Tren
Politik ”Netizen” Indonesia
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS, 15 April 2017
Media sosial telah jadi alat ampuh dalam menciptakan dan
menggiring opini massa kelas menengah secara politis. Hal itu sebenarnya bisa
dilacak dari perhelatan Pemilihan Gubernur DKI 2012, Pemilihan Presiden 2014,
hingga Pilgub DKI 2017 pada putaran pertama.
Sebelumnya, media sosial (medsos) pada ajang Pilgub DKI
2012 lebih digunakan sebagai alat komplementer bagi pasangan kandidat
gubernur yang menekankan adanya pengaruh audio dan visual dalam memperkuat
pencitraan politis figur. Inspirasinya secara jelas datang dari kemenangan
Obama kedua kalinya sebagai Presiden AS melalui upaya menarik simpati publik.
Manajemen isu kampanye
Peran medsos kala itu lebih menekankan adanya kalimat
pengena (zipping) kandidat untuk meraih dukungan, semisalnya ”Yes We Can”
maupun ”Jakarta Baru” yang secara efektif dan efisien mampu menyugesti publik
kelas menengah untuk memilih. Konteks zipping dalam medsos dinilai lebih
substantif dalam mengompresi isu, ideologi, dan solusi program yang
ditawarkan secara makro dalam kalimat pendek. Adanya kalimat pendek itulah
yang menjadi viral dan diperbincangan khalayak luas yang berkembang menjadi
candu politik dalam kampanye. Kemenangan Jokowi-Basuki pada Pilgub DKI 2012
secara garis besar dilegitimasi oleh zipping itu, yang menggerakkan
voluntarisme politik kelas menengah Jakarta, baik dalam bentuk partisan
maupun independen.
Lain lagi dengan konteks Pilpres 2014, di mana medsos yang
sebelumnya menjadi alat kampanye audio-visual bagi kandidat maupun figur
politik kini berkembang menjadi alat determinan politik. Hal itulah yang bisa
disimak pada penguatan ketiga aktor dalam netizen kelas menengah Indonesia,
yakni buzzer, influencer, dan juga follower.Ketiganya bertindak sebagai
endorser atas kandidat maupun partai masing-masing.
Selain munculnya ketiga aktor tersebut dalam politik
netizen kelas menengah Indonesia, ketiga aktor itu secara tidak langsung juga
mengubah kontur dan tekstur manajemen kampanye di Indonesia yang semula
bersifat abstrak ideologis kini lebih substantif-riil. Pola lain yang menarik
dalam memahaminya adalah metode pengorganisasian gerakan yang semula bersifat
kolektif menuju konektif.Adanya tansformasi itu pula yang menyebabkan gerakan
politik kini lebih bersifat sugesti daripada narasi dalam dunia politik
Indonesia hari ini.
Dengan kata lain, peran media sosial dalam membentuk
preferensi politik netizen kelas menengah telah menciptakanadanya mobokrasi
(demokrasi gerakan). Istilah tersebut merupakan deskripsi mengenai demokrasi
yang digerakkan oleh isu yang berkembang dalam dunia maya berimplikasi
simetris terhadap preferensi memilih yang berada di dunia nyata. Dengan kata
lain, sebenarnya media sosial memainkan peran pentingnya untuk melakukan
manajemen isu yang kini berkembang menjadi faktor determinan penting dalam
menentukan arah politik dan kampanye kandidat. Juga bagaimana mengelola
psikologi massa netizen kelas menengah yang masih labil dalam memperlihatkan
sikap partisannya, tetapi ekspresif dalam menunjukkan kepentingannya.
Kedua hal itulah yang kemudian menandai adanya era baru
media sosial yang secara degeneratif mengubah interaksi manusia yang dulu
sifatnya tanpa batas dan tanpa waktu, secara perlahan, menurun jadi alat
eksklusi sosial yang cukup hegemonik baik dalam dunia maya maupun dunia
nyata.
Oleh karena itu, jika dirangkum secara makro, tren
penggunaan media sosial bagi politik kelas menengah Indonesia bisa dilihat
dari tren personifikasi, manajemen isu, hingga revivalisme identitas. Hal
itulah yang kemudian terbaca pada perhelatan Pilgub DKI 2017 putaran pertama
lalu, di mana penekanan manajemen isu dengan diimbuhi masalah kepentingan
identitas jadi bumbu penting. Munculnya berbagai aksi jalanan itu sebenarnya
tidak terlepas dari manajemen isu tersebutyang kemudian menciptakan momentum
politik secara artifisial.
Komunikasi multilateral
Penggunaan media sosial yang mengarah pada komunikasi
multilateral ternyata memberikan dampak signifikan terhadap konstruksi dan
penggiringan opini publik secara masif. Meski demikian, hal itu bergantung
lagi pada peran buzzer. Tren tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa tren media
sosial secara berangsur-angsurkini mulai menyempit penggunaannya menjadi
institusi asosial. Secara visual, media sosial bagi netizen kelas menengah
itu menarik dan menawarkan daya sugesti untuk tetap memantau dan membaca lini
masa masing-masing akun. Namun, secara psikis, media sosial kini berkembang
sebagai alat persuasi politis yang menciptakan adanya eksklusi sosial bagi
kelompok netizen berdasarkan kesamaan minat maupun pandangan.
Konteks eksklusi sosial dalam kelas menengah Indonesia
sebenarnya patut dipelajari lebih lanjut. Sebab, kelas menengah ini melihat
dimensi politik tak lebih sebagai arena dagang dengan mengedepankan
unsur-unsur transaksional. Karena itu, eksklusi sosial yang kemudian
mengklaim diri sebagaikelompok populis, nasionalis, maupun Islamis semua itu
pada dasarnya lebih dilihat sebagai kartel kepentingan. Dikatakan demikian
karena semakin intens penggunaan media sosial, semakin mengerucut dan
mengkristal pula afiliasi dan afirmasi politiknya. Dari situlah kemudian
pengelompokan yang bertansformasi menjadi kartel itu terjadi, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Ini semua sebenarnya merupakan hukum alam politik digital
hari ini: bahwa politik yang semakin terdigitalisasi maka semakin terdeteksi
pula kepentingan yang selama ini laten. Ke depan, tren ini akan berkembang
dalam konstelasi politik mutakhir, hanya menunggu momentum pas untuk
membangkitkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar