Ahok
dan Bangkitnya Politik Islam
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 05
Mei 2017
Tidak
banyak yang bisa menduga kemenangan besar pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno dalam hitung cepat dan real count
KPU di putaran kedua Pilkada DKI. Meskipun kemenangannya sudah terbaca
dari hasil riset sejumlah lembaga survei, selisih yang begitu besar hampir
gagal ditangkap oleh para polsters dan
pengamat politik.
Mengapa
pasangan Anies-Sandi menang dan berhasil dengan selisih yang relatif di luar
dugaan dari pasangan Ahok-Djarot? Penulis melihat ini tidak lepas dari
kebangkitan politik Islam di tengah dinamika politik Pilkada DKI. Kali ini
mestinya pasangan Anies-Sandi harus berterima kasih pada Ahok, Buni Yani, dan
tentu Habib Rizieq. Ketiganya adalah tokoh yang turut menandai setiap fase
dalam kontestasi yang cukup melelahkan dan menguras energi ini.
Mengapa
Ahok? Ya, kasus penodaan agama akibat pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu
adalah fase awal dan pembuka wacana Islam masuk dalam konstelasi politik ini.
Boleh jadi ucapan Ahok yang mengutip sembarangan Surah Al-Maidah merupakan
ekspresi kejengkelannya terhadap pihak lawan yang selalu menyerang dirinya
dengan sentimen agama. Sayangnya, ekspresi itu diungkapkan di depan publik
dalam kapasitas dirinya menjalankan tugas sebagai gubernur, bukan sebagai calon
gubernur. Meskipun juga harus diakui tidak ada yang salah dengan ajakan para
ulama untuk memilih pemimpin muslim, sebab ajaran yang diyakini umat muslim
memang seperti itu. Kesalahan Ahok inilah yang menjadi blunder politik yang
kemudian menjadi penolakan terhadap sosok Ahok.
Lalu
ada apa dengan Buni Yani Akademisi ini menjadi penanda kedua karena menjadi
”martir” atas viral konten terhadap pidato Ahok di Kepulauan Seribu
tersebut. Meskipun banyak yang melakukan sharing terhadap konten video Ahok tersebut,
share yang dilakukan Buni Yani
”terpilih” atau ”dipilih” oleh pihak kuasa hukum Ahok yang mengadukannya ke
polisi. Akibatnya, Buni Yani pun harus menghadapi proses hukum. Tapi
postingan Buni Yani yang sekaligus membagi konten video tersebut, diakui atau
tidak, menjadi penanda kuat tersebarnya konten pidato Ahok yang kontroversial
akibat menyinggung umat Islam tersebut.
Kemudian
Habib Rizieq Imam Besar Front Pembela Islam inilah yang mentransformasikan
kegundahan, kemarahan, dan protes umat muslim atas penyataan Ahok terkait
Al-Maidah di Kepulauan Seribu. Gerakan 411 yang kemudian disusul dengan
gerakan fenomenal 212 yang tercatat sebagai pengerahan massa terbesar dalam
sejarah, lebih besar dari arus gerakan mahasiswa 1998, tidak lepas dari
peran Habib Rizieq. Gerakan inilah yang kemudian memaksa rezim tidak mampu
menolak untuk kemudian mendesak aparat hukum memproses hukum Ahok.
Sentimen Agama
Gerakan
411, 212, dan gerakan susulan lainnya tidak bisa dimungkiri adalah peristiwa
politik. Aksi Bela Islam tersebut
merupakan bentuk aspirasi namun bercampur unsur politik. Hal ini tidak lepas
dari hal-hal berikut. Pertama, gerakan ini bersinggungan dengan momentum
Pilkada DKI. Sebelum terjerat kasus penistaan agama, Ahok adalah calon
gubernur dengan elektabilitas tertinggi. Namun setelah ditetapkan sebagai
tersangka, elektabilitasnya merosot.
Tidak
heran jika kemudian dua pasangan calon yang menjadi penantang Ahok di
pilkada, Agus-Sylvi dan Anies-Sandi, relatif mendulang suara cukup signifikan
di awal-awal dua pasangan ini resmi dideklarasikan.
Jadi
jelas, momentum gerakan Islam, meskipun porsinya lebih banyak digerakkan oleh
panggilan akidah, hati, dan suara jiwa umat muslim, terbukti dengan
banyaknya umat yang tergabung dalam gerakan ini, termasuk yang fenomenal
umat muslim dari Ciamis yang berjalan kaki ke Jakarta, tidak lepas dari
sebuah gerakan politik untuk memengaruhi publik, terutama pemilih Islam agar
tidak memilih Ahok.
Terbukti,
gerakan ini efektif memengaruhi persepsi publik, bahkan berpengaruh pada
pilihan politik. Hasil putaran pertama menyebutkan tidak ada pasangan calon
pun yang berhasil meraih 50% lebih suara yang artinya pilkada DKI harus
dilakukan dengan dua putaran.
Hal
ini merupakan pukulan telak bagi pasangan Ahok-Djarot yang yakin akan menang
dengan satu putaran. Masuk di putaran kedua adalah ancaman serius bagi Ahok.
Terbukti, di putaran final ini pasangan petahana keok dan harus mengakui
keunggulan pasangan Anies-Sandi.
Sentimen
agamalah yang menyatukan pemilih Agus-Sylvi, yang gagal melaju di putaran
kedua, dengan pemilih Anies-Sandi. Sejumlah hasil survei menyatakan profil
pemilih Agus-Sylvi dan Anies-Sandi relatif sama. Mulai latar belakang ekonomi
yang cenderung menengah ke bawah, sampai pada soal preferensi memilih.
Sebagian besar dari pemilih kedua pasangan
calon ini menyebut alasan agama menjadi pertimbangan mereka tidak memilih
Ahok. Hal ini semakin menguat ketika di putaran kedua pekan lalu, berdasarkan
hasil exitpoll sejumlah lembaga
survei, mayoritas (90% lebih) pemilih
Agus-Sylvi beralih pilihan ke pasangan Anies-Sandi.
Politik Islam
Menguatnya
sentimen agama di Pilkada DKI ini semestinya dipandang dari dua sisi. Sisi
pertama adalah politik Islam selama ini ternyata ”masih ada” dengan gerakan
besar dan mobilisasi yang masif di pilkada Ibu Kota ini. Sisi inilah yang
semestinya menjadikan gerakan politik Islam ”berterima kasih” kepada Ahok.
Jika
tidak ada kasus Al-Maidah di Kepulauan Seribu, bukan tidak mungkin Ahok akan
menang di putaran pertama. Isu pemimpin nonmuslim rasanya tidak terlalu
kencang dan akan memengaruhi pilihan orang tanpa ada kasus penodaan agama
yang menjerat Ahok.
Sisi
lainnya, Pilkada DKI juga membuat peta politik Islam bergeser, dari
sebelumnya termanifestasikan pada eksistensi partai politik Islam, beralih ke
sebuah gerakan massa.
Tentu
publik masih ingat bagaimana sebuah partai politik berbasis massa Islam
seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa malah
mendukung Ahok di putaran kedua. Ahok yang dinilai menista agama Islam
didukung partai politik Islam. Opini ini yang memengaruhi persepsi banyak
pihak memandang politik Islam yang cenderung pragmatis.
Tak
pelak, keberadaan partai politik berbasis massa Islam, seperti PPP dan PKB di
atas, tidak menjadi simbol dari
kekuatan politik Islam itu sendiri, termasuk juga Partai Keadilan Sejahtera
yang menjadi pendukung Anies-Sandi sejak awal.
Simbol
itu bergeser pada gerakan-gerakan umat di grassroot dan lapangan. Gerakan massa menjadi kuasa.
Itulah potret politik Islam saat ini yang kemudian melahirkan
sentimen-sentimen antitesisnya dengan mengatakan tudingan intoleransi,
antikebinekaan, dan radikal.
Tuduhan-tuduhan
ini menjadi pekerjaan rumah bagi kekuatan Islam untuk membuktikan bahwa
politik Islam tidak semata-mata urusan politik kekuasaan. Politik Islam era
baru ini adalah gerakan politik moral, perlawanan kekuatan hak untuk
menghancurkan kebatilan. Politik Islam juga harus menguatkan persatuan dan
persaudaraan di tengah kehidupan kebangsaan yang plural sebagai suatu fitrah
kehidupan. Pilkada DKI, mau tidak mau, harus diterima sebagai titik balik
bangkitnya politik Islam. Kebangkitan ini harus ditandai sebagai lahirnya
kekuatan moral dan nilai Islam yang universal dalam keketakutan dan
kekhawatiran pada publik. Wallahu alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar