Intolerankah
Indonesia?
Imam Shamsi Ali ; Presiden
Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 03 Mei 2017
Ada saja beberapa teman yang menghendaki saya untuk menyudutkan,
atau tepatnya memburuk-burukkan Indonesia, karena hasil pilkada Jakarta dan
berbagai hiruk pikuk yang terkait dengannya. Teman-teman saya itu
menginginkan saya untuk mempropagandakan jika Indonesia saat ini berada di
jurang radikalisme, yang boleh saja akan berakhir tragis seperti Irak dan
Suriah.
Propaganda tentang Indonesia krisis radikalisme saya dengar di
mana-mana. Persis ketika saya berada di Indonesia mendengar di mana-mana jika
Amerika itu adalah musuh utama Islam. Saya berkali-kali mendengarkan hal
seperti itu di berbagai diskusi, bahkan diskusi yang layaknya cendekia
seperti di think tank, universitas, dan kelompok cendekia lainnya.
Sejak zaman presiden Bush Jr, presiden yang memulai "so
called war on terror" dengan menyerang Afghanistan lalu Irak. Presiden
yang memporak porandakan negara lain karena nafsu perangnya. Saya sejak itu
juga selalu membela Amerika sebagai negara toleran. Gesekan-gesekan sosial
yang terjadi itu adalah fenomena wajar dalam perjalanan sebuah bangsa.
Bahkan saya pernah dicurigai oleh sebagian teman-teman Muslim
jika saya punya kepentingan membela Amerika. Karena di mana saja di dunia ini
saya ditanya tentang Amerika, saya tetap membela jika Amerika adalah negara
yang toleran. Sempurnahkah? Tentu tidak!
Lalu apa alasan saya membela Amerika sebagai negaa toleran?
Alasannya sederhana. Karena Amerika masih menjadikan hukum sebagai
"acuan kehidupan publik".
Tapi apakah dengan itu tidak ada diskriminasi-diskriminasi
terhadap minoritas? Jawabannya pasti banyak.
Lalu kenapa saya masih bersikukuh mempertahankan jika Amarika
adalah negara toleran? Jawabannya karena kasus-kasus itu bukan representasi
dari negara atau institusi kenegaraan. Pelakunya masih kemungkinan besar
mendapatkan ganjarannya. Sebaliknya korban diskriminasi-diskriminasi itu
masih merasakan pembelaan hukum.
Bahkan, di saat diskiriminasi itu sekalipun datang dari Gedung
Putih, saya belum mebgatakan Amerika itu anti Islam selama hukum masih berada
di atas kepala presidennya. Itulah yang menjadikan beberapa kali executive
order Donald Trump dibatalkan oleh Hakim Tinggi di Amerika. Artinya hukum masih
hidup dan berfungsi seperti yang diharapkan.
Mungkin suatu ketika saya bisa berubah pandangan di saat hukum
menjadi impoten alias tidak bisa tegak lagi. Kalau hukum sudah lumpuh maka
baik penguasa maupun rakyat akan melakukan apa saja sesuai dorongan hawa
nafsunya. Dan kalau ini terjadi di Amerika saya tidak akan ragu
mendeklarasikannya sebagai negara yang diskriminatif dan anti Islam.
Toleransi Indonesia
Toleransi di Indonesia bukan barang baru. Indonesia dengan
segala kekurangannya memiliki sejarah panjang toleransi. Memang diakui bahwa
dalam perjalanannya sekali-sekali mengalami pasang surut, bahkan pada titik
nadir yang terendah. Tapi jangan lupa,
toleransi itu tidak hanya diperlukan di saat mayoritas kuat. Beberapa
kali juga justeru intoleransi terjadi di saat minoritas di atas angin. Ini
bukan sesuatu yang memerlukan penjabaran karena memang itulah fakta sejarah
panjang perjalanan bangsa ini, khususnya dalam dekade pertengahan orde baru.
Sebagaimana berulang-ulang disebutkan bahwa toleransi itu adalah
"darah daging" bahkan "nafas" kehidupan Nusantara. Jika
karena satu dan lain hal, terjadi sikap intoleran, maka itu bukan wajah
Nusantara yang sejati. Itu adalah "deviasi" dari kehidupan
Nusantara yang sesungguhnya.
Kenyataan bahwa hingga kini Indonesia masih utuh dalam kesatuan
di tengah kebhinnekaan hampir dalam segala aspek kehidupan, menunjukkan bahwa
tabiat kebangsaan Indonesia ini memang
mendukung itu. Salah satu tabiat yang mendukung penuh kesatuan itu adalah
karakter toleransi yang tinggi.
Sejak awal perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajah asing, termasuk Belanda, Portugis, dan Jepang, bangsa Indonesia
berjuang, walau dengan semangat keberagamaan dengan pekik "Allahu
Akbar" misalnya, namun kita kenal bahwa perjuangan mereka bukan untuk
kepentingan kelompok. Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyo, atau Panglima
Sudirman yang sangat taat beribadah, diangkut dari hutan ke hutan, menaruh
hidup bukan untuk umat Islam semata. Tapi demi kemerdekaan bangsa dan negera
Indonesia dari sabang sampai marauke dengan segala ragam manusianya.
Dalam persiapan membentuk institusi negara, yang kita tahu
bersama sebagai bentuk negara Indonesia ke depan dan selamanya, tokoh-tokoh
Islam juga mengedepankan toleransi dengan mengakomodir realita bangsa
Indonesia yang ragam. Bahwa pada akhirnya lahirlah Pancasila dan UUD 45
menunjukkan toleransi tinggi dari bangsa Indonesia itu. Dan sejak itu pula
bangsa Indonesia hidup dalam NKRI secara damai dan rukun.
Dalam perjalanannya pilar berbangsa dan bernegara itu tetap
menjadi pijakan kehidupan masyarakat. Kehidupan berbangsa didasarkan kepada
kedua pijakan itu (Pancasila dan UUD 45), dan diterjemahkan tentunya
berdasarkan kepada pemahaman masing-masing kelompok dalam rumah Indonesia
tanpa mengganggu, apalagi mencabut pilar yang telah disepakati bersama itu.
Komitmen terhadap pilar kebangsaan dan bernegara itu, walau
dipahami berdasarkan ragam kelompok yang ada, itu sesungguh dimungkinkan oleh
karakter toleran itu. Maka, umat Islam bisa memahami sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dengan konsep tauhid agama Islam. Sebaliknya, pasal yang sama
memungkinkan untuk dipahami berdasarkan konsep iman saudara-saudara sebangsa
kita yang beragama lain.
Demikianlah perjalanan bangsa ini dari masa ke masa. Ada
dinamika sosial yang terjadi. Hubungan horizonal kebangsaan mengalami pasang
surut, kadang sangat harmoni dan kadang pula sebaliknya. Tidak jarang terjadi
gesekan-gesekan, bahkan pada tingkatan yang cukup menegangkan.
Salah satu masa-masa yang menegangkan itu adalah ditahun 80-an
di mana umat Islam mengalami represi yang cukup kuat. Secara ekonomi mereka
dianak tirikan, secara sosial keagamaan juga mereka ditekan. Ada pelarangan
berjilbab bagi wanita-wanita di sekolah umum. Bahkan ceramah para ustaz juga
dimonitor oleh rezim orde baru. Dan bukan rahasia umum lagi bahwa kekuatan di
balik dari kebijakan represi itu adalah kelompok tertentu.
Barulah kemudian di awal tahun 90-an umat kembali mendapat angin
segar. Dimulai dari berdirinya ICMI di bawah kepemimpinan Prof Dr BJ Habibie,
mulai tumbuh dedaunan menyambut semi kebangkitan umat Islam. Istilah
penghijauan pun menjadi trend saat itu.
Singkat kata, berbicara tentang toleransi di Indonesia bukan
barang baru. Tapi darah perjalanan sejarah bangsa dan sekaligus nafas
kehidupannya. Yang terjadi adalah kadang karena udara, atau karena faktor
lainnya, darah itu menjadi kotor dan nafas menjadi terganggu. Tapi apapun
itu, Indonesia hidup karena karakternya yang toleran. Dan ini harus menjadi
harga mati. Bahwa toleransi bag Indonesia adalah kehidupan dan karenanya
mutlak dipertahankan untuk menjaga hidup Indonesia itu sendiri.
Masalahnya kemudian, dan semoga saya salah, ketika toleransi
dipahami sebagai landasan kepentingan tertentu. Ketika sebuah aksi atau
reaksi terjadi dan menguntungkan kelompok kita, kita bangga dan di mana-mana
berkoar dengan kebanggaan itu. Tapi, di saat ada aksi atau reaksi itu
dianggap kurang menguntungkan kelompok kita, maka bangsa dan negara ini tidak
tanggung-tanggung dan enteng kita rusak, minimal merusak nama baiknya di
dunia internasional.
Tidak jarang pula ketika kelompok kita melakukan tindakan
anarkis dan separatis, walau itu jelas merusak tatanan NKRI, kita diam seribu
bahasa. Dan di saat pemerintah Indonesia melakukan reaksi demi menjaga NKRI,
tidak sungkan-sungkan pula kita promosikan Indonesia sebagai negara pelanggar
HAM.
Di sinilah, saya, yang selama ini, berusaha membangun hubungan
dan dialog dengan semua orang, bahkan dengan kelompok yang sebagian umat
Islam dianggap musuh abadi, saya menjadi curiga. Jangan-jangan kata toleransi
itu memang hanya dimaksudkan untuk kelompok tertentu? Wallahu a'lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar