Kembalikan
Kesepakatan Bangsa
Franz Magnis-Suseno ; Guru
Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS, 19 Mei 2017
Tujuh bulan terakhir membuat bangsa Indonesia stres. Tekad
bangsa bersatu dan saling menerima berada di bawah tekanan berat.
Yang mengkhawatirkan bukan hanya suara-suara yang memang
menakutkan, yang menyangkal kesamaan konstitusional segenap warga bangsa,
tanpa membedakan suku, etnik, ataupun agama yang bersangkutan, melainkan
bahwa komunikasi antarbangsa dalam bulan-bulan terakhir, karena terfokus pada
”perkara Ahok”, sepertinya merosot kembali ke identitas primordial
masing-masing.
Tekad bersama Sumpah Pemuda, yaitu bahwa ”kita semua
sama-sama orang Indonesia” (”satu tanah”, ”satu bangsa”, dengan ”satu bahasa
persatuan”) tergeser oleh sikap ”kami harus membela diri terhadap mereka”.
”Kita semua” terganti oleh ”kami berhadapan dengan mereka”. Judul tulisan
dalam salah satu media Ibu Kota bahwa ”umat (kami) tertekan, terpuruk, dan
tertuduh” mengungkapkan dengan tepat apa yang terjadi.
Bahwa di beberapa daerah terdengar nada-nada pembalasan
hanya menggarisbawahi keseriusan situasi. Apa kita mau menjadi seperti
Pakistan?
Pada 9 Mei Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama secara
mengejutkan dihukum dua tahun penjara dan, tambahan menyakitkan, secara kasar
diperintah langsung masuk penjara. Putusan itu di satu pihak menimbulkan
kegembiraan kemenangan, tetapi di lain pihak meninggalkan perasaan
tersinggung secara mendalam, sesudah bulan-bulan penuh caci-maki bermuara
dalam suatu putusan yang bahkan melampaui dakwaan jaksa.
Tidak segelap itu
Namun, apakah kita mau berhenti di sini? Yang satu gembira
merayakan kemenangannya, yang satunya tenggelam dalam ketersinggungan?
Sebenarnya situasi tidak segelap itu. Tidak semua yang pada tanggal 19 April
menolak periode kedua kegubernuran Ahok merupakan orang yang
”primordialistik”, ”fanatik”, ”garis keras”.Sementara mereka yang sekarang
menunjukkan solidaritas dengan Ahok berasal dari semua komunitas religius di
Indonesia.
Yang mereka suarakan bukan suatu pembalikan, apalagi
pembalasan, melainkan agar kita semua, semua (!) kembali ke kesepakatan
bersama dan memperbarui kesediaan yang menjadi dasar bangsa Indonesia yang
begitu majemuk: kesediaan untuk saling menerima.
Maka kita semua yang tidak mau menyerahkan negara tercinta
kita kepada mereka yang memang mau menggantikannya dengan sesuatu yang lain
sama sekali (contoh-contoh bisa ditemukan di Timur Tengah) tidak boleh
membiarkan bangsa tenggelam dalam ketersinggungan masing-masing. Kita harus
membarui tekad untuk bersama mengamankan dan menyukseskan Indonesia kita.
Itu mempunyai tiga implikasi. Yang pertama, betapapun kita
barangkali tidak puas, kita harus menerima keputusan hakim tanggal 9 Mei
lalu. Indonesia adalah negara hukum. Dan meskipun sistem yudisial kita
bobrok, itulah Indonesia kita. Sebaiknya unjuk solidaritas kita tidak
berfokus pada Pak Ahok saja—beliau sendiri pasti setuju— melainkan pada
persatuan, pluralisme, Pancasila, dan tekad untuk saling menerima dalam
perbedaan.
Kedua, amat perlu primordialisme yang begitu vokal di
bulan-bulan terakhir jangan dibalas dengan reaksi primordialistik sendiri.
Tekad untuk mempertahankan Pancasila jangan kita izinkan mengikuti garis
identitas agama. Segala protes dan unjuk penolakan primordialisme perlu
dibawa bersama oleh seluruh unsur pluralis dan Pancasilais. Dari Sabang
sampai Merauke. Segenap sindiran yang bernada ”jangan-jangan sampai kami
memisahkan diri” harus kita haramkan. Kemurnian penolakan kepicikan,
intoleransi, dan primordialisme membuktikan diri dalam kebersamaan lintas umat,
daerah, dan etnik.
Ketiga, penolakan terhadap kepicikan agama dan kebencian
yang begitu mencolok di bulan-bulan terakhir jangan dialamatkan kepada para
pemenang pemilihan gubernur DKI 19 April lalu. Pemilihan itu berlangsung
secara demokratis dan kita tentu menerima hasilnya. Pasangan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno merupakan pemenang yang sah.
Sebagai demokrat kita menerima hasil pemilihan itu juga
kalau kita berbeda harapannya. Maka pasangan Anies-Sandiaga bukan hanya tidak
dimusuhi, melainkan didukung supaya dapat menjalankan job mereka yang berat
dengan sebaik-baiknya. Dan jangan mereka yang memilih berbeda dari kita, kita
anggap musuh.
Kita justru harus mendukung dan memajukan demokrasi
Indonesia kalau mau menghindari nasib seperti yang dialami Pakistan. Dengan
demikian, kita juga memperluas ruang gerak gubernur dan wakil untuk menolak
tekanan dari beberapa pihak ekstrem yang barangkali mau memiliki mereka.
Maka sudah waktunya mereka yang masih sakit hati dengan
penjatuhan vonis terhadap Ahok 9 Mei dan apa yang mendahuluinya untuk melihat
ke depan, untuk bersama semua kekuatan bersemangat kebangsaan mengamankan dan
membuat berhasil NKRI yang berdasarkan Pancasila yang mengagumkan itu.
Semangat kebangsaan, Pancasila, keterbukaan, dan NKRI masih dapat kita
andalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar