Menolak
Ide Khilafah
Moh Mahfud MD ; Ketua Umum Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah
Konstitusi RI Periode 2008-2013
|
KOMPAS, 26 Mei 2017
“Buktikan bahwa sistem politik dan
ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua
diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak
marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal
Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa
Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber
dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat
Islam Indonesia”.
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus
menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis
pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas
keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam,
Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik,
ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran
hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya
tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum
Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan
manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat
ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan
yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan
sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama
yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila
merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus
diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa
atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan
aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung
jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem
politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan
pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem
pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang
tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang
mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam
Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba
sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata
saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah
yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer
Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan
masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya
berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah
(kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai
sistem sulthaniyyah (kesultanan),
ada yang memakai jumhuriyyah
(republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi
sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di
dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah
ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa
diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat
sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem
kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada
sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’
al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai
khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar,
Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk
oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya
disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani
Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman)
dan lain-lain yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang
ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem
negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia
merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem
negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu
masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak
jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan
sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa
yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang.
Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral
dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada
nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi
saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya.
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal
12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut
Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia
Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi
Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam
perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat
Islam sendiri.
Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat
Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada
sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim
kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar
di dalamnya.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara
Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi
suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan
luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia
sudah lama menyimpulkan demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar