Meneguhkan
Demokrasi Kita
Trisno S Sutanto ; Periset Independen; Pernah Kuliah
di STF Driyarkara
|
KOMPAS, 27 Mei 2017
Tampaknya, efek gempa politik yang diakibatkan Pilkada DKI
Jakarta, 19 April lalu, masih terus dirasakan sampai sekarang. Bahkan,
mungkin dalam jangka waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai Pilpres
2019.
Alasannya jelas. Tak seorang pun dapat menyangkal, Pilkada
DKI 2017 yang diwarnai politisasi isu SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan) dan penyebaran kebencian yang brutal merupakan bayang-bayang
dari pertarungan Pilpres 2019. Orang sering menyebutnya sebagai ”pilkada rasa
pilpres”. Pada satu sisi, pilkada lalu masih merupakan kepanjangan sisa-sisa
Pilpres 2014; pada sisi lain, pola-pola pertarungannya ditengarai akan
mewarnai Pilpres 2019.
Sisi yang lain itu sudah menimbulkan kekhawatiran yang
meluas. Jika dalam Pilkada DKI saja brutalitas politisasi SARA dan penyebaran
kebencian sudah seperti itu, bagaimana nasib Pilpres 2019? Masih mungkinkah
serat-serat kultural yang selama ini menjaga kebinekaan bangsa bertahan
menghadapi pertarungan politik akbar itu?
Dalam konteks ini, tulisan Magnis-Suseno, ”Kembalikan
Kesepakatan Bangsa” (Kompas, 19/5), sungguh patut direnungkan. Begawan etika
politik itu menyerukan agar kelompok-kelompok yang bertarung kembali pada
”kesepakatan bersama dan memperbarui kesediaan yang menjadi dasar bangsa
Indonesia yang begitu majemuk: kesediaan untuk saling menerima”.
Menurut saya, seruan moral untuk kembali pada ”kesepakatan
bersama” itu patut didengar para elite politik negeri ini. Namun, masalahnya,
ketika Magnis-Suseno berusaha menjabarkannya ke dalam tiga implikasi, agaknya
penerawangan sang begawan kurang tajam.
Maksud saya begini. Gerakan solidaritas lewat karangan
bunga dan menyalakan ribuan lilin yang meluas ke sejumlah daerah di
Nusantara, bahkan bergema sampai ke luar negeri, bukan dimaksudkan
semata-mata solidaritas pada Ahok, apalagi dianggap sebagai penolakan
terhadap hasil Pilkada DKI. Penilaian seperti itu sungguh keliru.
Saya yakin masyarakat sudah cukup dewasa untuk menerima
hasil Pilkada DKI yang memenangkan pasangan Anies-Sandi. Hanya saja,
masyarakat luas juga kecewa—dan sangat prihatin, bahkan khawatir—terkait
proses-proses politik yang mengiringinya, khususnya politisasi sentimen
primordial SARA dan penyebaran kebencian yang brutal. Juga mereka kecewa—dan
sangat prihatin, bahkan khawatir—dengan vonis tanggal 9 Mei, yakni pada apa
yang disebut Magnis-Suseno sebagai ”sistem yudisial kita (yang) bobrok”.
Memang benar itulah potret Indonesia yang masih penuh
dengan kebobrokan. Tetapi, itu juga Indonesia yang kita cintai. Dan, karena
alasan itu, lahirlah gerakan masyarakat sipil—kelompok-kelompok yang selama
ini disebut the silent majority—untuk menyuarakan keprihatinan dan sekaligus
tuntutan guna meneguhkan kembali demokrasi kita.
Ringkasnya, gerakan solidaritas yang lahir sekarang adalah
lonceng tanda bahaya dari masyarakat sipil agar para elite politik, khususnya
Presiden Jokowi, mulai sungguh-sungguh membangun politik kenegaraan yang
dapat meneguhkan demokrasi kita.
Saya kira Magnis-Suseno akan setuju bahwa sistem demokrasi
hanya dapat berdiri teguh dan hidup jika dilandaskan pada tiga asas penting
ini. Pertama, asas inklusif dan non-diskriminatif, yakni semua kelompok
masyarakat—termasuk kelompok keagamaan—punya hak dan kewajiban konstitusional
yang sama karena mereka merupakan warga negara yang setara. Kedua asas ini
merupakan terjemahan lebih lanjut dari prinsip kewarganegaraan (citizenship) yang menjadi landasan
tatanan demokratis.
Kedua, asas kebebasan dan toleransi beragama. Sebab,
kebebasan tak boleh mengancam toleransi dan sebaliknya toleransi tidak boleh
mematikan kebebasan. Di sini dibutuhkan pelaksanaan hukum yang sungguh-sungguh
guna menjaga baik kebebasan pada satu pihak maupun toleransi pada pihak lain.
Hanya dengan ini, kemajemukan agama di Indonesia tidak perlu menjadi ancaman
yang dapat membuyarkan persatuan.
Ketiga, meritokrasi sebagai satu-satunya tolok ukur yang
diperbolehkan dalam sistem demokrasi. Itu berarti, seorang (calon) pemimpin
publik hanya boleh dinilai berdasarkan karya nyata dan pengabdiannya bagi
masyarakat luas, bukan karena asal usul suku, ras, keyakinan, atau bahkan
orientasi seksualnya. Karena itu, politisasi SARA dan penyebaran kebencian
seharusnya tidak mendapat tempat dalam mekanisme demokratis.
Di sanalah pertaruhan kebangsaan kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar