Tiga
Rahasia Sukses ala Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis
Buku "Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 28 Maret 2017
"Mas, dalam keterangan profil penulis di kolom Detik,
kenapa sampeyan menyebut diri sebagai praktisi media sosial? Apa
maksudnya?"
Tak cuma sekali dua kali ada teman bertanya begitu kepada
saya. Pertanyaan demikian membuat saya teringat jenis pertanyaan lain yang
lebih banyak muncul di Messenger Facebook saya, dari beberapa anak muda.
Jenis pertanyaan yang sangat klasik, yaitu, "Mas, bisakah berbagi
kiat-kiat menuju kesuksesan?"
Dalam hati saya terkekeh sambil membatin, "Ah, ke
mana aja ini anak waktu Pak Mario Teguh masih sering nongol di tivi?"
Namun karena nggak enak hati tentu saja saya tidak mengucapkan itu, dan tetap
menjawabnya baik-baik.
Jawaban-jawaban tersebut selama ini cuma saya bagi lewat
pesan pribadi, dan tidak pernah saya sebarkan secara lengkap melalui tulisan
mana pun. Namun hari ini beda. Sejak Pak Mario absen dari televisi, saya tahu
bahwa krisis motivasi sedang melanda anak-anak muda Indonesia. Karena itulah,
dengan segenap keikhlasan, hari ini saya memantapkan diri untuk mengisi ruang
hampa itu.
Begini. Saya sendiri tidak yakin apa sebenarnya makna
kesuksesan yang dimaksud oleh anak-anak muda tersebut. Apakah kekayaan?
Popularitas? Atau apa? Karena tidak jelas dan saya juga malas meminta
kejelasan, maka saya akan menggambarkan kesuksesan menurut konsep saya
sendiri.
Dalam konsep saya, kunci sukses hanya tiga biji: banyak
bergaul, banyak membaca, dan tahan godaan. Tiga hal itu lebih layak disebut,
ketimbang rumus basi semacam "Kerja! Kerja! Kerja!"
Banyak bergaul dan banyak membaca adalah landasan
pokoknya, dan tidak perlu penjabaran jauh-jauh tentang itu. Keduanya adalah
sarana memperkuat referensi-referensi, memperkaya sudut pandang,
menggembungkan amunisi, dan mempertajam pemahaman atas banyak hal. Itu sudah.
Kita pun bisa menjalankan dan memantau prosesnya secara kasat mata.
Poin ketigalah yang terberat, sebab tak terlalu kasat
mata. Tahan godaan. Apa itu tahan godaan? Sebangsa menahan diri dari nafsu
duniawi, atau menjauhkan diri dari bisikan setan? Ada sih benarnya.
Saya punya beberapa teman yang sukses menjalankan rumus
tahan godaan itu. Biar Anda tidak kelelahan membacanya, saya beri dua nama
saja.
Yang pertama namanya Wisnu Prasetya Utomo. Di usia
mudanya, Wisnu sudah dikenal sebagai pakar media. Studinya dulu memang
terkait topik itu. Tapi saya tidak melihat studi formal, apalagi studi formal
yang dilanjutkan dengan profesi dosen, sebagai manifestasi ajaran tahan
godaan. Wisnu bukan dari jenis semacam itu. Dia benar-benar menekuni topik
media di luar aktivitas bangku akademis, berfokus di situ, tekun di situ,
konsentrasi di situ.
Hasilnya adalah kesuksesan, minimal kesuksesan dalam
pandangan saya. Wisnu selalu identik dengan media. Orang kalau bertanya
apa-apa tentang media, selain teringat nama besar angkatan lama semacam
Andreas Harsono, sekarang ini sudah mulai mengingat nama Wisnu Prasetya
Utomo.
Itu semua adalah buah dari lelaku tirakat tahan godaan.
Wisnu berani memilih. Berani setia. Berani teguh dengan pilihannya, dengan
tidak sebentar-sebentar menoleh ke kiri, ke kanan, dan ke mana saja.
Anda kira itu soal gampang? Enggak, lah. Apalagi di zaman
kekuasaan internet macam sekarang ini. Coba, berapa kali dalam sehari Anda
gagal fokus? Berniat mau googling suatu tema yang sangat Anda butuhkan saja
belum tentu berhasil kok. Sebab begitu buka HP, melihat ada notifikasi banyak
di Whatsapp, jadinya mampir ke situ dulu, dua jam. Setelah itu jadi lupa
tadinya mau googling apa.
Itu persis dengan saya. Saya kerja jadi kurir, mengemudi
mobil van, mengantar barang-barang. Tiap kali ada alamat yang tidak saya
ketahui posisinya, saya buka HP untuk memeriksa alamat tersebut di Google
Map. Tapi apa jadinya? Ya, tangan Facebook melambai-lambai memanggil,
memamerkan belasan notifikasi yang belum saya baca. Jadinya saya mampir dulu
sampai setengah jam. Begitu sadar diri saya geragapan, langsung tancap gas
menggeber van, hingga kemudian teringat bahwa alamat yang tadi mau dicari
belum juga dicari.
Itu baru penyakit gagal fokus karena cobaan dunia berupa
aneka aplikasi digital. Belum lagi yang berupa isu.
Sejak Pilpres 2014, manusia Indonesia jadi sangat antusias
mengikuti gelombang aneka berita lewat akun medsos mereka. Situasi ini tidak
terlalu terasa pada zaman pra-2014, saya kira. Bisa jadi karena memang gurita
medsos waktu itu belum seperkasa sekarang, namun bisa juga karena kebutuhan
eksistensial yang melonjak-lonjak. Mantan pendukung Prabowo bersemangat
mencari berita-berita buruk terkait pemerintahan Jokowi, mantan pendukung
Jokowi penuh gairah mencari tameng atas segala isu negatif sembari mencari
tambahan peluru dengan berita-berita positif, dan seterusnya.
Belum lagi kalau isunya terkait agama, ketika ada
peristiwa yang dipadu dengan frasa 'upaya melemahkan umat', 'aksi pembelokan
akidah', 'test the water', 'menista ulama', dan sebagainya. Ampun, dah.
Bayangkan saja. Hanya orang-orang tangguh di zaman ini
yang mampu menahan diri dari keikutsertaan di setiap riuh rendah isu seperti
itu. Wisnu salah satunya. Ia tak gampang tergoda untuk berbicara apa saja.
Pada zaman keemasan medsos, hanya manusia dengan kualitas spiritual tertentu
yang tak mudah tergiur untuk bicara apa saja. Apalagi harap diingat, bagi
spesies pembaca yang rakus, godaan duniawi terbesar adalah: ingin membaca
semuanya, ingin mengetahui semuanya, dan ingin ngomong tentang semuanya.
Maka, kalaulah pemuda Wisnu memposting atau nyetatus
berita aktual di laman medsosnya pun, perspektifnya selalu tak jauh-jauh dari
sudut pandang ia sebagai pemerhati media. Bukan perspektif genit dan
"meramaikan yang sudah ramai" semacam kita-kita.
Tidak, saya tidak merekomendasikan kepada Anda untuk
menjadi follower medsos anak muda satu itu. Isinya sangat membosankan. Tapi
justru di balik yang garing itu, tersimpan berjilid-jilid epos tentang
keteguhan.
Bagi saya, pemuda-pemuda seperti mereka itu layak
dikagumi. Mereka bukan cuma tekun dan keras dalam belajar. Mereka juga
menjalani lelaku prihatin yang berat, berupa kesetiaan pada pilihan. Padahal,
yahh, kita semua tahu, para bijak bestari sudah memberikan nasihat adiluhung
ini sejak dulu: "Setia itu menyakitkan."
Oke. Kita tinggalkan Wisnu. Nama yang kedua adalah Mahfud
Ikhwan, sahabat saya selama belasan tahun. Banyak yang sudah mengenal namanya
sebagai sastrawan. Novelnya yang berjudul Kambing dan Hujan menjadi pemenang
utama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Tapi soal itu sudah tak
perlu dibahas lagi. Saya lebih suka melihat ketekunannya pada bidang lain
yang ia geluti: film India.
Saya kenal setidaknya empat orang Indonesia yang menggilai
film India. Namun Mahfud paling gila di antara semuanya. Bukan cuma sebagai
penonton, Mahfud juga pengamat, analis, sekaligus kritikus film India.
Awalnya saya mengira dia cuma gemar nonton saja. Namun
ketika suatu hari di kamar kosnya saya menemukan buku tebal berjudul The
Encyclopedia of Bollywood Cinema (atau semacam itu), saya tahu dia tidak
main-main. Memangnya selain Mahfud, siapa lagi di Indonesia yang mau-maunya
punya buku begituan, begitu batin saya sambil berdecak tak habis pikir.
Kepemilikannya atas ensiklopedi yang jauh lebih tebal
dibanding alis Nikita Mirzani itu dibarengi sikap tahan godaan, rahasia
sukses nomor tiga. Mahfud tak pernah tergiur menonton film-film box office
Hollywood, sebagaimana bangsa manusia pada umumnya. Mau Bruce Willis, Eddie
Murphie, apalagi Denzel Washington, dia tak peduli. Kalaulah ada film Amerika
yang ditontonnya, itu bukan karena box office-nya, melainkan karena nama-nama
agung seperti Morgan Freeman, Robin Williams, atau Sean Penn.
Belum lagi film Indonesia. Dia memang penggemar Deddy
Mizwar dan Rhoma Irama (sebagai aktor, bukan sebagai politisi). Namun untuk
film sejenis Laskar Pelangi apalagi AADC, menoleh pun ia tak sudi.
Selebihnya, lelaki Lamongan ini tetap kukuh dengan ideologi film India.
Puncaknya adalah beberapa waktu lalu, ketika Mahfud
menerbitkan dua jilid bukunya sendiri tentang film India, dengan judul Aku
dan Film India Melawan Dunia. Saya tahu, mulai detik itu Mahfud Ikhwan sangat
layak menyandang predikat sebagai ilmuwan film India terbesar di Indonesia.
Indikasinya, setiap kali ada orang Indonesia ingin bertanya tentang film
India dari beragam perspektif, Mahfud Ikhwan-lah jawabannya.
Wisnu dan Mahfud adalah bukti nyata betapa saktinya jurus
tahan godaan demi menggapai kesuksesan. Cobalah jurus itu dengan
seteguh-teguhnya, lengkap dengan dua jurus pertama. Saya jamin Anda akan bisa
sesukses mereka.
"Lalu apa kaitan itu semua dengan profil penulis di
tiap tulisan sampean sebagai 'praktisi media sosial', Mase?"
Oh, soal itu ya. Jadi begini. Sebenarnya, dengan berpikir
sebentar saja, para penanya itu sudah akan langsung paham jawabannya.
Praktisi media sosial ya siapa pun yang menjalankan aktivitas bermedia
sosial. Jadi di hari ini, sebenarnya mayoritas dari kita adalah praktisi
media sosial. Dengan kata lain, itu bukan predikat yang istimewa. Nyaris tak
ada bedanya dengan predikat "warga negara Indonesia", atau
"lelaki baik-baik".
Predikat sebagai praktisi media sosial saya pajang setelah
mati-matian mencoba mengidentifikasi diri saya sendiri, dan berakhir dengan
ketidakjelasan yang memilukan. Saya tidak ahli dalam satu bidang apa pun.
Saya memang senang berteman di mana saja, tapi bukan pembaca yang tekun.
Lebih parah lagi, saya jenis lelaki rapuh yang tak tahan godaan, dan sulit
menolak keindahan. Tak ada fokus yang saya tekuni mati-matian pada satu
bidang pun.
Itulah kenapa, meski pada akhirnya saya lulus dari Jurusan
Sastra Jepang UGM, saya nyaris tidak tahu apa-apa tentang Sastra Jepang.
Selanjutnya waktu mulai belajar menulis pun, saya menulis apa saja. Apa saja.
Begitu semena-mena. Begitu impulsif, sambar kiri sambar kanan. Itulah bentuk
paling tragis dari kegagalan dalam melawan godaan.
"Lho berarti sampean sendiri tidak berhasil
menjalankan jurus ketiga?"
Lhooo ya memang. Saya memang bukan contoh sukses
sebagaimana Wisnu dan Mahfud, Mbak. Dan tulisan ini memang menempatkan diri
saya sendiri sebagai contoh buruk. Jarang-jarang lho ya, ada motivator yang
menyajikan dirinya sendiri sebagai contoh buruk. Kalau yang memuji-muji diri
sendiri sih banyak.
Makanya, kalau teman-teman mau mengundang saya, sebagai
motivator dari jenis yang sangat langka, sudah tentu saya akan pasang tarif
sedikit lebih tinggi dari Pak Mario Teguh. Itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar