Mempromosikan
Demokrasi, HAM,
dan
Kesetaraan Gender di Indonesia (2)
Musdah Mulia ; Presiden
Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP); Dosen Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Mei 2017
TAHUN lalu kami tertegun saat seorang wanita muslim, Dian
Yulia Novi, ditangkap sebelum melakukan serangan bom bunuh diri di Indonesia.
Dia sebelumnya ialah seorang pekerja migran wanita di Singapura dan istri
Bahrun Naim, orang yang bertanggung jawab atas serangan bom Sarinah. Menurut
rencana, pada 11 Desember 2016, dia akan meledakkan bom di Istana Negara,
untungnya dapat digagalkan polisi. Tragedi ini menyingkap fakta bahwa
sejumlah wanita muslim terlibat dalam kelompok Islam radikal dan gerakan
teroris di Indonesia.
Rupanya tren terbaru dalam terorisme ialah menjadikan
perempuan sebagai pelaku. Jika aksi teroris di masa lalu memiliki wajah
maskulin dan menggunakan pendekatan patriarkat, kecenderungan penggunaan
wanita teror saat ini sebagai pelaksana yang menggunakan pendekatan feminin.
Meskipun para wanita adalah pelaksana, mereka sebenarnya korban ketidaktahuan
dan dieksploitasi.
Mengapa wanita? Diskusi tentang isu feminisme
mengungkapkan bahwa perempuan dapat diandalkan dalam kesetiaan dan
ketaatan. Wanita ialah kelompok yang dengan mudah percaya apa pun yang
berhubungan dengan agama. Motivasi utama perempuan terlibat dalam kelompok
Islam radikal adalah teologis. Awalnya, mereka diekspos dengan pemahaman
radikal tentang Islam, seperti kewajiban membunuh semua kafir. Mereka sangat
percaya kewajiban mendirikan negara Islam melalui jihad. Perempuan harus
bergabung dalam gerakan jihad dalam membela Islam yang tertindas. Beberapa
dari mereka direkrut melalui pernikahan.
Tugas perempuan dalam gerakan radikalisme cukup bervariasi
dan signifikan, antara lain sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan,
pengkhotbah, dan mengumpulkan dana. Perempuan yang terlibat dalam gerakan
radikalisme sebenarnya ialah pelaksana aksi teroris sekaligus korban. Mereka
ialah korban ideologi suami mereka, korban indoktrinasi agama, korban
stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan korban ekses konflik.
Lagi-lagi, perempuan hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan kekuatan
patriarkat.
Peran penting wanita muslim
Indonesia
Pertama, peran perempuan dalam membangun kesetaraan
gender. Kami percaya bahwa Islam bukanlah penghalang kesetaraan gender.
Namun, pertanyaan besarnya ialah bagaimana memahami Islam? Islam diturunkan
pada abad ketujuh melalui Nabi Muhammad SAW pada saat orang menganut
paganisme, patriarkat, sistem despotik, dan nilai feodalistis. Tidak
mengherankan jika pesan moral Islam lebih ditujukan untuk memberantas semua
itu. Nabi Muhammad digambarkan sebagai ‘proto-feminis’, yang memperkenalkan
reformasi yang melarang pembunuhan bayi perempuan dan memberi perempuan
serangkaian hak.
Peran penting wanita muslim dalam membangun kesetaraan
gender ialah menegakkan konsep tauhid. Dalam menjelaskan ajaran Islam, kita
selalu memulai dari konsep tauhid sebagai landasan utama Islam. Tauhid
benar-benar sebuah keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang harus disembah,
Allah. Keyakinan ini telah melahirkan prinsip kesetaraan semua manusia: pria
dan wanita. Dari konsep tauhid kita dapat menyimpulkan bahwa patriarkat adalah
sejenis sirik atau pelanggaran tertinggi terhadap keesaan Ilahi. Kenapa?
Karena menyangkal persamaan ciptaan Allah.
Kami juga memberikan perhatian pada tujuan utama
penciptaan manusia. Islam sebagai sebuah agama dengan tegas mengajarkan
manusia: wanita dan pria ialah makhluk mulia yang memiliki tugas khusus
menjadi khalifah fil ardh (agen moral). Sebagai agen moral, setiap
manusia--perempuan dan laki-laki--berkewajiban menegakkan keadilan,
kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian di alam semesta. Pada 2004, dalam
kapasitas saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Gender di Kementerian
Agama, saya telah mengusulkan sebuah RUU keluarga yang baru atas nama Counter
Legal Draft of the Compilation of Islamic Law (the Draft) dan jelas
didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan Islam.
Rancangan itu secara ketat mengusulkan, antara lain, usia
minimum pernikahan yang setara (19 tahun) untuk pria dan wanita, penghapusan
persyaratan bahwa wali (pria) harus menyetujui pernikahan seorang wanita. Lalu,
hak yang sama bagi pria dan wanita untuk menceraikan dan hanya melalui
keputusan pengadilan, pembagian aset pernikahan yang setara, dan hak yang
sama untuk hak asuh dan perwalian anak-anak. Dengan draf ini kami benar-benar
ingin menghilangkan semua bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan. Kami juga ingin menghilangkan semua
praktik tradisional atau kebiasaan berbahaya, seperti perkawinan anak dan
mutilasi alat kelamin perempuan.
Kami membuat banyak program untuk mengubah budaya
patriarkat yang begitu mengakar dalam nilai tradisional masyarakat. Misalnya,
program pemberdayaan perempuan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya menghormati manusia dan nilai kemanusiaan melalui pendidikan
parenting untuk menyebarkan budaya kesetaraan, dimulai dari lingkup rumah,
dari kehidupan keluarga. Kedua, peran perempuan dalam upaya deradikalisasi.
Saya sangat yakin bahwa wanita bisa menjadi agen pembebasan. Jika mereka bisa
direkrut sebagai teroris, tentunya juga lebih mudah mendorong mereka menjadi
agen perdamaian. Kami mendesak pemerintah untuk menggunakan strategi
komprehensif dalam memerangi semua bentuk radikalisme agama. Pendekatan
kekuatan militeristis berdasarkan prinsip keamanan harus ditinjau ulang.
Hal terpenting yang kami lakukan ialah mengadvokasi
pemerintah untuk menghilangkan akar terorisme yang sudah ada di masyarakat
kita. Kami juga serius mendorong semua pemimpin agama Islam--pria dan
wanita--dan semua elemen dalam Islam untuk menegakkan ajaran Islam yang
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kesetaraan,
toleransi, dan perdamaian. Kita percaya esensi Islam ialah memanusiakan
manusia dan membangun masyarakat yang adil dan beradab. Kita meyakini tidak
ada cara mudah untuk memutus rantai radikalisme. Kami mendesak pemerintah
untuk mengatasi masalah struktural yang menyebabkan berbagai ketidakadilan
sosial. Pada saat bersamaan, pemerintah harus mempercepat pertumbuhan ekonomi
yang akan menjadi instrumen sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang lamban, rendahnya pendapatan masyarakat,
tingkat kemiskinan, dan tingginya pengangguran, serta rendahnya kualitas
pendidikan akan berdampak buruk pada kehidupan masyarakat. Kondisi ini
berkorelasi langsung dengan radikalisme yang merajalela dan tindak kekerasan
di masyarakat.
Mengenai upaya deradikalisasi, beberapa tindakan telah
dilakukan. Pertama, melakukan tindakan kritis terhadap interpretasi Islam
yang memiliki arti ekstrem dengan melihat kembali makna Islam yang
substantif. Kedua, mempromosikan tradisi keagamaan yang mengedepankan
semangat perdamaian dan tanpa kekerasan. Ketiga, mengadvokasi pemerintah
untuk memainkan peran dalam memberikan perlindungan hukum secara adil kepada
seluruh warga negara. Ketiga, peran perempuan dalam menegakkan HAM.
Sejak 2000, kami telah aktif bekerja untuk menegakkan HAM,
khususnya hak perempuan dan hak kebebasan beragama. Tujuan utama kami untuk
mengadvokasi hak-hak kelompok rentan yang didiskriminasikan dan dieksploitasi.
Kami aktif mengadvokasi pemerintah agar menghapuskan semua peraturan yang
antidemokrasi dan merugikan perempuan dan kelompok minoritas.
Selain itu, kami melaksanakan program-program pendidikan
perdamaian sehingga perempuan dari agama minoritas dan agama adat mengerti
hak mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia bebas. Kami juga
mendorong mereka berani mengemukakan pendapat melawan segala diskriminasi,
kekerasan, dan eksploitasi berbasis agama dengan alasan apa pun. Keempat,
peran perempuan dalam mempromosikan interpretasi Islam yang progresif dan
humanistis.
Sebagai wanita muslim, saya menyadari bahwa Alquran dan
sunah ialah teks yang harus dibaca dan ditafsirkan secara kontekstual, yaitu
dengan memahami konteks sejarah dan politik di saat keduanya diungkap.
Interpretasi berbasis konteks akan membawa kita pada pemahaman dan apresiasi
mendalam tentang pesan-pesan moralitas Islam universal.
Kami ingin menyebutkan beberapa kesalahan penafsiran
ajaran Islam. Pertama, penafsiran yang salah tentang asal mula dan sifat
ciptaan manusia. Umumnya, tokoh agama selalu menggambarkan bahwa manusia
pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam. Setelah itu, Hawa, istrinya,
dibentuk dari tulang rusuknya. Konsepsi semacam itu menimbulkan implikasi
yang luas pada masyarakat, artinya, perempuan adalah subordinator laki-laki,
hanya makhluk kedua. Bukan makhluk penting karena hanya diciptakan dari dan
untuk kepentingan pria. Kami tegaskan bahwa pemahaman semacam itu
interpretasi ajaran Islam yang salah.
Kedua, interpretasi yang salah tentang pengusiran Adam dan
Hawa dari Surga. Tersebar luas di masyarakat bahwa Adam diusir dari surga
karena rayuan Hawa, yang tergoda rayuan setan. Implikasinya, wanita dianggap
penggoda dan dekat dengan iblis. Makanya, jangan pernah terlalu dekat dengan
wanita dan jangan mendengarkan pendapat mereka.
Ketiga, penafsiran yang salah terkait dengan kepemimpinan
perempuan. Terukir dalam pikiran masyarakat tentang konsepsi bahwa wanita
tidak cocok menjadi pemimpin karena lemah dalam dalam pikiran dan agama.
Terlebih lagi, ada hadis bahwa kemalangan akan menimpa sebuah bangsa saat
memercayakan kepemimpinannya kepada wanita. Ketiga contoh salah tafsir itu
mengarah pada gagasan bahwa posisi dan status perempuan rendah dan inferior.
Upaya reinterpretasi
Untuk mengatasi kesalahan interpretasi itu, kami telah
melakukan upaya reinterpretasi. Sejak 2000, wanita muslim Indonesia telah
aktif mempromosikan dan menerbitkan interpretasi Islam progresif dan
humanistis. Pertama, dalam hal penciptaan manusia. Semua manusia, pria dan
wanita, diciptakan Tuhan dari bahan yang sama (nafs wahidah). Oleh karena
itu, tidak ada alasan mengasumsikan inferioritas wanita terhadap pria.
Deklarasi ini dengan jelas dinyatakan dalam ayat-ayat Alquran seperti:
Al-Nisa, 1, Al-Mu’minun, 23: 12-16; Al-Hajj, 22: 5; dan Shad, 38: 71.
Kedua, dengan mengacu pada perbuatan, kami mengusulkan
agar pria ataupun wanita diberi imbalan atas jasa mereka dan dihukum karena
dosa-dosa mereka sebagaimana dinyatakan dalam Al-Nisa, 4: 24; Al-Nahl, 16:
97; Al-Ma’idah 5: 38; Al-Nur, 24: 2; Al-Ahzab, 33: 35-36; Al-An’am 6; 94.
Ketiga, dalam hal kepemimpinan, kami mengusulkan bahwa manusia pada dasarnya
adalah pemimpin, setidaknya untuk dirinya sendiri. Setiap orang akan
dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Sebuah hadis menyatakan,
‘Setiap orang dari Anda adalah pemimpin dan setiap orang dari Anda akan
ditanyai mengenai kepemimpinan Anda’. Hadis ini menyiratkan kesempatan kepada
siapa pun, tanpa memandang gender mereka, untuk menjadi pemimpin. Jadi, Islam
dengan tegas menyatakan bahwa baik pria maupun wanita memiliki akses yang
sama untuk menjadi pemimpin (Al-Taubah, 9: 71).
Sebenarnya, ada banyak ayat Alquran yang menjelaskan
prinsip kesetaraan gender dalam Islam, misalnya persamaan hak untuk
berpartisipasi dalam ranah publik dan semua kehidupan sosial. Persamaan dalam
hukuman agama karena melakukan dosa, kesetaraan nilai-nilai moral yang
diadvokasinya, kesetaraan dalam yurisdiksi untuk melaksanakan semua tugas
keagamaan sehingga wanita dalam Islam menikmati karakter dan yurisdiksi yang
independen.
Keempat, dalam hal program KB, kami selalu mengingatkan
bahwa Islam secara serius memperhatikan kesehatan reproduksi wanita. Sebagian
besar pemimpin muslim sepakat bahwa Islam mengizinkan KB. Alquran tidak
pernah mengatakan menggunakan alat kontrasepsi melanggar aturan Tuhan. Selain
itu, Islam tidak keberatan dengan jarak kelahiran karena ada banyak ayat yang
mendorong ibu menyusui anaknya selama 30 bulan. Kami selalu mendorong semua
muslim, pria dan wanita, memiliki keberanian untuk menyuarakan interpretasi
Islam yang lebih humanistis dan rasional. Interpretasi Islam semacam itu akan
dapat merespons semua isu kontemporer masyarakat modern, seperti demokrasi,
HAM, dan kesetaraan gender. Model interpretasi Islam itu dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas komunitas muslim dan untuk perdamaian serta
kemajuan semua manusia. Tentu saja, ini tidak mudah.
Sebagai seorang wanita muslim dan sebagai manusia, saya
percaya bahwa agama harus memiliki kemampuan mengubah para pengikutnya
menjadi lebih peka terhadap masalah yang dihadapi manusia dan menjadi lebih
profesional dalam memberikan bantuan kemanusiaan, khususnya bagi mereka yang
rentan. Dengan kontribusi kecil yang dapat saya berikan, pada saatnya nanti
di masa depan saya tidak akan menyesal pernah tinggal di dunia fana ini.
Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar