal
dari nenek moyang sama. Kelompok pro teridentifikasi sebagai orang-orang
Kristen, sedangkan kelompok kontra teridentifikasi sebagai orang-orang Islam.
"Situasinya panas sekali karena agama diisukan," kenang Said
Saggaf, Bupati Mamasa, beberapa waktu lalu, di Makassar.
Isu agama memang dahsyat. Daya destruktifnya luar biasa.
Abdul Wahid, Camat Aralle, mengisahkan kenangan pedih. Saat konflik, Wahid
menjabat Lurah Mambi. Dia masuk kelompok pro. Rumahnya menjadi sasaran massa.
Sampai-sampai istrinya trauma hingga dirawat dan akhirnya meninggal di rumah
sakit di Makassar. Ketika jenazah sang istri dibawa ke kampung halamannya,
Wahid bercerita tidak ada warga yang mengunjungi. "Kami sudah berduka,
tapi saya bilang tidak apa-apa," kata Wahid di Mambi. Ini mirip Pilkada
DKI Jakarta ketika ada penolakan menshalatkan jenazah pendukung Basuki.
Politik identitas memang membuat setiap (anggota) kelompok
saling tak suka. Namun, identitas tidak bisa berkonflik sendiri. Ia akan
menjadi aksi nyata ketika ada penggeraknya. Tilly (1987) menyebutnya
mobilisasi. Di sinilah rawannya. Presiden Joko Widodo memang sudah menegaskan
akan menindak pihak-pihak yang mengancam NKRI. Pada titik ini negara memang
harus tegas. Namun, kesadaran bersama sebagai satu saudara sebangsa, itulah
yang harus terus dirawat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar