Investment
Grade itu
Datang
pada Momentum yang Tepat
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM dan Faculty Member BI Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2017
JUJUR saja, saya merasa risau terhadap kondisi sosialpolitik
di Indonesia, seiring dengan maraknya isu intoleransi yang cukup mencekam. Terlebih
lagi, isu ini muncul di sekitar Mei, yang pada 19 tahun yang silam (20 Mei
1998) kita pernah menderita musibah huru-hara yang traumatik, yang berujung
pada jatuhnya Presiden Soeharto. Akankah hal ini akan memantik deja vu? Tentu saja tidak boleh.
Yang saya pikirkan adalah, konflik sosial-politik ini bisa
amat mengganggu kondisi perekonomian nasional, saat pemerintah dan semua
stakeholders sedang berupaya mati-matian menjaga stabilitas dan berjuang agar
pertumbuhan ekonomi bisa tetap 'sekadar' 5% pada 2017.
Terlebih lagi Indonesia masih menghadapi kondisi global
yang tidak menentu: kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump yang tidak
jelas; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus merosot; prospek perekonomian
Eropa dan Inggris yang bakal tersendat karena Brexit; dan lain-lain.
Di tengah kegalauan itu, pada akhir pekan lalu (19 Mei
2017) kita justru mendapatkan 'hadiah'atau hembusan angin amat segar yang memang
sudah lama kita tunggu.
Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor's memberikan
predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia.
Meski hal tersebut sebenarnya sudah terantisipasi, tetap
saja hal ini menggembirakan.
Itu wajar, karena jika kasus sosial-politik intoleransi
sampai dominan mengganggu mood persepsi perekonomian kita, segala susah payah
insiatif pembangunan ekonomi Indonesia bakal buyar, berantakan, dan sia-sia. Karena itu, kehadiran investment grade dari
S&P ini datang pada saat yang dibutuhkan.
Ketika sentimen negatif dari sisi sosial-politik merebak
dan kita membutuhkan hembusan sentimen positif yang signifikan, datanglah
investment grade ini. Predikat investment grade ini menjadi 'penyempurna'
dari status setara yang sudah lebih dulu diberikan dua lembaga terkemuka
lain, yakni Fitch dengan BBB- (21/12/16) dan Moody's dengan Baa3 (8/2/17). Selain itu, juga masih ada Japan Credit
Rating Agency dengan BBB (3/3/17) dan Rating
and Investment Information Inc dengan BBB- (5/4/17).
Kredibilitas fiskal
Hal paling esensial yang mendorong S&P menaikkan
peringkat Indonesia ialah kondisi dan outlook fiskal kita yang dinilai kian
kredibel, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable).
Ini penting, karena tatkala Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada
Oktober 2014, dirinya berupaya keras untuk memacu kencang belanja fiskal
untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Sepintas, strategi ini
kelihatannya benar.
Indonesia sudah sangat ketinggalan dalam hal infrastruktur
jika dibandingkan dengan negara-negara emerging
markets (apalagi Tiongkok), karena itu butuh upaya yang luar biasa besar
agar segera dapat mengejarnya. Namun demikian, semua kehendak baik itu tetap
harus memperhitungkan situasi dan kondisi.
Di awal kabinet kerja, pertumbuhan penerimaan pajak
dipatok 30%.
Semua pengamat ekonomi terhenyak. Bagaimana angka 30%
bakal diperoleh, padahal perekonomian global tengah dicekam penurunan yang
cukup tajam?
Perekonomian Tiongkok yang menikmati pertumbuhan ekonomi
double digit selama delapan tahun saja (2001-2008) mulai menurun. Padahal,
Tiongkok merupakan lokomotif perekonomian dunia, yang kinerjanya bakal
berpengaruh terhadap kinerja negara-negara lain di seluruh dunia.
Beruntung hal ini mulai dikoreksi, seiring dengan masuknya
Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan yang baru, tahun lalu. Target
penerimaan pajak dipangkas, agar lebih sesuai dengan realitas. Belanja pun
terpaksa dipotong, meski hal itu pasti menyakitkan. Tapi tidak apa-apa sakit
dalam jangka pendek, demi kredibilitas dan keberlanjutan fiskal di kemudian
hari.
Pasar pun menyambut positif: APBN yang sudah direvisi
menjadi kredibel di mata pasar. Demikian pula akhirnya lembaga pemeringkat
seperti Moody's dan Fitch menilai positif, sehingga akhirnya S&P tidak
punya alasan lagi untuk menilai Indonesia dengan persepsi yang sama.
Keanehan sempat timbul ketika JP Morgan sempat memberikan
persepsi negatif terhadap Indonesia. Namun, setelah komplain keras dilakukan
Menteri Keuangan, JP Morgan pun akhirnya 'menyerah'.
Mereka pun mengakui Indonesia tidak selayaknya dinilai
lebih jelek daripada Brasil, negara yang tersandung krisis fiskal
besar-besaran.
Brasil menderita defisit fiskal hingga 10% terhadap PDB.
Bandingkan dengan Indonesia yang masih konservatif dengan defisit APBN 2,5%
terhadap PDB.
Sikap aneh JP Morgan yang nekat 'berani tampil beda' ini
justru mengganggu reputasi dan kredibilitasnya. Sangat disayangkan dan
ironis.
Pelajaran terpenting dari kasus ini ialah, Indonesia harus
menyusun kebijakan fiskalnya secara realistis. Tidak ada gunanya mematok
target yang terlampau tinggi, jika itu tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Target
tinggi seolah-olah memang bisa membuat persepsi positif bahwa hal itu
menunjukkan optimisme dan antusiasme untuk bekerja keras.
Namun, kalau tidak tercapai, bahkan jauh dari target, hal
itu justru kontraproduktif, dan merusak kredibilitas yang dibangun dengan
susah payah.
Arus masuk devisa
Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu
kencang, itu ibarat mobil yang mesinnya kepanasan (overheating). Pengalaman
serupa sebenarnya pernah dialami negara-negara Asia Timur, termasuk
Indonesia, sehingga memicu defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang besar, yang kemudian menyebabkan
krisis finansial Asia 1997-1998.
Perbedaan kondisi sekarang (2014-2017) dengan saat itu
(1996-1998) ialah sekarang kita rawan menderita defisit fiskal yang besar,
sedangkan waktu itu defisit transaksi berjalan yang besar.
Pada saat ini, kondisi keseimbangan eksternal kita justru
membaik. Neraca pembayaran (balance of payments) kita pada 2016 justru
mengalami surplus US$12 miliar. Akibatnya, cadangan devisa kita terus
meningkat.
Selain karena neraca perdagangan kita akhir-akhir ini
terus surplus (sehingga ada aliran devisa masuk), keberhasilan amnesti pajak
juga ikut menentukan.
Program amnesti pajak semula terasa ambisius, misalnya
membayangkan bakal ada harta yang belum terungkap (belum terpantau kantor
pajak), yang jumlahnya bisa setara dengan PDB kita setahun (Rp12 ribu
triliun).
Meski angka tersebut tidak tercapai, terungkapnya kekayaan
Rp4.855 triliun merupakan hasil yang positif dan signifikan, untuk memperluas
basis pajak di kemudian hari.
Prestasi ini mengesankan, apalagi jika dibandingkan dengan
pengalaman negara-negara lain, seperti India.
Pemerintah India sangat meyakini ada banyak 'kekayaan
masyarakat yang disimpan di bawah bantal'. Itulah sebabnya mereka meluncurkan
kebijakan demonetisasi (demonetization),
yakni mencetak rupee baru untuk menggantikan uang lama, tetapi masyarakat hanya
diberi batas waktu singkat untuk segera menukarkannya.
Kisah sukses lain yang membuat S&P 'jatuh hati' kepada
Indonesia adalah program repatriasi (pulangnya dana orang Indonesia dari luar
negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar.
Meski itu hanya 14,7% terhadap target, jumlah itu cukup
signifikan untuk menaikkan cadangan devisa.
Data terakhir cadangan devisa kita saat ini adalah
US$123,2 miliar. Hanya sedikit di bawah rekor tertinggi US$124,65 miliar yang
pernah kita capai pada Juli-Agustus 2011.
Pada saat cadangan devisa mencapai rekor tertinggi
tersebut, rupiah juga mencapai rekor terkuatnya sejak krisis 1998, yakni
Rp8.600 per dolar AS.
Namun, pencapaian ini jangan harap dapat kita ulangi,
karena situasinya sungguh berbeda.
Pada 2011, pemerintah AS sedang giat mencetak uang
(quantitative easing) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk cukup
deras menuju Indonesia.
Sebaliknya sekarang, kebijakan QE tersebut sudah tidak ada
lagi, bahkan The Fed terus berupaya menaikkan suku bunga acuannya, yang
berakibat kenaikan kurs dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia.
Cadangan devisa kita berpotensi untuk memecahkan rekor
baru, perkiraan saya bisa mencapai US$125 miliar.
Meski mungkin dana repatriasi sudah semuanya masuk ke
sini, kita kemungkinan masih akan menerima aliran modal masuk, baik melalui
pasar modal (portofolio) maupun investasi secara langsung (foreign direct
investment).
Salah satu indikasinya ialah indeks harga saham gabungan
(IHSG) yang terus melaju, bahkan menembus rekor baru 5.820 sebelum terkoreksi
menjadi 5.791 pada penutupan akhir pekan lalu (19/5). Kini ekspektasi pasar
mulai mengarah pada rekor baru 6.000.
Saya cenderung melihat bahwa IHSG tidaklah perlu meloncat
tajam dalam tempo singkat, karena hal itu belum menunjukkan fundamental, atau
didukung dengan underlying. Akibatnya, bisa timbul koreksi yang cukup tajam. Lebih
baik IHSG mendaki setapak demi setahap, sambil berharap angkanya bisa
berkorelasi (mencerminkan) dengan kondisi fundamental ekonomi nasional
(makro) serta kinerja emiten (mikro).
Akhirnya, kita memang layak mendapat apresiasi dari
S&P, sebagaimana juga sudah dilakukan Moody's dan Fitch. Semoga kerja
keras para regulator dan pelaku ekonomi ini tidak diganggu lagi oleh hal-hal
di luar aspek ekonomi, seperti deraan konflik dan rongrongan sosial-politik. Kita sudah letih mengikutinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar