Di
Bawah Pohon Sukun Tembi
Bre Redana ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 14 Mei 2017
Banyak orang
tahu katanya kecerdasan buatan berupa peranti-peranti digital yang
menggantikan kerja otak kita dalam mengingat, menghitung, memproses data—algoritma
istilahnya—akan segera banyak mengambil alih pekerjaan manusia. Syukurlah.
Semenjak manusia bukan melulu gejala otak melainkan juga raga dan roh,
mudah-mudahan teknologi juga segera menghadirkan keragaan buatan dan roh
buatan. Untuk yang terakhir itu, perantinya kira-kira keimanan buatan.
Pengedarnya banyak di negeri ini.
Dengan
demikian, seperti fungsi otak yang kini perlahan-lahan kita lumpuhkan dengan
memori buatan, nantinya kita juga melumpuhkan fungsi tubuh dan fungsi roh
dengan keragaan buatan dan keimanan buatan. Kita menjadi manusia buatan
seutuhnya.
Siapa tahu
dengan itu hidup menjadi lebih mudah. Kebutuhan dan keinginan tercukupi oleh
segala yang buatan alias artifisial secara seketika. Kecenderungan kita ke
arah itu telah tampak. Khotbah para motivator kita percaya, untuk bagaimana
kaya mendadak atau mengumpulkan uang banyak dalam waktu singkat. Sangat
inspiratif. Mereka yang cerdas cukup mengambil substansinya dan melakukan
dengan cara yang lebih efisien: korupsi.
Wah, itu
dosa…. Siapa bilang? Itu kriteria kuno, milik mereka yang ketinggalan zaman
yang masih percaya bahwa pikiran, tubuh, dan roh adalah tiga mutiara yang
seharusnya mengalir menuju kebenaran, truth, kasunyatan.
Kita sekarang
berada dalam dunia pasca-kasunyatan, Bung. Benar-salah tak ada bedanya, sama
tak ada bedanya asli-palsu, nyata-tidak nyata, bohong-tidak bohong, dan
seterusnya. Pendeknya, karena ini zaman post-truth, pasca-kasunyatan, kalau
mau survive kalian harus menguasai ilmu bohong. Carilah mentor terbaik, yang
mulutnya paling gencar berapi-api menyiarkan kebohongan. Dengan itu siapa
tahu selain nikmat dunia kalian juga mendapat nikmat akhirat nanti, masuk
surga makan apel sepuas kalian. Atau, bisa pilih tukang tikam dari belakang.
Hanya saja,
setidaknya karena keragaan buatan dan spirit buatan belum sepenuhnya tersedia
saat ini, maka saya mau saja diajak rombongan tukang olah tubuh dengan nama
Tao Kung ke Yogyakarta, ke tempat tetirah di daerah Tembi milik Mas Nur. Di
situ kami diajak bersama-sama melakukan latihan Tao Kung—terjemahan
sederhananya senam kesehatan—untuk harmonisasi tubuh.
Kebetulan
tempatnya mendukung. Selama beberapa hari kami tinggal di Tembi yang
kiri-kanannya sawah. Sawah tengah dalam proses pengairan. Permukaan air sawah
bergerak ritmis tertiup angin. Bagus sekali. Oksigen banyak. Sepertinya saat
ini belum tersedia oksigen buatan. Untung alam menyediakan secara melimpah.
Di bilik-bilik rumah bambu kami bangun pagi dengan segar, menghirup udara
desa sepuasnya. Tak jauh dari situ, di belakang kampus Institut Seni
Indonesia, ada mangut lele bikinan Mbah Marto, enak setengah mati.
Jadi ingat
kata Guru: ingatlah, sejak dilahirkan sampai menjadi tua, manusia memerlukan
suatu lingkungan hidup yang segar, nyaman, dan tenteram. Bukan lingkungan
yang menyebabkan pikiran menjadi jenuh atau membuat sudut pandang menjadi
pusat.
Betul juga,
pembangunan urban sekalipun, apalagi di metropolitan-metropolitan penting
dunia, makin diarahkan menuju ruang alami. Caranya macam-macam, dengan
penghijauan, pembangunan taman kota, penyediaan ruang terbuka yang kian luas,
dan lain-lain.
Di Jakarta,
yang masalah urbanismenya kompleks karena kesenjangan lebar antara yang kaya
dan miskin, gubernur membersihkan sungai, menata bantaran sungai, trotoar,
kaki lima, termasuk mengubah area prostitusi menjadi ruang publik bagi
keluarga. Dia melakukan langkah-langkah berani.
Di angkringan
di bawah pohon sukun di Tembi di mana banyak orang waras otaknya karena
oksigen yang berlimpah, siang itu semua terenyak mendengar kabar gubernur ini
dijeboskan ke penjara. Apa salah dia, salah satunya bertanya dengan mata
berkaca-kaca. Dia gagal paham, bahwa ini zaman pasca-kebenaran, milik mereka
yang beriman pada kebohongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar