Mengusut
Penggelap Pajak
Andreas Lako ; Guru
Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika Soegijapranata, Semarang
|
KOMPAS, 18 Mei 2017
Setelah program amnesti pajak berakhir pada 31 Maret 2017,
ada dua perasaan berbeda di kalangan pengemplang dan penggelap pajak.
Pada umumnya, para pengemplang pajak (tax avoider)—yaitu mereka yang sudah mengikuti amnesti pajak,
tetapi belum melaporkan seluruh hartanya maupun mereka yang belum
berpartisipasi—merasa cemas dan takut terhadap ancaman Presiden Joko Widodo
dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang akan mengusut dan memberikan sanksi
berat kepada mereka. Apabila ancaman itu terealisasi, habislah reputasi dan
harta mereka.
Namun, di sisi lain, para penggelap pajak (tax evader)—yaitu mereka yang selama
ini tidak membayar pajak atau sangat sedikit membayar pajak karena menggunakan
cara-cara ilegal untuk menggelapkan pajak—merasa tetap aman dan bahkan
mungkin sedang menertawakan pemerintah. Mereka yakin aksi-aksi tipuan mereka
yang selama ini telah berhasil mengelabui negara tidak akan terendus.
Keyakinan itu muncul karena selama pelaksanaan amnesti pajak (1 Juli 2016-31
Maret 2017), fokus perhatian pemerintah tertuju kepada pengemplang pajak.
Tak tersentuhnya para penggelap pajak sesungguhnya
merupakan pelanggaran serius terhadap asas keadilan pajak, keadilan ekonomi,
dan keadilan sosial. Akibat pembiaran itu, kerugian negara diperkirakan
mencapai ribuan triliun rupiah. Jumlah kerugian itu bahkan diestimasi jauh
lebih besar dibandingkan dengan kerugian akibat pengemplangan pajak. Karena
itu, praktik ilegal itu harus segera diusut tuntas.
Modus penggelapan
Tulisan ini membahas modus dan strategi pengusutan
penggelapan pajak pada level korporasi. Secara teoretis, penggelapan pajak
(tax evasion) merupakan tindakan rekayasa perpajakan yang dilakukan wajib
pajak individu, korporasi, atau entitas (tax payers) untuk mengurangi jumlah
pajak terutang atau menghindari pajak kepada negara dengan menggunakan
teknik-teknik perekayasaan keuangan yang ilegal (Slemrod, 2007).
Sandmo (2004) menyatakan bahwa tindakan penggelapan pajak
dilakukan dengan cara menyembunyikan data dan fakta dari otoritas pajak.
Sementara Gunny (2005) menyatakan perekayasaan dapat dilakukan dengan teknik accounting fraud, accounting management,
dan real earnings management.
Dalam banyak kasus penggelapan pajak yang terjadi di
banyak negara, termasuk Indonesia, tindakan ilegal itu bahkan dilakukan
secara sistematis oleh wajib pajak berkonspirasi dengan akuntan internal dan
otoritas pajak (McGee, 2006). Di Indonesia, dari sejumlah kasus penggelapan
pajak yang terungkap ke publik, tampak bahwa konspirasi penggelapan pajak
dilakukan secara rapi dengan melibatkan pemilik, direksi, akuntan intern dan
oknum otoritas perpajakan, serta akuntan publik yang mengaudit laporan
keuangan.
Pertanyaannya, apa tipe korporasi yang patut diduga
melakukan praktik penggelapan pajak? Apa saja teknik dan modus
perekayasaannya?
Dari sejumlah hasil studi yang saya lakukan, ada indikasi
kuat beberapa tipe korporasi yang ”gemar” melakukan rekayasa keuangan untuk
penggelapan pajak. Pertama, korporasi tertutup maupun korporasi go public
nasional yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh suatu klan keluarga atau
institusi tertentu. Kedua, korporasi penanaman modal asing (PMA) yang
menguasai mayoritas saham pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia
maupun yang berinvestasi dalam sejumlah sektor usaha.
Umumnya pemegang saham mayoritas dari dua tipe korporasi
itu juga menempatkan orang-orang ”terbaiknya” dalam jajaran direksi dan
komisaris. Mereka juga memilih akuntan intern, akuntan publik, komite audit,
dan lainnya yang bisa diajak untuk ”berkompromi” dalam perekayasaan.
Dalam perekayasaan tersebut, mereka menggunakan teknik
akuntansi income minimization (IM),
yaitu melaporkan laba periodik serendah mungkin agar bisa membayar pajak
serendah mungkin pula. Jika perlu, laba yang dilaporkan bernilai negatif
sehingga tak perlu repot membayar pajak.
Biasanya, apabila nilai laba hasil rekayasa masih besar,
direksi akan menggunakan teknik accounting fraud (AF) untuk menurunkan laba
secara drastis.
Modus perekayasaan yang sering digunakan adalah menurunkan
nilai aset dan ekuitas, meningkatkan nilai utang atau menciptakan pos-pos
utang fiktif, serta menaikkanbiaya dan menciptakan pos-pos biaya fiktif.
Selain itu, direksi juga akan menurunkan nilai pendapatan serendah mungkin
atau menyembunyikan sejumlah transaksi penjualan sehingga pendapatan yang
dilaporkan dalam laporan keuangan menjadi sangat kecil.
Dengan cara tersebut, laba yang dilaporkan menjadi sangat
rendah atau negatif sehingga pajak yang dibayarkan juga menjadi sangat kecil
atau tidak membayar sama sekali. Saya mencermati, teknik IM dan AF banyak
dipakai ribuan PMA.
Dalam artikel ”Penggelapan Pajak PMA” (Kompas, 6/4/2016)
dan ”Mengusut Pengemplang Pajak” (Kompas, 15/4/2017), saya telah menguraikannya.
Selain PMA, banyak korporasi nasionaljuga terindikasi menggunakan teknik yang
sama.
Meskipun banyak digunakan, teknik IM dan AF dinilai sangat
berisiko karena bisa dicurigai otoritas pajak. Karena itu, ada banyak pula
korporasi yang lebih menyukai teknik income smoothing (IS). Berbeda dengan
teknik IM yang berusaha memanipulasi pos-pos keuangan secara signifikan,
teknik IS berusaha merekayasa item-item keuangan secara lebih halus (soft).
Dampaknya, nilai aset, utang, ekuitas, pendapatan, biaya, dan laba yang
dilaporkan dalam laporan keuangan tidak mengalami kenaikan atau penurunan
yang fluktuatif dari waktu ke waktu.
Tujuannya, untuk meratakan besaran pajak dari waktu ke
waktu (tax smoothing). Dengan cara ini, korporasi akan terhindar dari risiko
dicurigai. Jumlah korporasi yang menggunakan teknik ini diyakini jauh lebih
banyak dibandingkan dengan yang menggunakan teknik IM.
Memburu penggelap pajak
Untuk menghentikan praktik penggelapan pajak sekaligus
meningkatkan kepatuhan wajib pajak danpendapatan negara, pengusutan terhadap
korporasi penggelap pajak menjadi sangat penting serta mendesak untuk
dilakukan Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani. Pemerintah perlu membentuk
tim khusus yang kompeten untuk melakukan pengusutan tersebut.
Bagaimana mendeteksi suatu korporasi telah melakukan
penggelapan pajak? Sebenarnya tidak sulit! Pertama, mencermati tren pelaporan
nilai pajaknya dari tahun ke tahun. Apabila suatu korporasi tidak membayar
pajak atau tren pelaporan nilai pajaknya terus menurun atau relatif merata
dari tahun ke tahun, patut dicurigai korporasi tersebut adalah penggelap
pajak.
Kedua, mencermati tren pelaporan nilai aset, utang,
ekuitas pemilik, pendapatan, biaya, dan laba dalam pelaporan keuangan dari
tahun ke tahun. Apabila tren nilainya tak mengalami kenaikan berarti, atau
tren nilai laba dan ekuitasnya cenderung menurun, merata, atau bernilai
minus, patut diduga korporasi tersebut adalah penggelap pajak.
Korporasi-korporasi terduga penggelap pajak tersebut harus
diusut lebih lanjut. Jika terbukti, mereka harus diberi sanksi berat dan
membayar kerugiannegara.
Keseriusan Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani dalam
melakukan pengusutan tersebut tidak hanya akan meningkatkan rasa keadilan dan
kepatuhan wajib pajak, tetapi juga akan meningkatkanpendapatan negara ratusan
hingga ribuan triliun rupiah untuk menopang APBN.
Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar