Keindonesiaan
dan Keislaman
Salahuddin Wahid ; Pengasuh
Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS, 16 Mei 2017
Di dalam BPUPKI (Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman, yakni ketika kalangan ”nasionalis Islam”
mengusulkan dasar negara Islam dan kalangan ”nasionalis Pancasila”
mengusulkan dasar negara Pancasila. Komprominya ialah ”Piagam Jakarta”, yang
di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila dengan sila pertama ”Ketuhanan
dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam”
pada 17 Agustus 1945. Maka, para tokoh Islam dengan lapang dada menyetujui
dicoretnya anak kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah
keberhasilan awal dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Keberhasilan kedua upaya memadukan keindonesiaan dan
keislaman ialah ketika para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), yang mengilhami dan
mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan tentara Sekutu pada 10
November 1945. Jihad, sebuah istilah agama, digunakan untuk perjuangan
bersifat kebangsaan.
Para tokoh Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan Departemen
Agama pada Januari 1946. Itu adalah keberhasilan ketiga upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1951, Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai
Masyumi) membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah ibtidaiyah,
madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat
dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang memberi tempat bagi
pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam dalam
bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif 500 tahun sebelum Belanda mendirikan
sekolah di Hindia Belanda pada 1840, yang menjadi cikal bakalpendidikan
nasional Indonesia.
Menerima asas Pancasila
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman muncul
kembali ketika partai-partai Islam (Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, AKUI)
memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante pada 1956-1959.
Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan suara.
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut
dalam Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, dan
Perti) berkampanye untuk memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI dan aparat
pemerintah Orde Baru berjuang untuk mengalahkan partai-partai Islam dengan
segala cara. Kursi yang diperoleh partai-partai Islam jauh di bawah jumlah
kursi pada Pemilu 1955. Berarti kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR
amat lemah.
Pada 1973 dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan,
yang beberapa pasal di dalamnya dianggap oleh para ulama bertentangan dengan
hukum Islam. Yang paling penting ialah Pasal 2, yang rumusan awalnya ialah
”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang
dipimpin Rais Aam KH Bisri Syansuri (murid KH Hasyim Asy’ari) menolak rumusan
tersebut dan mengusulkan supaya diganti menjadi ”perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”.
Kalangan non-Islam tentu saja menolak usul tersebut karena hal itu berarti
menerima syariat Islam yang partikular ke dalam sistem perundang-undangan
kita.Presiden Soehartomenyetujui usulan para ulama itu. Ini adalah
keberhasilan kelima dalam upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pemerintah pada awal 1980-an berusaha supaya Pancasila
menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang ada di Indonesia.
Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU membentuk sebuah tim untuk
mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah
ulama mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang
pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.
Berdasar dokumen ”Hubungan
Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984 di Situbondo
memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara.
Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali beberapa
ormas yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai
lanjutan dari UU No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Kembalimuncul konflik antara keindonesiaan dan keislaman sehingga
terjadi perdebatan panas antara yang menyetujui dan menolak RUU tersebut.
Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar
NU 1989 di Pesantren Krapyak DI Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut.
Ini adalah keberhasilan ketujuh dari upaya memadukan keindonesiaan dan
keislaman.
Setelah itu, masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam
memadukan keindonesiaan dan keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji,
dan UU Wakaf.Selain itu, UU Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan
pesantren ke dalam nomenklatur pendidikan Indonesia sehingga memberikan
peluang lebih luas bagi pesantren untuk mengembangkan diri. Di dalam
masyarakat kini tampak peningkatan minat masyarakat untuk mengirim siswa ke
pesantren dan juga minat untuk mendirikan pesantren. Jumlah pesantren yang
pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka 30.000, yang keseluruhannya
adalah milik swasta.
Kondisi mutakhir
Saat ini ada gejala munculnya kembali konflik antara
keindonesiaan dan keislaman. Gejala itu terjadi dalam kaitan pemilihan
gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang menganggap bahwa merekalah yang
”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok yang menganggap bahwa
merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih Ahok-Djarot dianggap
anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi dianggap
anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan. Kedua anggapan itu keliru.
Kalau kita pelajari kembali proses penyusunan UUD pada
1945, ada keinginan tokoh-tokoh Islam supaya presiden RI adalah orang
Indonesia asli dan beragama Islam. Setelah melalui musyawarah, tokoh-tokoh
Islam yang menyusun UUD menyetujui bahwa syarat ”harus beragama Islam” itu
dibatalkan. Kesediaan tokoh dan umat Islam menghapus syarat harus beragama
Islam bagi presiden sebenarnya sudah menunjukkan toleransi mereka.
Akan tetapi, mereka yang tidak memilih non-Muslim karena
alasan keagamaan tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak toleran atau
melanggar UUD atau merusak kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal 29 Ayat 2
UUD 1945. Yang perlu dijaga ialah cara menyampaikan pendapat itu, jangan
sampai memakai bahasa yang menyinggung atau mengandung nada kebencian. Juga
perlu diperhatikan tempat dan waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.
Sebenarnya konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI
Jakarta bukanlah antara umat Islam dan umat non-Islam. Akan tetapi, justru
terjadi antara kelompok dalam umat Islam: antara yang menyetujui calon
non-Muslim dan yang menolak calon non-Muslim. Perbedaan pandangan itu terjadi
karena perbedaan penafsiran terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51 dan sejumlah
surat lain.
Di dalam kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah sudah
terdapat dua aliran besar dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran pertama
berpendapat bahwa syariat Islam bersifat dogmatis dengan berpegang pada
teks nash murni tanpa menggunakan potensi akal. Tokoh utama
aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Amr bin Ash. Aliran kedua
berpendapat bahwa syariat itu bersifat rasional, maka dalam menafsirkan teks
suci, kita perlu mengoptimalkan penggunaan potensi akal. Tokoh-tokohnya ialah
Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Menyikapi
adanya dua kelompok seperti di atas, kedua pihak harus saling menghormati
pilihan masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan, saling menyerang, atau
saling mengejek.
Konflik keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas
pada Pilkada 2018. Kalau pada Pilpres 2019 konflik semacam itu masih terjadi,
hal itu berpotensi mengancam persatuan Indonesia. Perlu ada upaya untuk
meredamnya. Perlu dilakukan dialog antarkelompok di dalam Islam maupun dengan
kalangan agama lain untuk meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan
rinci apa yang dimaksud dengan ”politisasi agama”, apa yang dimaksud dengan
”isu SARA” (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dialog itu harus dilakukan
dengan hati dan kepala dingin supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang bisa
diikuti dalam praksis sehari-hari. Memang perlu waktu yang cukup untuk bisa
mendinginkan suasana.
Pertanyaannya: siapa pihak yang akan memprakarsai dialog
itu dan siapa tokoh yang akan mewakili kedua pihak? Berapa jumlahnya? Kapan
saat yang tepat untuk memulai dialog? Di mana dialog itu diadakan? Pihak yang
memprakarsai dialog ialah pihak yang dapat diterima oleh kedua kelompok.
Ramadhan dan Syawal adalah saat yang tepat untuk mengadakan dialog. Tempatnya
harus mendapat persetujuan kedua kelompok. Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam
Bonjol tempat para pendiri merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945
dapat dijadikan alternatif tempat dialog diadakan.
Dalam dialog itu harus disampaikan secara jelas dan
terbuka apa saja keinginan kedua kelompok dan apa saja yang tidak diinginkan
oleh kedua kelompok. Sejumlah keberhasilan memadukan keindonesiaan dan
keislaman yang telah menjadi modal berharga bangsa Indonesia harus menjadi
acuan di dalam dialog tersebut. Kelompok yang seusai putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok mengeluarkan seruan untuk menjaga
keindonesiaan perlu memahami bahwa yang juga perlu dijaga adalah keterpaduan
keindonesiaan dan keislaman karena itu adalah faktor utama persatuan
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar