Kredibilitas
Presiden Trump
Indra Astrayuda ; Pengamat
Ekonomi Amerika Serikat; Bekerja di Bank Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Mei 2017
RUMOR, kontroversi, dan broken promises sepertinya menjadi
bagian dari langkah dan kebijakan Presiden Trump. Dengan fenomena ini,
kredibilitas Presiden Trump menjadi pertaruhan. Indeed, tak sedikit
masyarakat Amerika Serikat (AS) yang mulai meragukan kredibilitas Trump
sebagai presiden AS dengan kekuasaan dan otoritas yang besar.
Kredibilitas Trump menjadi sorotan pascarumor terkini
terkait dengan langkah Trump yang diduga telah mengintervensi dan pada
akhirnya memecat Direktur FBI James Comey. Langkah Trump tersebut diduga
terkait dengan investigasi yang dilakukan FBI pada kasus Michael Flynn
(mantan penasihat keamanan nasional di kabinet Trump) yang diduga melakukan komunikasi
ilegal dengan Duta Besar Rusia untuk AS.
Rumor dugaan intervensi tersebut bersumber dari pengakuan
James Comey melalui catatan pribadi bahwa Trump telah meminta dirinya untuk
menghentikan penyidikan pada kasus Flynn. Dalam catatan pribadi tersebut,
Flynn tidak merespons permintaan Trump tersebut. FBI tetap melanjutkan
investigasi terhadap kasus dugaan komunikasi ilegal Flynn dengan pihak Rusia.
Bahkan, FBI memperluas penyelidikan dengan menginvestigasi lebih jauh
mengenai kemungkinan komunikasi yang lebih luas antara jajaran kabinet Trump
dan pihak Rusia. Banyak analis berspekulasi keputusan Trump pada akhirnya
memecat James Comey sebagai Direktur FBI tidak terlepas dari masih
berlanjutnya dan meluasnya investigasi oleh FBI.
Janji kampanye Trump
Kredibilitas Trump juga menjadi sorotan dengan kinerja
yang tidak memuaskan dalam 100 hari sebagai presiden AS. Trump belum mampu
merealisasikan janji-janji utama dalam kampanyenya. Bahkan survei dari NBC
News/Wall Street Journal menunjukkan approval rating Trump yang sangat rendah
(40%), terendah sepanjang sejarah presiden AS sejak Perang Dunia Kedua.
Trump sampai saat ini juga belum berhasil merealisasikan
janjinya untuk menghapus Obamacare. Pada Maret, anggota kongres dari Partai
Republik sempat memutuskan menunda pembahasan lebih jauh mengenai Obamacare
mengingat kurang solidnya dukungan dari Partai Republik sendiri. Padahal,
bila kita kilas balik pada masa kampanye, janji manis untuk mengganti
Obamacare sesegera mungkin merupakan salah satu faktor kunci kemenangan
Trump. Realisasi janji tersebut masih sangat dinantikan pendukungnya meski
beberapa republican sudah menyatakan pesismisme.
Perkembangan terkini memang menunjukkan pada awal Mei
2017, House of Representative telah menyepakati untuk menghapus Obamacare dan
menggantinya dengan American Health Care Act (AHCA). Meskipun demikian,
pembahasan penghapusan dan penggantian Obamacare pada level Senat
diperkirakan akan berjalan dengan dengan alot. Penghapusan dan penggantian
Obamacare tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan House of Representative dan
Senat.
Isu utama pembahasan ialah dampak sosial berupa premi
asuransi yang lebih tinggi dan penambahan uninsured people sebanyak 24 juta
orang. Survei pun menunjukkan preferensi masyarakat yang lebih mempertahankan
Obamacare. Survei dilakukan Morning Consult menunjukkan 50% dari pemilih AS
memilih untuk mempertahankan Obamacare.
Dalam 100 hari pertama, Trump juga belum menunjukkan
progres yang memuaskan dalam merealisasikan janji kampanye kebijakan fiskal melalui
reformasi pajak dan investasi infrastruktur. Trump masih berkutat dalam
perumusan secara detail reformasi pajak melaui tax cut, dengan beberapa isu
utama yang masih perlu pembahasan lebih detail.
Pada akhir April lalu, Trump hanya meliris 1 lembar
outline Tax Reform Proposal dan direpons skeptis oleh pasar. Skeptisme
tersebut tidak terlepas dari minimnya penjelasan secara rinci mengenai
reformasi pajak terutama terkait dengan potensi pendanaan reformasi pajak.
Selain itu, analis memperkirakan reformasi pajak tersebut tidak bersifat
revenue netral dan akan berdampak signifikan pada peningkatan defisit
anggaran AS.
Bahkan peningkatan tersebut masih cukup besar meski
setelah memperhitungkan potensi peningkatan penerimaan pascaakselerasi
pertumbuhan ekonomi akibat tax cut. Selain itu, masih belum terdapat
kejelasan terkait dengan isu populis apakah tax cut akan lebih berdampak pada
middle class ataukah lebih berdampak pada wealthy/business class.
Dengan progres yang tidak memuaskan tersebut, kebijakan fiskal
melalui reformasi pajak diperkirakan baru dapat diimplementasikan pada 2018.
Pembahasan reformasi pajak diperkirakan akan berlangsung sangat alot dan
berlarut-larut sehingga diperkirakan relatif sulit diimplementasikan sebelum
2018. Beberapa analis juga mulai memperkirakan bahwa reformasi pajak itu
diperkirakan tidak akan sebesar janji kampanye Trump. Terbatasnya sumber
penerimaan lain (dan potensi penghematan pengeluaran) untuk mengompensasi tax
cut menjadi salah satu dasar argumen terbatasnya ruang gerak dalam melakukan
reformasi pajak.
Selain itu, Trump melanggar janji kampanyenya untuk
mengategorikan Tiongkok sebagai currency manipulator atau negara yang
memanipulasi kurs. Bulan lalu, Presiden Trump break his promises dengan
menyatakan Tiongkok bukan negara currency manipulator. Pada masa kampanye,
Trump dengan lantang berjanji akan menyatakan Tiongkok sebagai negara
currency manipulator pada hari pertama sebagai presiden. Namun, dalam
perjalanannya, janji hanya tinggal janji, bahkan dilanggar dengan menyatakan
Tiongkok bukan negara currency manipulator. Dalam US Department of Treasury
Report 14 April 2017 dinyatakan bahwa tidak ada negara mitra dagang AS yang
memenuhi kriteria sebagai currency manipulator.
Ke depan, rumor, kontroversi, dan janji kampanye yang
belum terealisasikan akan menjadi isu utama dalam kredibiltas Trump sebagai
presiden AS. Rumor dan kontroversi mengenai keterkaitan Trump (dan anggota
kabinetnya) pada pihak Rusia akan terus bergulir. Kredibilitas Trump dalam
merealisasikan janji kampanye akan terus menjadi sorotan. Proses legislasi
penghapusan Obamacare dan reformasi pajak akan menjadi pertaruhan
kredibilitas Trump sebagai presiden AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar