Kemenangan
Emmanuel Macron
Kemenangan
Uni Eropa
Fertiana Santy ; Kandidat
Doktor Politik Uni Eropa di Institut d'Etudes Politiques d'Aix-en-Provence,
France;
PNS di Biro Hukum dan Kerja Sama
Luar Negeri, Kementerian Agama
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Mei 2017
”ON ne choisit pas entre deux chaos,
si aucun candidat n’est parfait, tous ne sont pas aussi dangereux. Ne pas
voter, c’est accepter potentiellement le pire. Si un mieux n’est pas annonce,
on peut vouloir eviter un pire.”
-Abbe Grosjean, Pastor Kepala Saint-Cyr-l’Ecole, Paris.
Kalimat tersebut tepat menggambarkan apa
yang disebut Romo Franz Magnis Suseno bahwa, “Pemilu bukan untuk memilih yang
terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”
Kata-kata bijak ini sangat dipahami rakyat
Prancis yang telah memilih presidennya pada Minggu (7/5) setelah 11 kandidat
yang bertarung dalam putaran pertama yang digelar dua minggu lalu, 23 April.
Ada dua kandidat yang berlaga pada putaran kedua, yaitu Emmanuel Macron dan
Marine Le Pen. Sedikit melihat ke belakang, menariknya hasil putaran pertama
pilpres ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat tidak memilih kandidat dari
partai besar sayap kanan maupun kiri seperti Republikan (Francois Fillon) dan
Sosialis (Benoit Hamon).
Lalu, dalam konteks pilpres ini,
pertanyaannya siapakah capres ‘terburuk’ menurut rakyat Prancis, yang dicegah
untuk berkuasa? Hasil pilpres membuktikan bahwa rakyat Prancis telah mencegah
Le Pen menempati kekuasaan tertinggi di Republik. Dengan kata lain, Macron
telah memenangi Pilpres 2017 dengan persentase pemilih mencapai 66,06%.
Kemenangannya diklaim sebagai angin segar untuk Uni Eropa sekaligus obat
penawar dari kekecewaan terhadap arus populisme Le Pen, Wilders, Brexit, dan
kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS.
Bursa perdagangan Eropa seperti DAX Jerman
dan CAC Prancis merespons kemenangan ini dengan mencapai patokan tertinggi
dan menunjukkan kelegaan karena integritas Uni Eropa tetap utuh.
Tak kurang Presiden Francois Hollande,
Perdana Menteri Bernard Cazeneuve, Pejabat Tinggi Uni Eropa Jean-Claude
Juncker dan Federica Mogherini menunjukkan dukungannya terhadap Macron.
Termasuk kandidat yang kalah, Francois Fillon dan Benoit Hamon, sampai
legenda sepak bola Prancis, Zinedine Zidane, menyerukan warga negara yang
memiliki hak pilih memberikan suaranya untuk Macron dalam rangka menghentikan
langkah Marine Le Pen.
Mengapa Le Pen kalah?
Sepanjang sejarah pemilihan presiden-dalam
sistem politik Prancis yang masih didominasi laki-laki-Le Pen merupakan salah
dua capres perempuan yang mampu berlaga ke putaran kedua, setelah Segolene
Royal pada Pilpres 2007. Walaupun demikian, isu gender ternyata tidak mampu
meningkatkan jumlah suara pendukungnya. Kaum feminis Prancis tidak
menganggapnya vokal menyuarakan hak-hak perempuan, seperti isu kekerasan
domestik yang dilakukan pria kulit putih, isu penghapusan hak aborsi, dan
pemotongan tunjangan bagi orangtua.
Selain itu, ia terkenal sangat keras
mengkritik perempuan muslim terkait dengan pemakaian hijab/jilbab sebagai
identitas/simbol keagamaan.
Marine Le Pen, seorang garis keras
nasionalis, ialah pendukung proteksionisme ekonomi dan perlindungan
perbatasan. Ia menyerukan Prancis untuk keluar dari zona Uni Eropa melalui
referendum Frexit (France Exit), seperti halnya Brexit.
Sebagian besar rakyat menganggapnya sebagai
xenofobia, antiimigran, antimuslim, dan antisemit. Hal ini disebabkan
pernyataannya untuk menutup masjid-masjid dan mencabut kewarganegaraan
beberapa ulama/imam. Pada April lalu dalam sebuah wawancara dengan media
lokal, ia menyangkal peristiwa holocaust dan yakin bahwa Prancis tidak
bertanggung jawab atas pendeportasian 76.000 Yahudi dari Prancis ke kamp
konsentrasi Nazi di Auschwitz selama perang dunia kedua.
Banyak yang menyesalkan pernyataannya ini
sebagai suatu kegagalan besar dalam membawa perubahan partainya Front
Nasional ke arah ‘moderat’, seperti yang dijanjikan oleh Le Pen sebelumnya.
Kemenangan
Macron
Terlepas
dari isu peretasan e-mail Macron, tidak memengaruhi terpilihnya Emmanuel
Macron, 39, sebagai orang nomor satu di Republik. Dengan demikian, ia menjadi
presiden termuda setelah kemenangan pendahulunya Napoleon Bonaparte, terpilih
saat usia 40 tahun pada pilpres yang digelar 1848.
Macron seperti kuda hitam yang muncul di
pilpres kali ini, tiga tahun yang lalu ia bukan siapa-siapa. Partai En Marche
didirikannya tahun lalu dan memproklamasikan diri sebagai sayap tengah
independen, dan belum memiliki keterwakilan sama sekali di parlemen. Sebuah
tantangan tersendiri untuk Macron karena ia harus mampu meraih mayoritas
parlemen dalam pemilihan legislatif bulan depan. Tanpa mayoritas, tentu sulit
baginya untuk mewujudkan janji manifesto politiknya.
Ia bertekad ingin mewujudkan Prancis yang
modern dan multikultural, menempatkan dirinya sebagai sosok optimistis dan
progresif, penawar dari visi suram dan reaksioner Front Nasional Le Pen. Ia
ingin meningkatkan peran Uni Eropa dalam ekonomi, pertahanan, dan imigrasi.
Berseberangan dengan Le Pen, dalam debat dan dialog yang diadakan media
lokal, seperti RTL, France 2, dan TF1, ia menyatakan sikapnya terhadap Islam
dan muslim, bahwa ia tidak kontra terhadap Islam sebagai sebuah agama.
Baginya tidak ada agama yang menjadi masalah di Prancis. Republik yang
mengedepankan sekularisme (laicite) wajib bersikap netral dan berkewajiban
memberikan kebebasan bagi rakyat untuk ‘mempraktikkan agama dan keyakinannya
dengan harga diri’.
Di sisi lain, ia pun melihat bahwa ada
kebutuhan mendesak untuk membantu beberapa muslim yang kontra dengan
nilai-nilai laicite. Untuk itu, ia ingin memfasilitasi mereka
merestrukturisasi apa yang disebut muslim Prancis dan bagaimana mereka
berintegrasi dengan nilai-nilai laicite tersebut.
Sama halnya dengan Uni Eropa, dalam konteks
hubungan bilateral dengan Indonesia, Macron merupakan apa yang saya sebut
seperti vitamin, yang berfungsi menutrisi dan menyehatkan hubungan bilateral
kedua negara yang telah terbina sejak lama. Platform politiknya sejalan
dengan kebijakan dan politik luar negeri Indonesia.
Kunjungan Presiden Francois Hollande ke
Indonesia pada 29 Maret yang lalu, menurut Presiden Joko Widodo merupakan
kunjungan bersejarah setelah 31 tahun tidak ada kunjungan Presiden Prancis ke
Indonesia. Kunjungan ini sekaligus menguatkan kerja sama di bidang
kemaritiman, teknologi informasi, pendidikan dan riset, pariwisata, serta
pertahanan. Termasuk upaya memerangi terorisme, ekstremisme, dan radikalisme.
Macron memiliki visi dan kebijakan yang
sejalan dengan Presiden Francois Hollande, dan itu berarti kerja sama
bilateral kedua negara akan terus berkembang. Macron akan dilantik dan secara
resmi menempati istana kepresidenan Elysee sebagai Presiden Prancis pada 14
Mei. Mari kita nantikan langkah Macron selanjutnya. Vive la Republique,
Ensemble la France. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar