Ancaman
Peretasan Massal
dan
Masalah Kesenjangan Digital
Rahma Sugihartati ; Dosen
Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2017
DI balik makin meluasnya pemakaian komputer di masyarakat,
salah satu ancaman serius yang kini harus dihadapi masyarakat digital ialah
serangan virus Wannacry yang kini terjadi di lebih dari 100 negara, tak
terkecuali Indonesia. Avast, sebuah lembaga penyedia jasa keamanan perangkat
lunak yang terkenal, menyatakan untuk sementara ini pihaknya sudah menemukan
sekitar 57 ribu komputer yang terinfeksi di lebih dari 100 negara.
Sejumlah negara, seperti Rusia, Ukraina, dan Taiwan,
menjadi sasaran utama. Di Indonesia, serangan virus Wannacry ini sudah mengontaminasi
sistem komputer milik RS Harapan Kita dan RS Dharmais. Benar-tidaknya serangan
virus Wannacry itu sudah menyerbu Indonesia memang masih menjadi perdebatan.
Akan tetapi, ancaman serangan virus yang kini tengah melanda dunia tersebut
tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sejumlah ahli telah menyatakan serangan virus komputer
berskala raksasa itu menggunakan alat peretas yang diyakini dulunya
dikembangkan Badan Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA) AS. Alat
peretas canggih yang dikembangkan NSA itu, pada April lalu, telah dicuri
kelompok peretas yang dikenal dengan nama The Shadow Brokers.
Virus Wannacry menjadi ancaman serius, bukan sekadar
karena akan berisiko mengenkripsi seluruh berkas yang ada di komputer. Namun,
yang mencemaskan ialah pihak peretas ternyata meminta uang tebusan sebagai
kompensasi agar berkas yang telah dibajak dengan enkripsi bisa dikembalikan
dalam keadaan normal lagi. Dana tebusan yang diminta ialah pembayaran Bitcoin
yang setara dengan US$300 atau sekitar Rp4 juta.
Masif
Di Indonesia, kasus peretasan komputer sebetulnya bukan
hal yang baru. Sebelum virus Wannacry mengancam dunia, sejumlah kasus
peretasan telah berkali-kali terjadi. Edward Snowden, mantan pegawai National
Security Agency AS, pernah membocorkan ulah badan intelijen Australia yang
konon meretas percakapan pribadi mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
sejumlah petinggi negara pada 2009.
Sejumlah situs milik lembaga penting, seperti Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), situs milik Polri,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Garuda Indonesia, ICMI, portal
berita Detik, juga dilaporkan pernah diretas sejumlah hacker, baik sekadar
main-main ataupun karena didorong motif balas dendam. KPAI, misalnya, pernah
menganjurkan sejumlah gim diblokir karena berbahaya bagi anak-anak. Tak lama
kemudian, situs KPAI diretas hacker yang merupakan penggemar gim.
Serangan siber yang dilakukan para hacker melalui virus
Wannacry dinilai banyak pihak merupakan ancaman serius karena melanda lebih
dari 100 negara, tersebar dengan cepat tanpa bisa dicegah, bersifat masif,
serta menyerang situs-situs yang termasuk critical resource (sumber daya
sangat penting). Karena itu, tidaklah berlebihan jika serangan kali ini bisa
dikategorikan sebagai bentuk terorisme siber (cyber terrorism).
Dengan menyerang situs-situs penting berikut seluruh
komputer yang terkoneksi dalam jejaringnya, bahaya yang ditimbulkan
penyebarluasan virus Wannacry sungguh sangat mencemaskan. Bisa dibayangkan,
apa yang terjadi jika masyarakat yang sehari-hari sudah sangat bergantung
pada data digital dan tiba-tiba seluruh data yang ada tidak bisa dibuka atau
diakses? Sebuah rumah sakit yang situsnya diretas dan kemudian medical record
pasiennya tidak bisa dibuka, tentu implikasinya bukan tidak mungkin akan
membahayakan keselamatan jiwa para pasien.
Lebih dari sekadar ulah iseng para hacker yang ingin
mendemonstrasikan kemampuan mereka di antara sesama hacker, kali ini ulah
para peretas yang memanfaatkan virus Wannacry juga didorong motif ekonomi
sehingga dampaknya menjadi sangat luar biasa. Dengan senjata virus canggih
yang mampu menembus dan menyebar dengan cepat dalam sebuah jaringan sistem
komputer, ancaman yang ditimbulkan virus Wannacry memang tidak mudah
dihadapi.
Kesenjangan digital
Walaupun dampak peretasan situs komputer akibat virus
Wannacry di Indonesia belum separah yang terjadi di luar negeri, ke depan
risiko yang ditanggung bukan tidak mungkin akan lebih mencemaskan.
Di Indonesia, dari sekitar seratus juta lebih pengguna
teknologi informasi dan puluhan juta pengguna komputer, sebagian besar bisa
dipastikan masih gagap dan bahkan mengalami cultural lag. Di balik penggunaan
perangkat komputer yang makin meluas, sering terjadi para penggunanya masih
meremehkan bahaya yang mungkin mereka hadapi.
Seperti dikatakan Webster (2005), di era masyarakat
digital, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin
inovatif diikuti penggunaannya yang semakin pervasive memang merupakan salah
satu ciri dari perkembangan masyarakat pascaindustri. Meski demikian, akibat
ketimpangan dan ketidakmerataan dalam kepemilikan serta pengaksesan informasi
telah menimbulkan persoalan kesenjangan digital.
Kesenjangan digital ialah ketidakmampuan individu dalam
merasakan manfaat dari teknologi informasi karena kurangnya aksesibilitas dan
kemampuan dalam menggunakan teknologi informasi tersebut (Dewan et al, 2005:
1). Ketika dalam masyarakat kemampuan mengakses dan memanfaatkan informasi
yang tersedia di dunia maya tidak merata, dapat dikatakan telah terjadi
keadaan yang disebut ketidaksetaraan kemampuan dalam pengaksesan, dan
implikasinya tentu akan menimbulkan kesenjangan dalam kemampuan literasi
informasi serta pengetahuan (knowledge) yang dimiliki orang yang satu dengan
yang lainnya.
Bagi masyarakat yang memiliki gadget dan komputer, tetapi
di saat yang sama tidak didukung dengan literasi informasi yang memadai,
jangan heran jika mereka rentan menjadi korban ulah hacker yang mengancam
keamanan data-data penting yang tersimpan di situs di dunia cyberspace.
Melawan ancaman penyebarluasan virus Wannacry, di satu
sisi, memang mengandalkan kemampuan dari para ahli untuk melindungi
situs-situs penting yang ada di masyarakat. Namun, untuk memastikan
masyarakat tidak menjadi sasaran empuk para hacker yang terus berulah, tentu
yang dibutuhkan ialah dukungan literasi informasi yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar