Allan
Nairn dan Hoax Kudeta
Ahmad Riza Patria ; Wakil Ketua Komisi II DPR RI
|
KORAN
SINDO, 03
Mei 2017
ALLAN
Nairn (AN), wartawan investigasi dari AS, kembali melempar isu kontroversial
yang menggegerkan publik Indonesia. Betapa tidak! Dalam laporan
investigatifnya yang dimuat media online The
Intercept (theintercept.com )
dengan judul "Trump’s Indonesian Allies
in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President",
dan kemudian diterjemahkan media online Tirto.id dengan judul "Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar" (21/4).
AN
menyatakan bahwa keriuhan politik yang mengiringi Pilkada DKI adalah sebuah
strategi jangka panjang untuk mendongkel Presiden Joko Widodo. Demonstrasi
masif umat Islam yang menuntut pemerintah Jokowi memenjarakan Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanyalah "sebuah strategi" untuk
melaksanakan makar dengan dukungan TNI dan tokoh-tokoh politik dan pengusaha
Indonesia.
Dengan
mencantolkan Presiden AS Donald Trump (yang memang partner bisnis Hary
Tanoesoedibjo), AN mencoba "mengakali" laporannya dengan
menggambarkan aliansi politisi, tentara, dan pengusaha agar kelihatan
rasional untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Beberapa nama seperti Hary Tanoe,
Fadli Zon, Prabowo, dan Kivlan Zein disebut-sebut AN bersekongkol untuk
menggulingkan Presiden. Juga, TNI, tulis AN, ikut mendukung rencana makar
tersebut. Menurut AN, Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo pun mengetahui rencana makar dan menyetujui itu.
Itulah
sebabnya, tulis AN, demo besar-besaran menjelang Pilkada DKI 2017, yang
menuntut Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dipenjara atas tuduhan penistaan
agama, memperoleh dana yang besar.
Demo
itu berhasil mengumpulkan ratusan ribu, bahkan disebut-sebut jutaan orang, di
jalanan Jakarta, terutama dalam aksi demo 411 (4 November 2016) dan 212 (12
Desember 2016). AN dalam laporannya yang spekulatif tersebut menyatakan:
"Kasus penistaan agama ini hanya dalih untuk tujuan yang lebih besar:
menyingkirkan Presiden Joko Widodo dan mencegah tentara diadili atas
peristiwa pembantaian sipil 1965, yaitu pembunuhan massal oleh militer
Indonesia dan didukung Pemerintah AS."
Dalam
demo masif itu, ulas AN, aktor utama yang berperan sebagai penyuara dan
pendesak adalah Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai Habib Rizieq Shihab.
Bersama Rizieq, dalam rantai komando, ada Munarman (juru bicara dan ketua
Bidang Keorganisasian FPI) dan Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI.
Saya
membaca laporan investagitif AN dengan mengerutkan kening karena menurut
logika saya sangat mengada-ada dan jauh dari fakta yang sebenarnya. Memang
Pilkada DKI Jakarta adalah ibu dari seluruh pilkada di Indonesia.
Ini
bisa dimaklumi karena Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota negara seperti
Washington, tapi juga pusat bisnis dan keuangan seperti New York. Jumlah uang
yang beredar di Jakarta misalnya lebih dari separuh dari uang yang beredar di
Indonesia. Jadi, tidak salah jika banyak orang menyatakan Pilkada DKI adalah
pilkada rasa pilpres.
Faktanya
memang seperti itu. Liputan media massa pun, baik dalam maupun luar negeri,
luar biasa. Semua media massa besar, baik cetak maupun elektronik, sangat
intens meliput berbagai hal tentang Pilkada DKI, termasuk isu-isu
kontroversial yang impossible. Dari
ihwal yang remeh-temeh sampai ihwal yang berbahaya. Mulai dari persoalan baju
Anies-Sandi yang kuno sampai dugaan
ada plot-plot politik untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Dengan
melihat riuh-rendah Pilkada DKI, rupanya insting investigatif AN bekerja dan
mencari tahu kenapa semua itu terjadi. Lalu, cibiran kampanye dari pendukung
masing-masing pasangan calon, meme, dan hoax yang muncul di media sosial pun
menjadi alat analisis AN terhadap gegap gempita pilkada. Dampaknya, laporan
AN terasa lucu, mengada-ada, dan spekulatif seperti status-status para
netizen yang unik, lucu, dan hoax di wall
FB, WA, dan lain-lain.
Bayangkan,
AN melaporkan bahwa tentara dan pengusaha berada di balik semua demo besar
anti-Ahok tersebut. Aliansi Prabowo, Hary Tanoe, dan para mantan jenderal,
tulis AN, akan menjadi kekuatan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Ini
analisis yang naif karena faktanya TNI pada Era Reformasi tak mungkin
melakukan makar.
Pengamat
militer Prof Dr Salim Said, mantan wartawan majalah Tempo dan Guru Besar Universitas Pertahanan
Indonesia, menyatakan bahwa analisis NA tentang persekongkolan tentara dan
pengusaha untuk makar terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla sangat spekulatif.
Menurut
Salim, pada era yang menjunjung tinggi undang-undang seperti saat ini,
perbuatan makar tidak mungkin dilakukan TNI. Apalagi TNI kini bukan seperti
TNI dahulu. Tentara kini punya prinsip mendorong supremasi sipil. Saat ini,
kata penulis buku Militer Indonesia dan
Politik: Dulu, Kini, dan Kelak
itu, tentara punya komitmen tinggi untuk menjalankan UU TNI yang
memberi kekuatan kepada sipil di dalam rangka supremasi sipil.
"TNI
juga menurut Pasal 10 UUD 1945 tunduk kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Jadi, enggak ada itu
cerita kudeta, konspirasi, dan sebagainya,"
lanjut alumnus Ohio Sate University AS tersebut. Itulah sebabnya, saya tidak
percaya dengan analisis AN, kata penulis buku Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in
Politics, 1945-49 tersebut.
Hal
sama dikemukakan Dr Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI. Menurut Fadli Zon,
analisis NA menunjukkan bahwa dia tidak memahami Indonesia. Fadli Zon juga
menyatakan AN sempat muncul saat Pilpres 2014 untuk memfitnah capres Prabowo
Subianto.
Saat
itu tim sukses Prabowo-Hatta membantah pernyataan AN bahwa Ketua Umum
Gerindra Prabowo Subianto pernah melecehkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur. AN tidak tahu bahwa hubungan Prabowo dan Gus Dur sangat dekat.
Dan, secara adat ketimuran sungguh tidak mungkin Prabowo melecehkan Gus Dur,
ulama kharismatik yang sangat dihormati masyarakat Indonesia.
Kapuspen
TNI Mayjen Wuryanto, Jumat (21/4), telah membantah tuduhan AN. "Jadi
mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu
hoax," kata Wuryanto. Kapuspen juga menyanggah tuduhan AN bahwa Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mendukung makar. Tuduhan tersebut jelas
bertentangan dengan komitmen TNI dalam mendukung pemerintahan sipil.
Jika
kita membaca laporan AN di atas, tampak ketidaktahuan AN atas peta politik
serta kenegaraan di Indonesia. AN sungguh-sungguh mengarang spekulasi atas
investigasinya, yang sebenarnya hanya mengutip "bocoran" Edward
Snowden yang tidak terkonfirmasi dan membaca status-status netizens di media
sosial yang simpang siur.
Dengan
demikian, laporan AN, baik ditinjau secara saintifik maupun jurnalistik sangat disayangkan. AN,
wartawan investigasi yang sudah malang melintang di dunia, ternyata tidak
mampu membaca dinamika politik Indonesia pada Pilkada DKI. AN tampaknya belum
merasakan hasrat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk membangun NKRI
dan mendukung stabilitas keamanan negaranya.
Dari
kasus laporan AN di atas, bangsa Indonesia yang mendamba persatuan dan
kesatuan patut berhati-hati terhadap berita atau provokasi yang menimbulkan
keresahan publik. Bangsa Indonesia sebaiknya tidak mudah mempercayai isu-isu
murahan yang dilansir orang-orang atau pihak-pihak tidak bertanggung jawab
untuk memperkeruh suasana.
Dalam
ayat suci Alquran disebutkan, jika umat mendengar atau membaca isu, hendaklah
tabayyun , yaitu mengonfirmasi kebenaran isu tersebut, agar tidak terjadi
fitnah, kedengkian, dan malapetaka. Itulah yang seharusnya bangsa Indonesia
lakukan dalam menanggapi laporan
investigasi spekulatif AN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar