Teror
atas Kewibawaan Negara
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM
|
MEDIA
INDONESIA, 12 April 2017
TEROR yang dialami penyidik KPK Novel Baswedan pada 11
April 2017 sungguh biadab. Novel disiram dengan air keras di bagian mukanya selepas
melaksanakan ibadah salat subuh di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading,
Jakarta Utara. Menurut mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, pelaku
yang menyerang Novel ialah teroris! Pada hari yang sama, polisi juga menjadi
sasaran serangan teroris. Seorang terduga teroris masuk di kompleks Kantor
Polres Banyumas Jawa Tengah dan menabrakkan sepeda motornya ke seorang
anggota polisi. Pelaku kemudian berusaha membacok anggota polisi lain yang
berusaha menghadangnya ketika ia akan melarikan diri. Pelaku akhirnya bisa
dibekuk aparat kepolisian di lokasi kejadian.
Pada Sabtu (8/4), enam anggota teroris dari kelompok
Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ditembak mati oleh aparat kepolisian setelah
menembakkan senjata ke arah polisi lalu lintas yang sedang bertugas di
Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sepanjang 2016, kepolisian telah menangani 170
kasus terorisme. Dengan demikian, rata-rata setiap dua hari, terjadi aksi
terorisme. Sebanyak 40 kasus tindak pidana terorisme telah memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum. Sementara itu, 36 kasus sedang dalam
proses persidangan dan 55 kasus masih dalam tahap penyelidikan. Sebanyak 33
terduga teroris yang mati di antaranya disebabkan berusaha melawan petugas.
Teror yang menimpa Novel dan polisi yang notabene ialah penegak hukum, juga
yang menimpa masyarakat, ialah bentuk teror pada kewibawaan negara. Presiden
Joko Widodo harus bertindak agar simbol-simbol negara tidak lagi diteror
sehingga mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Pada awal Januari yang lalu, Presiden Joko Widodo
meluncurkan paket reformasi di bidang hukum untuk membangun rasa aman bagi
masyarakat. Hak atas rasa aman ialah hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan
di Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 30 UU No39/1999 tentang HAM. Di
dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 ditegaskan setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Hak atas rasa aman ialah
hak konstitusional setiap warga negara yang harus dipenuhi negara. Dalam
merespons aksi teror yang diduga sangat sistematis dan terencana, sebagaimana
terjadi para Novel, program prioritas Presiden Jokowi untuk membangun dan
memulihkan hak atas rasa aman harus memiliki kerangka kerja dan implementasi
yang terukur dengan berbasis pada partisipasi masyarakat.
Program prioritas nasional untuk peningkatan kualitas
akses masyarakat atas rasa aman setidaknya harus mampu terefleksikan dari
terlaksananya kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi HAM. Kewajiban
untuk melindungi diwujudkan dengan pembentukan regulasi dan penegakan hukum
untuk memastikan lembaga-lembaga penegak hukum dapat menjalankan mandatnya
secara efektif dalam melindungi akses setiap orang terhadap terhadap hak atas
rasa aman. Hal ini khususnya perlindungan dari pelanggaran yang dilakukan
pihak ketiga, misalnya, kelompok intoleran, radikalisme, dan terorisme.
Kewajiban untuk memenuhi diwujudkan dalam bentuk negara memfasilitasi,
menyediakan, dan mempromosikan hak atas rasa aman. Kewajiban untuk
memfasilitasi dalam bentuk negara memastikan akses masyarakat untuk dilayani
secara baik dan profesional oleh lembaga-lembaga pelindung masyarakat
(Polri/TNI/KPK). Kewajiban untuk menyediakan dalam bentuk ketersediaan sarana
dan prasarana fisik dan pelayanan yang mendasar untuk memastikan terpenuhinya
kepuasan masyarakat terhadap hak atas rasa aman.
Kewajiban untuk mempromosikan dalam bentuk negara
menjalankan kebijakan dan program untuk meningkatkan kesadaran warga negara
terhadap hak atas rasa aman sekaligus melakukan penyadaran terhadap
kelompok-kelompok intoleran dan mantan pelaku terorisme melalui program
deradikalisasi yang efektif. Hal ini dilakukan melalui kegiatan pendidikan,
penyuluhan, dan kampanye yang melibatkan setiap komponen masyarakat seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), KPK, Komnas HAM, serta LSM. Peningkatan
kualitas akses hak atas rasa aman bagi setiap orang tanpa kecuali
(no-diskriminasi) ialah kewajiban negara, yang dicapai di antaranya dengan
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparat penegak hukum. Meningkatkan
kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat, memperbaiki regulasi, dan memenuhi
hak masyarakat secara progresif atau meningkat dari waktu ke waktu.
Program Sustainable Development Goals (SDGs) yang
dicanangkan PBB yang terdiri atas 17 tujuan, pada tujuan yang ke-16,
menyebutkan promosi perdamaian dan akses atas keadilan. Komitmen global yang
tersebut di dalam SDGs sejalan dengan komitmen nasional untuk memulihkan rasa
aman untuk membangun suasana kehidupan kebangsaan yang damai dan toleran. Hal
ini juga karena terorisme telah menjadi isu dan tantangan global. Kebijakan
reformasi hukum yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi untuk mengatasi
membangun dan meningkatkan rasa aman harus didukung. Namun, agar berdampak secara
signifikan, kebijakan ini harus dijalankan secara terencana dan sistematis
dengan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan dan masyarakat secara
luas.
Dengan adanya kebijakan reformasi hukum yang terukur,
masyarakat akan merasakan perbaikan akses terhadap hak atas rasa aman.
Indikatornya ialah masyarakat dapat melaksanakan kegiatan dan aktivitas
secara bebas, bertanggung jawab, dan tanpa rasa takut, termasuk menurunnya
intensitas jumlah dan dampak teror bagi aparat penegak hukum dan masyarakat.
Cukup sudah teror yang menimpa Novel dan aparat penegak hukum lainnya.
Saatnya Presiden menunjukkan kewibawaan negara dan memulihkan hak tas rasa
aman dengan tidak tunduk pada teror, dan menindak para pelaku berikut aktor
intelektualnya secara tegas tanpa pandang bulu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar