Menepati
Janji Ekonomi Pemerintah
Aviliani ; Ekonom
Senior Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2017
KABINET Kerja
Jokowi-JK telah memasuki tahun ke tiga pemerintahan.
Sisa waktu
untuk mencapai janji-janji kampanye Pemilu 2014, tinggal sebentar lagi. Namun,
masih cukup banyak janji dan persoalan yang belum tercapai dan terselesaikan.
Memang,
konstelasi politik dan ekonomi, baik domestik maupun global cukup memberi
warna dalam perjalanan ekonomi nasional. Namun, hal itu sangatlah normal,
tinggal bagaimana kemampuan pemerintah mengelola situasi yang ada, serta
memanfaatkan berbagai peluang yang ada, karena di setiap ancaman selalu ada
peluang.
Terpilihnya
Donald Trump dan fenomena Brexit memberikan ketidakpastian ekonomi dunia,
ditambah lagi ekonomi Tiongkok yang belum pulih. Trump yang mengusung politik
dagang poteksionisme menggulirkan berbagai kebijakan yang bertolak belakang
dengan pendahulunya. Rumusan kebijakan yang ditetapkan Trump berpengaruh
signifikan terhadap pemulihan ekonomi dunia, terutama pada sektor perdagangan
dan investasi.
Trump bukan
saja berupaya membangkitkan ekonomi negara, melainkan secara massif menyerang
ekonomi negara-negara lain seperti Meksiko dan Tiongkok, serta menuduh
praktik ekonomi curang (manipulatif).
Sejumlah
peristiwa yang terjadi di tataran global, sama sekali bertolak belakang
dengan proyeksi dan ekspektasi pelaku pasar serta pemimpin di berbagai
negara. Tidak sedikit dari mereka yang harus mengubah kebijakan ekonomi
domestik mereka sebagai respons terhadap hasil-hasil ekonomi politik dan
ekonomi global.
Dapat
dikatakan, negara-negara berkembang merupakan pihak yang cukup menderita
karena masalah Trump dan Brexit.
Migrasi dana,
depresiasi nilai tukar, hingga penurunan lalu lintas perdagangan tidak
terelakkan.
Target
pemerintah meleset
Terpilihnya
Presiden Jokowi-JK bertepatan dengan proses pemulihan dunia, terutama AS.
Saat itu, ada
harapan yang tinggi terhadap perbaikan ekonomi Indonesia sebagai implikasi
dari ekonomi global.
Ada keyakinan
bahwa ekspor dan investasi akan mengalir deras, karena momentum pemulihan
ekonomi AS diikuti dengan proyeksi kemenangan Hillary Clinton.
Berbekal
optimisme terhadap ekonomi global dan pemerintahan baru, pemerintah
menetapkan target-target fantastis.
Pertumbuhan
ekonomi dipatok rata-rata 7% per tahun sepanjang 2015-2019.
Level itu
menyamai realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis 1997/98.
Dengan target
pertumbuhan tersebut, pemerintah berharap dapat menurunkan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) ke level 5%-5,5% pada 2019.
Persentase
penduduk miskin bisa ditekan hingga ke angka 6%-8%. Target-target sosial
tersebut dapat dikatakan kelewat optimistis, karena berbagai faktor
mendasarnya masih sangat lemah.
Faktanya,
lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berpendidikan rendah (SMP ke
bawah), sehingga sulit untuk memigrasi mereka ke jenis pekerjaan yang
memberikan upah dan jaminan kesehatan yang lebih baik.
Alhasil,
sebagian besar tenaga kerja masih terus bekerja di sektor informal, yang
tidak memiliki jaminan pendapatan.
Pada posisi
lain, pekerja sektor formal memiliki skenario kenaikan pendapatan setiap
tahun.
Perbedaan
kondisi kedua sektor usaha tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab
pelebaran tingkat ketimpangan.
Untuk mencapai
target pertumbuhan rata-rata 7% per tahun, regulator berupaya untuk menjaga
pertumbuhan di seluruh komponen ekonomi.
Pertumbuhan
belanja rumah tangga ditargetkan rata-rata 5,34% per tahun, belanja
pemerintah 3,8%; investasi langsung 8%; ekspor dan impor masing-masing 8,66%
dan 7,24%.
Hingga dua
tahun pemerintahan berjalan, realisasi target pemerintah masih jauh dari
harapan.
Pertumbuhan
ekonomi 2015 dan 2016 hanya 4,79% dan 5,02%.
Adapun
realisasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga masing-masing pada 2015 adalah
4,96%.
Konsumsi pemerintah
naik 5.38%; investasi langsung 5,07%.
Ekspor dan
impor masing-masing turun 1,97% dan 5,84%.
Pada 2016,
konsumsi rumah tangga naik 5,01%; belanja pemerintah turun 0,15%; investasi
langsung naik 4,48%; ekspor dan impor 1,74% dan 2,27%.
Faktor penyebab
Upaya
pemerintah mendulang sukses lewat pertumbuhan ekonomi tinggi, masih
membutuhkan jalan panjang dan upaya yang bersifat out of the box.
Berbagai
data-data yang disampaikan baik lembaga pemerintah, nonpemerintah maupun
asing, menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia belum mampu bergerak cepat.
Dengan
struktur perekonomian yang ditopang sektor konsumsi rumah tangga, pemerintah
belum sepenuhnya berhasil menjaga stabilitas harga.
Hal itu
menyebabkan daya beli konsumen cenderung tergerus karena tingginya inflasi.
Memang,
inflasi umum bergerak menurun, akan tetapi inflasi bahan-bahan makanan
(volatile food) bergerak tajam.
Masyarakat
tidak dapat beraktivitas leluasa, misalnya memulai usaha-usaha baru, karena
harus tertekan harga barang-barang yang cenderung melambung.
Kegagalan
pemerintah dalam mengendalikan harga bukan hanya terjadi pada saat momentum
hari-hari besar keagamaan, bahkan pada hari-hari biasa pun, harga bahan-bahan
pokok merobek kantong masyakarat.
Beberapa bulan
lalu, harga cabai melebihi harga daging sapi.
Lonjakan
inflasi pun turut disebabkan kebijakan pemerintah di bidang harga
(administered price).
Keputusan-keputusan
yang masih terasa bagi masyarakat seperti tarif administrasi surat tanda naik
kendaraan (STNK) dan pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA, belum lagi
harga BBM yang cenderung merangkak naik.
Fenomena
inflasi bukan hanya menyulitkan kehidupan masyarakat, melainkan juga
berdampak pada aktivitas ekonomi lainnya.
Saat inflasi
tinggi, sektor keuangan akan kesulitan menurunkan harga dananya (cost of
fund).
Bahkan,
tendensi untuk menaikkan suku bunga sejalan dengan inflasi cukup jamak
dilakukan.
Bank harus
menaikkan suku bunga agar pemilik dana tidak menarik simpanannya.
Investor juga
menilai buruk terhadap inflasi tinggi, sehingga memengaruhi keputusan
investasi.
Inflasi tinggi
menyebabkan harga input dan output melambung, sehingga realisasi investasi
cenderung menurun.
Karena
pendapatan masyarakat tidak tumbuh secepat kenaikan inflasi, aktivitas bisnis
akan tertekan cukup berarti.
Bagi sektor
perbankan, akumulasi pengaruh inflasi dapat terekam dari penurunan permintaan
kredit 2016, dan kemungkinan masih akan berlanjut pada 2017.
Ketersediaan
dana menjadi penentu pencapaian pertumbuhan ekonomi. Sulit mengharapkan
peranan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menopang
pembiayaan negara.
Apalagi,
keseimbangan primer telah defisit sejak 2012.
Hal ini
bermakna bahwa pemerintah akan berat untuk membayar bunga utang dari total
pendapatan negara.
Keseimbangan
primer yang negatif berarti bahwa pemerintah harus menerbitkan utang baru
untuk membayar pokok dan bunga utang (Kementerian Keuangan, 2016).
Mengingat
kondisi yang demikian, pemerintah sangat mengharapkan partisipasi sektor
swasta untuk mendukung pembiayaan pembangunan.
Dalam dokumen
rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) kebutuhan investasi
mencapai Rp26 ribu triliun.
Dari jumlah
tersebut, pemerintah hanya mampu memenuhi sekitar Rp4 ribu triliun atau 15%;
sisanya mengundang peranan swasta.
Langkah
penerbitan paket-paket kebijakan hingga 14 dinilai merupakan salah satu dari
sekian banyak langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengakumulasi pembiayaan
dari sektor swasta.
Meski dalam
catatan pemerintah, 14 paket kebijakan tersebut telah berjalan, belum
tergambar dari lonjakan realisasi investasi.
Bukan hanya
itu, 14 paket kebijakan ekonomi, nyatanya tidak mampu memperbaiki peringkat
daya saing investasi Indonesia.
Harus disadari
bahwa konten paket kebijakan lebih didominasi deregulasi dan debirokratisasi,
sehingga proses dan dampaknya tidak akan terlihat cepat.
Selain itu,
potensi tidak terlaksananya paket kebijakan tersebut di daerah sangat tinggi.
Langkah ke depan
Ada beberapa
poin penting yang harus menjadi perhatian pemerintah ke depan. Pokok-pokok
pikiran ini merujuk pada kekuatan ekonomi domestik.
Bagian pertama
ialah menjaga daya beli masyarakat sebagai modal dasar untuk mengelola
peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB. Dengan jumlah penduduk terbesar
ke empat di dunia, pengelolaan daya beli masyarakat dengan baik dapat
menjamin pertumbuhan ekonomi nasional pada angka minimal 5% per tahun. Apalagi,
saat ini Indonesia ditopang kelompok usia produktif (middle income). Dengan
demikian, kebijakan untuk mendinginkan inflasi terutama dari sisi penawaran
(supply side) seperti bahan makanan (volatile food) dan barang-barang yang
diatur pemerintah (administered price) menentukan perkembangan dan pencapaian
ekonomi ke depan. Cakupannya bergerak dari konsumen, produsen, lembaga
keuangan, hingga investasi.
Perbaikan
iklim investasi terutama di daerah menempati poin krusial dalam memberikan
jaminan berusaha bagi investor. Untuk menjaring potensi dana, pemerintah pun
tidak harus terfokus pada satu negara saja, tetapi justru memanfaatkan
kesempatan mengundang banyak negara yang juga akan meningkatkan barganing
position pemerintah.
Selain itu,
memberikan tempat lebih baik investor lokal harus menjadi prioritas, baik
secara penuh maupun menjadi partner investor asing, sehingga nilai tambah
dari aktivitas investasi lebih dirasakan masyarakat.
Selain
meningkatkan investasi, hal lain yang perlu menjadi fokus pemerintah ialah
mengatasi kesenjangan yang tinggi.
Pemerintah
perlu menginisiasi dengan memberi peluang pada usaha menengah kecil dan mikro
untuk naik kelas dengan berbagai kebijakan.
Sebagai
contoh, perlu diupayakan agar usaha besar dapat menggedong usaha menengah,
kecil, dan mikro, yang di masa Orde Baru disebut bapak-anak angkat, dengan
berbagai model.
Untuk saat
ini, salah satunya yang sudah dapat diimplementasikan ialah pembiayaan
replanting bagi kelompok petani melalui skema khusus dengan syarat ada kerja
sama dengan hilir/inti, dan selama masa itu biaya hidup petani disediakan
terlebih dahulu.
Hal ini bukan
saja dapat menaikkan kelas, akan tetapi dapat juga meningkatkan produktivitas
dan nilai tambah (value added) dari sektor pertanian, dan perkebunan.
Program ini
bisa dilakukan di sektor lain dengan skema yang sesuai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar