Ahok,
Pemilu, dan Kotak Pandora
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Profesor Tamu di Melbourne Law School dan Faculty of Arts University of
Melbourne, Australia
|
KOMPAS, 22 Mei 2017
Mitologi Yunani bertutur, di hari pernikahan Putri
Pandora, Dewa Zeus memberikannya sebuah kotak yang sangat indah. Namun, kotak
itu tidak boleh dibuka. Diliputi penasaran yang teramat sangat, Putri Pandora
tergoda dan membukanya. Akibatnya, keluarlah segala macam teror dan kejahatan
yang menyebar luas dan menjangkiti setiap manusia di dunia. Pandora terkejut
dan sangat menyesal. Sambil bergidik takut, ia mengintip ke dalam kotak.
Beruntung masih ada satu yang tersisa: harapan.
Relasi antara negara dan Islam adalah kotak pandora yang
selalu menghangatkan perjalanan kita dalam ber-Indonesia. Selalu saja ada
godaan untuk membukanya. Pada tataran hukum dasar, kotak Pandora mewujud
dalam aspirasi mewujudkan negara Islam, yang diturunkan dalam bentuk
penerapan syariat Islam, dan disimbolkan dalam Piagam Jakarta, bersama tujuh
kata historisnya, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid dalam tulisannya,
”Tak Usah Membuka Kotak Pandora” (Syariat Islam Yes Syariat Islam No, 2001) mencegah
upaya formalisasi Piagam Jakarta menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Kala itu, dalam proses perubahan konstitusi pasca reformasi 1998,
partai-partai Islam kembali mengupayakan masuknya tujuh kata Piagam Jakarta
ke dalam perubahan Pasal 29 UUD 1945.
Berdasarkan penelitian disertasi yang saya lakukan,
meskipun empat kali amandemen konstitusi pada 1999-2002 menghasilkan
perubahan besar-besaran pada 96 persen bab, 89 persen pasal, dan 85 persen
ayat, Bab XI tentang Agama adalah satu-satunya yang tidak mengalami perubahan
titik-koma sekalipun. Hal itu menegaskan bahwa hubungan antara Islam dan
negara adalah salah satu isu paling sensitif, alias kotak Pandora, dalam
kehidupan kita berbangsa dan ber-Indonesia.
Sejarah mencatat, reformasi konstitusi 1999-2002 adalah
upaya ketiga untuk memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945.
Dua upaya sebelumnya adalah ketika perumusan UUD kemerdekaan oleh BPUPKI pada
tahun 1945 dan dalam sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ketiga upaya itu
berujung dengan menghangatnya hubungan antara kelompok pro (Islam) dan
kelompok kontra (nasionalis).
Untungnya, pertentangan itu hanya terjadi di ruang debat
yang tertutup, diikuti oleh para pemikir negara yang terbatas, sehingga kotak
pandora belum sepenuhnya terbuka dan Pancasila terus menjadi kunci sekaligus
jalan tengah yang tetap menyatukan kita sebagai Indonesia.
Terbukanya kotak pandora
Namun, saya khawatir saat ini kotak pandora itu telah
terbuka lebar. Salah satu godaan terbesarnya adalah perebutan kekuasaan dan
kontestasi pemilu yang memainkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) bukan hanya ke hadapan pemilih, melainkan ke seluruh insan Indonesia.
Dimulai dengan hangatnya Pemilihan Presiden 2014, yang
sempat memunculkan isu Presiden Jokowi sebagai keturunan Tionghoa, kotak
pandora makin terbuka lebar dengan Pemilihan Gubernur DKI 2017. Sosok
gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan latar belakang
agama, etnis, dan gaya bertuturnya yang tanpa diplomasi, menyebabkan
kontestasi di Jakarta menjadi pembuka kotak pandora yang menyebarkan
kehangatan suhu politik tidak hanya di ibu kota negara, tetapi juga ke
seluruh pelosok Indonesia, bahkan ke ujung dunia, di mana pun rakyat
Indonesia berada.
Kali ini kotak pandora dibuka bukan dalam ruang-ruang
tertutup Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Konstituante, ataupun MPR yang merumuskan konstitusi bernegara.
Kali ini kotak pandora terbuka lebar di ruang-ruang publik
dalam suasana kontestasi pemilihan gubernur. Kebebasan berpendapat pasca
reformasi, ditambah dengan kemajuan teknologi dan akses informasi melalui
media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan grup Whatsapp), menyebabkan
isu SARA menjadi kotak pandora yang terbuka menganga bagi hampir semua insan
Indonesia.
Akibatnya, polarisasi di tengah masyarakat makin luas dan
sukar dibendung. Tanpa manajemen konflik dan penanganan yang bijak dan
hati-hati, isu SARA sebagai kotak pandora ini berpotensi mengancam Indonesia.
Apalagi, kita harus ekstra hati-hati, jangan sampai suhu
hangat 2014, yang memanas di 2017, menjadi semakin mendidih dalam Pemilihan
Kepala Daerah 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Pilkada
serentak 2018 akan lebih luas, mencakup 171 daerah, termasuk tiga provinsi
kunci, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Meski tidak ada pribadi
seperti Ahok, isu SARA sudah mulai tercium merembet ke kontestasi di setiap
daerah, terutama di wilayah dengan komposisi masyarakat seperti Bali, Maluku,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Solusi hukum tidak cukup
Kontestasi pemilu yang sarat dengan nuansa SARA telah
menjelma menjadi pembuka kotak pandora yang sulit untuk ditutup kembali.
Tentu bukan berarti “memilih karena preferensi SARA” dilarang. Namun,
kampanye SARA yang diskriminatif memang adalah kesalahan bagi kebinekaan
Indonesia atau bangsa beragam mana pun di dunia.
Teorinya, kampanye dengan muatan SARA yang destruktif
dilarang, bahkan merupakan tindak pidana pemilu. Undang-undang Pilpres,
Pileg, ataupun Pilkada telah mengatur larangan dan ancaman pidana bagi setiap
pihak yang terlibat pemilu jika memanfaatkan SARA sebagai materi kampanye
yang menghina dan mengganggu keindonesiaan. Pendekatan hukum pidana demikian
tentu salah satu solusinya. Sebagaimana pula setiap kontestasi pemilu
seruncing apa pun harus berakhir di hadapan putusan Mahkamah Konstitusi.
Namun praktiknya, penegakan hukum pemilu, apalagi terkait
tindak pidana, tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Tantangan bukan hanya pada
profesionalitas, integritas, dan imparsialitas aparat penegak hukum dari
mulai kepolisian, kejaksaan, hakim, dan para penasihat hukum yang terlibat
dalam penanganan perkara, tetapi juga seluruh publik yang harus tunduk dan
patuh pada hukum sebagai instrumen penyelesai konflik di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam negara yang demokratis, perbedaan yang berujung
konflik sering kali tak terhindarkan dan kata putusnya adalah vonis
pengadilan yang harus sama-sama kita hormati. Pertanyaannya adalah apakah
proses penegakan hukum kita sudah layak dihormati, merdeka dari intervensi, dan
bebas dari korupsi?
Apalagi, jika menyangkut isu SARA, khususnya keberagaman
dalam beragama, penegakan hukum yang cenderung represif sering kali tidak
mampu menjadi obat penawar luka yang telah berdarah merah. Kasus penodaan
agama yang diputuskan pada Ahok adalah contoh nyata bagaimana emosi tiap-tiap
pihak sudah telanjur terbelah tajam sehingga tidak mudah menerima putusan
pengadilan yang utuh bulat tanpa dissenting
opinion sekalipun.
Tidak ada jalan lain, proses penegakan hukum yang represif
tetap harus didukung dengan solusi politik akomodatif yang memberikan
kesejukan. Kotak Pandora yang sudah telanjur terbuka harus diupayakan ditutup
kembali. Sebagaimana para pendiri bangsa ini dengan bijak menemukan jalan
tengah Pancasila, Presiden dan seluruh pemimpin negeri, termasuk para tokoh
agama dan masyarakat, harus berkumpul kembali, berembuk nasional di ruang
terbatas dan mencari solusi bersama yang melengkapi—bukan
mengintervensi—proses hukum yang ada.
Harapan masih tersisa di dalam kotak pandora. Mari bersama-sama
menjaganya. Agar sebagai Indonesia kita tetap ada, dan bukan tiada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar