Kebinekaan
yang Terjagal
Abdul Wahid ; Wakil
Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang; Pengurus AP-HTN/HAN
|
KOMPAS, 09 Mei 2017
”Tantum religio potuit suadere malorum!” Demikian pernyataan Lucretius, yang terjemahannya: ”Betapa hebatnya agama sampai bisa
mendorong orang melakukan perbuatan jahat!”
Apa yang
disampaikan Lucretius itu sebagai kritik yang ditujukan kepada siapa pun
pemeluk agama yang ucapan, sikap, dan perilakunya menyakiti orang lain atau
suka berbuat jahat kepadanya, yang perbuatannya ini bertameng agama.Lucretius
sejatinya menunjukkan bahwa agama tidak akan mungkin memerintahkan pemeluknya
berbuat jahat, menyakiti orang lain, atau memproduksi perbuatan-perbuatanyang
berlawanan dengan kepentingan kemanusiaan.
Kepentingan
kemanusiaan itu sangat banyak dan beragam. Hidup berdampingan dengan damai,
saling melindungi, saling toleransi, saling membebaskan kesulitan, dan tidak
saling mengancam adalah beberapa di antara keragamanhajat
kemanusiaan.Keragaman hajat kemanusiaan itu disebut juga sebagai hak
menjalani hidup dalam kebinekaan (keragaman). Dalam hidup demikian ini,
meminjam ruh pemikiran Lucretius, idealitasnya ”sangat” tidak perlu seseorang
atau sekelompok orang memaksakan kehendak, paham, atau ”iman” yang
diyakininya sebagai kebenaran.
Jika tetap
memaksakan paham dan ”iman” kepada orang lain, hajat eksklusif teologisnya
ini jadi ”teror” yang jahat untuk kebinekaan. Setiap orang punya jalan atau
thariqah-nya masing-masing dalam mengonstruksi dan mengembangkan kebenaran
paham dan ”imannya”.
Sayangnya,
sering kali kita dipertemukan dengan kondisi paradoksal. Seseorang atau
sekelompok orang memosisikan diri seolah-olah menjadi ”instrumen” kebenaran,
yang sekaligus karena posisinya demikian, dirinya dijerumuskan menjadi
”predator” yang berhak mencampuri hingga menjagal hajat asasi kemanusiaan
yang bernama kebinekaan.
Belakangan ini
makin marak kasus yang mengancam kebinekaan atau keberagaman di negeri ini.
Ada ikrar kekhilafahan, ada ikrar anti-Pancasila, dan masih sering muncul
berbagai aktivitas yang secara langsung atau tidak menolak atau memusuhi
keberadaan pemeluk agama atau etnis lain.
PT sebagai basis
Kasus-kasus
itu jelas mengindikasikan kebinekaan di negeri ini—sekarang atau masa
mendatang—benar-benar terancam terjagal apabila praktik semacam ini tidak
mendapat perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.Menyerahkan semata
kepada negara untuk melarangnya tidak akan mempan. Pasalnya, negara sudah terjebak
dalam politik peliberalisasian reformasi dan penggunaan hak kebebasan
bersuara, berekspresi, memilih, danberorganisasi sesuai keyakinan atau agama
masing-masing.
Salah satu
lembaga yang diandalkan untuk mengawal kebinekaan adalah kampus. Perguruan
tinggi (PT) secara khusus diamanati oleh rakyat untuk menyampaikan kepada
mahasiswa atau subyek pendidikan tinggi bahwa Pancasila itu ideologi ”harga
mati”. Kalau Pancasila sudah menjadi ”harga mati”, konsekuensinyaPT
berkewajiban menjaganya supaya ideologi lain tidakhidup dan berkembang dalam
lingkungannya.
Ikrar
kekhilafahan yang terjadi dan beberapa kali terulang di PT menjadi sinyal
yang mengisyaratkan bahwa ekologi edukasi atau proses pembelajarannya belum
benar-benar berhasil membumikan Pancasila sebagai ideologi ”berharga mati”.
Meski hanya ”segelintir” PT yangmemberi ruang terjadinya aktivitas seperti
ikrar kekhilafahan itu, ini mengindikasikan PT juga harus dikontrol supaya
khitahpada landasan diselenggarakannya PT ditegakkan, bukan malah menoleransi
atau meliberalisasikan doktrin yang berlawanan dengan kebinekaan.
Dalam Pasal 2
UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, pendidikan tinggi
berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.Landasan yuridis penyelenggaraan edukasi di PT itu
menunjukkan bahwa proses pembelajaran di kampus bernyawakan pada kebinekaan,
yang setiap elemennya dituntut menegakkan dan mengembangkan doktrin
kebinekaan, serta membumikan doktrin ini dalam trans-kehidupan yang
berkeberagaman.
Selain itu,
proses pembelajaran juga bisa dikembangkan dengan menjelaskan perkembangan
berbagai ideologi, doktrin, atau organisasi-organisasi yang masih eksis atau
sudah dilarang di sejumlah negara.Pembelajaran dinamika ideologi itu penting
guna memberikan informasi yang seimbang dan benar kepada mahasiswa bahwa di
ranah global pun terjadi kebinekaan yang luar biasa, yang menuntut setiap
elemen bangsa di muka bumi untuk menyikapi dengan cerdas atau mengarifinya.
Salah satu
contoh penghormatan kebinekaan istimewa dilakukan Khalifah Umar bin Khathab.
Semasa memimpin, Umarmemberikan kepada penduduk Elia (Jerusalem/Al-Quds)
keamanan kepada komunitas Nasrani di Elia untuk jiwa mereka, harta kekayaan
mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib dan semua perangkat agama mereka.
Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki siapa pun, tidak boleh dirobohkan
atau dirusak, kekayaannya dan semua hak milik gereja mereka dilindungi,
mereka tidak boleh dipaksa dalam agama, dan tidak boleh ditekan.
Umar
memberikan pelajaran berharga bahwa di tengah pluralitas atau kebinekaan,
setiap pemeluk agama yang berbeda berkewajiban menegakkan kebinekaan, dan
tidak diperbolehkan melakukan pemaksaan kehendak, apalagi sampai menyebar
teror ideologisataupun fisik.
Membumikan doktrin kebinekaan
Di Indonesia
memang hak setiap orang—termasuk para mahasiswa—bisa ”kepincut” dan mengamini
doktrin kekhilafahan atau lainnya. Namun, karena mereka terjerumus dalam
paham atau opsi eksklusivitas teologis yang menolak kebinekaan, sikap dan
pikiran mereka itu harus secara berkelanjutan direstorasi supaya kembali
khitah, ke hajat asasi kebersatuan hidup bermasyarakat dan berbangsa yang
berkebinekaan.
Menyadarkan
atau ”memulangkan” kembali ke jalan itu memang terjal. Pilihan pada paham
atau doktrin ini umumnya melekat dan ”berharga mati” seperti cintanya elemen
bangsa Indonesia ini pada Pancasila. Meski demikian, dunia pendidikan,
khususnyaPT, berkewajiban untuk menggencarkan (menggalakkan) proses
pembelajaran yang mengedepankan kebinekaan.
Kebinekaan di
PT bisa terjagal secara berkelanjutan bilamanaproses pembelajaran tidak
mengenalkan hingga membumikan doktrin kebinekaan. Transformasi melalui proses
pembelajaran, kalau perlu di setiap mata kuliah yang ditempuh mahasiswa,
menjadi opsi yang akan memprevensi virus paham atau doktrin anti-kebinekaan.
Membubarkan
ormas yang mengusung semangat anti-Pancasila dan berbagai bentuk kekerasan
memang kewajiban negara untuk mewujudkannya. Akan tetapi, tidak kalah
asasinya, juga menjadi kewajiban negara untuk terus menjaga ”nyala” dan
”nyawa” kebinekaan di negeri ini. Salah satunya melalui perguruan tinggi,
berbentuk pendidikan kebinekaan yang ”menusantara” dalam proses pembelajaran,
tetapi bukan sekadar proses penghafalan dalam teks-teks literasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar