Krisis
Dalam Jurnalisme
SH Sarundajang ; Anggota Dewan Pers
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Mei 2017
MEDIA telah
menjadi kunci penggerak jurnalisme bagi masyarakat di masa lalu. Namun,
perkembangan pada dekade terakhir telah mengubah pemahaman ini. Teknologi,
ekonomi, dan transformasi politik yang tidak terelakkan membentuk kembali
lanskap komunikasi. Peliputan peristiwa-peristiwa besar seperti pemilihan
umum serta referendum belakangan ini telah menimbulkan banyak pertanyaan
tentang kualitas, dampak, dan kredibilitas jurnalisme, dengan kepentingan
yang sangat luas. Ada pemahaman media tradisional kehilangan kontrol atas
definisi pemberitaan dan posisi utamanya sebagai sumber utama berita untuk
masyarakat. Hal ini telah digantikan desentralisasi, teknologi media yang
diatur sesuka hati. Yang lain berpendapat merek berita tradisional tetap
penting bagi generasi berita asli dan informasi tepercaya, serta setidaknya
dalam teori merupakan jaminan kredibilitas.
Ada juga
pandangan yang menyambut perluasan pluralisme media melalui munculnya media
sosial, dan melihat ini sebagai alternatif selain jurnalisme mainstream yang
terlalu sering mengalami penurunan dari standar profesional. Namun,
perspektif lain menyesalkan potensi yang disediakan media sosial bagi masyarakat,
justru terperangkap dalam kepompong informasi yang tertutup serta
ketidakmampuannya untuk membedakan kebenaran dan rekayasa. Adalah benar yang
disampaikan John John Lloyd, wartawan harian Financial Times, yang
menyampaikan, "Surutnya peran surat kabar secara fisik dan berpindah ke
media internet, telah menempatkannya ke dalam arus besar informasi, fantasi,
kebocoran, teori konspirasi, ekspresi kebajikan dan kebencian."
Penurunan
jumlah audiens media tradisional/mainstream (televisi, radio, dan media
cetak), menurunnya profit, dan klaim melebarnya kesenjangan antara media dan
publik, berkembang biaknya fake news (hoax) terkait dengan peliputan sejumlah
peristiwa politik besar pada 2016, merupakan tantangan besar yang berdampak
pada sektor media. Seperti halnya di negara lain, Indonesia sebagai salah
satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia juga sedang
menghadapi tantangan penyebaran hoax yang sangat meresahkan. Fabrizio
Moreira, politikus asal Ekuador yang telah hijrah ke Amerika Serikat karena
menentang pemerintahan, Rafael Correra, mengatakan, "Berita bohong dapat
dengan sederhananya telah menyebarkan informasi yang keliru atau dengan
bahayanya memoles propaganda yang penuh dengan kebencian."
Apakah
permasalahan yang dihadapi jurnalisme sebenarnya ialah masalah dengan budaya
kita sendiri? Robert Biezenski, profesor sosiologi merasa bahwa di
negara-negara lain media sedang memainkan peranan penting dalam perubahan di
masyarakat. Surat kabar Barat sering kali hanya memberitakan pengungkapan
masalah tanpa melihat perannya menggerakkan masyarakat untuk peduli atau
memecahkan masalah itu, sedangkan di bagian dunia lainnya dapat melihatnya.
Biezenski menunjuk pada Amerika Latin, yaitu kegiatan medianya yang sangat
terkait dengan aktivitas politik dan selalu berpihak sebelah, dan ketika
pemberitaannya terlalu jauh melangkah, sudah pasti akan terjadi kekerasan,
wartawan terbunuh atau ditembak. Hal itu tidak terjadi di Amerika Utara
karena jurnalis lebih menyentuh ke hal-hal yang praktis, berita entertaint
dan sport. Dalam artian bahwa berita yang disampaikan tidak membuat
jurnalisnya 'layak untuk terbunuh'. Sangat jarang menyentuh kepada sistem
secara utuh yang berefek pada kritik sosial, lebih kepada individu.
Seperti halnya
dengan kondisi di Amerika Latin, media di Indonesia yang sebagian besar
dimiliki pengusaha dan politisi pastinya akan memprioritaskan pemberitaan
yang sebelah/berpihak. Stephen Whitworth, pemimpin redaksi Prairie Dog,
berpendapat sangatlah penting untuk memastikan Anda terhubung dengan pembaca
dan audiens merasakan koran Anda ialah sesuatu yang nyaman untuk diambil dan
dibaca. Fokus jurnalisme bukan hanya fakta dari cerita, melainkan juga
kemampuan untuk membentuk pemahaman akan cerita itu. Jurnalisme ialah sebuah
proses seni. Jika Anda tidak memahami seni untuk berkomunikasi, menjangkau
orang, dan menulis, Anda tidak akan dapat terhubung dengan masyarakat.
Presentasi penting untuk mendistribusikan informasi.
Keterikatan
jurnalisme terhadap publik adalah bagaimana jurnalisme tersebut menjadi
sesuatu yang dapat memperkuat kembali wacana publik dan ketertarikan mereka
dalam politik. Jurnalisme harus menarik, dan relevan kepada publik. Apa yang
terjadi saat ini adalah menarik, tapi apa yang terjadi hari ini dan memberikan
implikasi kepada kualitas hidup Anda di masa depan ialah penting. Siapa pun
yang menggeluti jurnalisme hendaknya terus bekerja menghadapi segala
tantangan yang ada dan terus berupaya untuk mendidik masyarakat tentang apa
yang sedang dikerjakan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
terbiasa dengan keberadaan media alternatif lainnya. Fakta menunjukkan bahwa
sebuah koran 'alternatif' di Seattle bahkan mampu memenangkan penghargaan
bergengsi jurnalisme, Pulitzer.
Di Setiap
tantangan atau hambatan selalu menawarkan tersedianya peluang. Jim Rutenberg
dari Harian New York Times menjelaskan ledakan berita bohong selama 2016
dapat saja justru meningkatkan nilai dari berita benar. Ia berkesimpulan,
"Bila demikian halnya, jurnalisme hebatlah yang akan menjadi penyelamat
jurnalisme itu sendiri." Jurnalisme asli, kritis, dan dari hasil telaah
yang mendalam mungkin lebih dibutuhkan sekarang ini jika dibandingkan dengan
masa yang lalu. Yang harus kita sadari juga bahwa perubahan dan transformasi
akan terus terjadi. Kemampuan untuk beradaptasi ialah hal yang sangat penting
untuk mengantisipasinya dan jika diperlukan lakukanlah revitalisasi.
"When society as a whole changes, when the whole economy goes down the
tube, when millions of people are suddenly unemployed. Then society will
change. Not before. And the media will change. Not before." (Ketika
masyarakat berubah secara utuh, ketika ekonomi jatuh, ketika jutaan orang
tiba-tiba menganggur. Kemudian masyarakat akan berubah. Bukan sebelumnya. Dan
kemudian media akan berubah. Bukan sebelumnya.)- Robert Biezenski. Selamat
menyambut ajang Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 1-4 Mei 2017, Jakarta,
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar