Guncangan
Global dan Keadilan
Jean Couteau ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 07 Mei 2017
Dunia kini
tidak hanya penuh perang, tetapi juga penuh koaran kedengkian, bahkan kicauan
kebencian. Sekarang terjadi di Perancis (saatnya pemilihan presiden),
baru-baru ini juga di Indonesia (pemilihan gubernur Jakarta), dan sebelumnya
di Amerika Serikat (pemilihan Presiden Trump) dan Inggris (kasus Brexit),
tanpa menyebut negara lain.
Hal ini bukan
secara kebetulan. Bentuk mutakhir dari kapitalisme modern, yaitu globalisasi,
memorakporandakan tatanan sosio-ekonomi dan sosio-kultural seluruh dunia, dan
media sosial cenderung menambah dimensi kebencian antar-kelompok kepada semua
masalah-masalah yang timbul.
Pokok
masalahnya sejatinya amat sederhana. Di negara maju, seperti Amerika,
Perancis, dan Inggris, mobilitas tenaga kerja, yang merupakan ciri utama ekonomi
global, menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang dahsyat: kaum buruh dan
jelata setempat harus bersaing dengan imigran asing atau keturunan asing
yang, selain menerima pekerjaan dengan gaji lebih rendah, kerap berlatar
belakang budaya amat berbeda. Selain itu, produksi yang tadinya ditangani
oleh kaum buruh lokal dialihtempatkan ke China atau negara berkembang lain
(Vietnam, Indonesia, dan lainnya).
Jadi,
sementara semangat kosmopolit/globalis semakin ngetren di kalangan kaum elite
terdidik, yang menikmati hasil tenaga kerja "asing" yang murah itu,
kaum jelatanya sebaliknya cenderung semakin anti terhadap orang asing atau
keturunan asing. Dengan demikian, dan secara paradoksal, kapitalisme global
menimbulkan sekaligus impian persaudaraan global dan balikannya, yaitu
nasionalisme radikal, bahkan rasisme. Corong politik fenomena itu adalah
orang-orang seperti Trump, Le Pen, Farage, dan Wilders.
Situasi di
banyak negara berkembang tidak kurang memprihatinkan. Di situ, sirkulasi
bebas dari modal internasional, di dalam bentuk investasi, cenderung lebih
menguntungkan kelompok-kelompok yang mempunyai kaki di beberapa negara,
seperti minoritas pribumi Kristen di negara-negara Arab, atau minoritas
Tionghoa di Indonesia. Alhasil ketimpangan ekonomi antar-etnis dan
antar-agama cenderung kian mencolok.
Ketimpangan
ini diperparah lagi oleh modernisasi ruang sosial: pendidikan, urbanisasi,
pola kerja baru, media sosial, dan perubahan-perubahan lainnya berpadu
pengaruhnya untuk merenggangkan kuasa tradisi lama, termasuk perihal
toleransi sosial dan religius.
Tanpa
sepenuhnya disadari para pelakunya, tradisi religius itu sedikit demi sedikit
tersulap isinya menjadi wacana identiter: seolah "harus kembali ke
hakikat agama", betapapun imajiner/mitisnya hakikat itu. Akibatnya,
berawal dari suatu landasan spiritual, agama menjadi kian politis, kadang di
dalam bentuk lunak, sering pula di dalam bentuk radikal.
Fenomena ini
terlihat di mana-mana: di India dengan radikalisme Hindu; di Myanmar dengan
radikalisme Buddha, dan lebih-lebih di negara-negara Islam, dalam wujud
Islamisme radikal. Khususnya di Indonesia, nasib seorang Ahok, yang dari
"pasti menang" menjadi pecundang dalam putaran ke-2 pemilihan
gubernur Jakarta, merupakan salah satu gejala dari evolusi mentalitas yang
memprihatinkan itu.
Melihat
lanskap politik global dan nasional yang suram ini, harus bagaimana? Turut
merangkul nasionalisme sempit, atau menyulut semangat agama? Jangan, silakan
pikir ulang! Harus sebaliknya mengandalkan nalar, yaitu berupaya memahami apa
yang tengah terjadi, tanpa terbawa emosi, lalu menanggapinya dengan kebijakan
yang jitu.
Dan nyatanya,
evolusi tidak selalu ke arah negatif. Bisa jadi Belanda melahirkan seorang
Wilders yang anti-Islam fanatik, tetapi ia juga menghasilkan seorang Abutaleb
sebagai Wali Kota Rotterdam. Dan apabila seorang Marine Le Pen yang
anti-asing ini menjadi calon presiden Perancis, yang pada akhirnya dipilih
adalah Macron yang mengacungkan bendera Fraternité (persaudaraan), warisan
revolusi Perancis yang kesohor itu. Adapun di Indonesia, betapapun ramai
koaran-koaran kaum radikal, pemimpin negara tetap berpegang teguh kepada
Pancasila.
Sesungguhnya,
yang menjadi masalah bukanlah globalisasi an
sich, melainkan guncangan sosial dan terutama ketidakadilan sosial yang
kerap ditimbulkannya. Gejala-gejala kebencian itu, baik di luar negeri maupun
di Indonesia, merupakan tanda kegagalan dalam menanggapi kedahsyatan
perubahan sosial. Maka, wahai orang Indonesia! Memang bisa jadi perlu kau
berseru-seru menyuarakan semangat Pancasila, tetapi apabila kau ingin tetap
bersatu, harus pula kau memperjuangkan keadilan sosial. Tak bakal ada
persaudaraan yang kekal tanpa keadilan itu. Dengarkah dikau seruan ini?
Semoga kau sedang mendengarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar