Komunikasi
BS Mardiatmadja ; Rohaniwan
|
KOMPAS, 27 Mei 2017
Cum (Latin: bersama) dan unire (Latin: menyatukan) dipadukan
dalam kata communicatio atau
komunikasi, dan mau menggarisbawahi fokus pemersatuan. Sejak kecil, siapa pun melakukan hal itu.
Kadang dengan kata-kata, tetapi lebih dahulu lagi ”dengan tindakan”. Ibu dan
bayi yang baru dilahirkannya berkomunikasi dengan peluk-ciumnya: tanpa kata.
Seluruh tubuh kita merupakan sarana komunikasi: tergantung pada kehendak si
pemberi komunikasi dan si penerima. Orang yang dikirimi sinyal komunikasi
dengan sentuhan dapat menangkapnya dan mengartikannya secara positif serta
menyambutnya, dapat juga memahaminya sebagai gangguan atau bahkan pelecehan.
Manusia memang amat peka dalam hal ”berkomunikasi”: peka
positif atau peka negatif. Oleh karena itu, komunikasi yang dimaksudkan
sebagai sarana pemersatu kadang juga menjadi sarana konflik atau permusuhan.
Begitu pula pelbagai alat komunikasi—dari tangan, peluk, telepon, hingga
bunga—mudah menandai persaudaraan, tetapi juga gampang merangsang
pertentangan.
Perbedaan makna pengiriman dan penerimaan sinyal komunikasi
dapat terjadi karena masalah biologis (sehat atau terganggu cacat badan),
keadaan kejiwaan (sedang rindu atau sedih atau marah), kondisi ekonomis (kaya
atau kehabisan dana), posisi politis (ingin berkuasa atau baru dipecat),
sikap spiritual (sektarian atau terbuka pada orang beragama lain) atau
campuran semuanya.
Komplikasi komunikasi dapat juga terjadi karena ”faktor
obyektif”, seperti cuaca, posisi lalu lintas, dan bahasa.
Orang akan tersenyum geli, apabila sedang memasak nasi dan
mencicipi, lalu seorang Jawa dari Bantul berkata atos (dalam bahasa Jawa
artinya masih/”keras”, jadi ”belum matang”), tetapi oleh juru masak dari
Garut diterima sebagai atos, dalam pengertian Sunda (atos berarti
”sudah”/cukup masak). Orang dapat penuh simpati melawat orang meninggal
memakai baju putih, karena menurut kulturnya itulah tanda dukacita, tetapi
tindakan itu dapat saja dianggap tak sopan oleh budaya lain yang memandang
warna putih sebagai sukacita.
Oleh karena itu, saling mengenal dan menghargai perbedaan lambang-lambang
kultural menjadi sangat penting dalam pergaulan normal zaman sekarang: suatu
masa, yang di negara atau kota mana pun dipenuhi orang dari aneka budaya.
Minimal sesama akan menganggap seseorang ”kurang kenal kebudayaan majemuk”
atau bahkan memandang sebagai ”orang yang tak berbudaya”, apabila meminta
semua orang memakai kata dan tindakan serta lambang pergaulan yang dipeluknya
sendiri.
Negara sekecil San Marino atau Makau sudah sarat dengan
orang dari pelbagai budaya, yang sangat menuntut saling mengenal dan
menghargai kultur satu sama lain. Satu saja yang biasanya diharuskan dipatuhi
semua orang dari segala budaya: peraturan lalu lintas.
Komunikasi indah
Salah satu lambang budaya yang amat menarik untuk dikenali
dan saling dihargai adalah yang berkaitan dengan kenegaraan, keyakinan, dan
agama. Tidak satu pun negara akan mengirimi duta besar negara lain dengan
telur busuk karena hal itu merupakan lambang penghinaan negara.
Hal serupa terjadi dengan pengibaran bendera: jangan
sampai terlipat atau salah pasang. Bahkan Polandia dan Indonesia harus amat
berhati-hati dalam mengibarkan bendera (karena warna merah-putihnya
berbalikan). Dianggap penistaan berat apabila seseorang atau suatu kelompok
merobek atau mencoret-coret bendera kebangsaan suatu negara: hubungan
diplomatik dapat putus karenanya atau si pelaku dapat diusir dari negara yang
bersangkutan.
Dipandang sebagai penodaan berat apabila orang mengirim
bunga terbalik kepada seseorang pembesar publik, apalagi sambil
menghancurkannya. Tidak seorang pun yang akan menunjukkan kemarahan terberat
sekalipun, dengan secara sengaja melecehkan hal suci pemeluk religiositas
lain: sebab tindakan itu biasanya dianggap sebagai justru merendahkan dirinya
sendiri.
Diperlukan hanya sedikit saja usaha untuk rela mempelajari
lambang dan bentuk komunikasi yang umum dalam pergaulan lintas budaya, supaya
kita dapat mengambil tempat terhormat dalam permusyawaratan.
Mempelajari cara bergaul dan lambang komunikasi yang
menghormati sesama, bukanlah tindakan ”rendah diri” melainkan ”sikap rendah
hati”, yang pada gilirannya menciptakan komunitas indah. Sebabnya sederhana:
semua simbol itu merupakan ”sarana komunikasi”, yakni mau ”mempersatukan” dan
bukanlah ”memisahkan”. Itulah sebabnya, di seluruh dunia, tempat para permaisuri
dan putri kerajaan senantiasa mengandung taman dan kolam yang indah: penuh
dengan lambang dan sarana berkembang untuk komunikasi paling mesra, yakni
cinta kasih mulia para tokoh kerajaan.
Pada banyak tempat ibadat dari banyak agama dipakailah hiasan
sulur dan bunga-bunga untuk mengangkat hati kepada Yang Mahatinggi.
Menghancurkan keindahan hiasan serta lukisan berlambang cinta itu tidak akan
dilakukan siapa pun, yang menghargai sesama dan lambang saling menghormati.
Itulah sebabnya, banyak sekali candi dan tempat suci sedapat mungkin tidak
dirusak dalam perang yang paling ganas sekalipun.
Semua orang dan semua generasi tak mau kehilangan
komunikasi dengan teman sezaman maupun orang dari zaman lain. Kita semua
manusia yang saling mencintai.
Persatuan dalam komunitas majemuk dapat dibentuk dengan
rapat dan sidang, tetapi sangat terasa berarti apabila diwujudkan dengan
saling berbagi lambang-lambang penghargaan. Komunikasi dengan lambang cinta
atau penghargaan sering kali lebih berbicara daripada kalimat dan kata yang
paling indah sekalipun. Begitulah keabadian cinta suami-istri dilukiskan juga
dengan lambang berupa cincin yang tidak dapat ditemukan awal dan akhirnya.
Membinasakan atau menghancurkan lambang itu serupa dengan meniadakan
kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar