Setelah
Pemalsu Vaksin Dihukum
CA Nidom ; Guru Besar dan Peneliti Vaksin Universitas
Airlangga
|
KOMPAS, 10 April 2017
Di tengah huru-hara politik,
putusan pengadilan pada pasangan suami istri pelaku vaksin palsu lewat begitu
saja. Padahal, mereka telah diganjar 8 dan 9 tahun penjara pada 20 Maret
2017.
Sepadankah hukuman itu dengan
perbuatan mereka merampas masa depan anak-anak? Sebagai putusan pengadilan,
hukuman ini wajib dihormati.
Kita bersyukur bahwa kasus
pemalsuan vaksin anak yang sudah di luar nalar ini berujung pada keputusan
pengadilan. Akan tetapi, bagaimana nasib anak-anak yang menerima vaksin
palsu? Bukankah sebagai korban, mereka juga berhak sehat, tidak ada dampak
yang tersisa?
Sebagai perbandingan, dalam suatu
proses pengujian vaksin pada manusia, ada rangkaian uji pra-klinik sebelum
uji klinik pada manusia. Misalnya uji toksikologi, imunogenisitas, dan uji
tantangan. Semua uji pra-klinik menggunakan hewan coba.
Kasus
vaksin palsu
Di negeri Pancasila yang
penduduknya religius ini, pemalsuan justru marak. Beras, daging, pupuk,
ijazah, doktor, bahkan uang, semua palsu. Bedanya, pada kasus vaksin palsu,
bayi dan anak usia balita menjadi korban. Apa pun namanya, kasus ini
merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengikuti
anak-anak yang menjadi korban mengingat dampak vaksin palsu muncul puluhan
tahun ke depan.
Sejak diumumkan pada 12 Juni 2016,
langkah lanjutan kasus vaksin palsu belum terlihat menyeluruh. Dari segi
hukum, misalnya, ada dua persoalan yang perlu dicermati. Pertama, perkara
perdata antara orangtua dan rumah sakit atau individu pelaksana imunisasi.
Belum tampak hasil mediasi kedua pihak.
Kedua, perkara pidana terhadap
produsen sudah diputuskan, tetapi bagaimana dengan distributor dan pengedar?
Belum terdengar proses lanjutannya.
Jika kasus kematian perempuan yang
diduga diracun disiarkan langsung berjam-jam berhari-hari, seharusnya kasus
vaksin palsu juga demikian. Nyatanya, tidak ada stasiun televisi menyiarkan
sidang vaksin palsu.
Memang telah dibentuk Satgas
Penanggulangan Vaksin Palsu. Tidak ketinggalan DPR pun membentuk Tim Pengawas
Vaksin Palsu. Namun, satgas-satgas ini juga belum terdengar lagi tindak
lanjutnya secara nyata, terutama langkah pencegahan ke depan. Sepertinya
cukup berhenti pada vonis kedua pasangan suami istri itu.
Pelaksanaan imunisasi ulang agar
tubuh balita tidak kosong kekebalan terkesan terburu-buru. Meskipun masih
jadi perdebatan, seyogianya ada uji titer kekebalan dulu mengingat vaksin
yang diberikan sebelumnya adalah vaksin palsu.
Suatu penelitian kohort yang
diterbitkan pada jurnal EBio Medicine 2016 menyimpulkan bahwa ketepatan waktu
imunisasi berpengaruh terhadap fenomena non-spesifik, khususnya munculnya
kasus stunting (terganggunya pertumbuhan anak), dan terganggunya kadar
hemoglobin anak balita di 33 negara Afrika.
Hasil penelitian tersebut tidak
simetris dengan vaksin balita palsu ini, tetapi pelaksanaan vaksin ulang
tanpa diawali uji titer kekebalan korban dikhawatirkan bisa menimbulkan
fenomena non-spesifik pada mereka, meski sudah diikuti langkah KIPI (kejadian
ikutan pasca-imunisasi). KIPI bertujuan memantau akibat imunisasi ulang,
bukan untuk memantau fenomena non-spesifik dan reaksi antara titer yang masih
tinggi atau reaksi silang negatif antara imunisasi ulang dan vaksinasi
sebelumnya.
Ketelitian
uji
Anggota Satgas Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) telah menguji sampel vaksin palsu itu. Hasilnya, dari
72 sampel diketahui berisi 13 jenis vaksin, dan dari 23 sampel vaksin
terdapat 7 jenis palsu. Kandungan vaksin palsu antara lain antigen hepatitis
B dan anti-tetanus yang dilarutkan dengan cairan NaCl. Sementara vaksin
Tripacel yang seharusnya berisi antigen toksoid difteri, tetanus, dan vaksin aseluler
berisi antigen pertusis saja.
Validitas hasil uji sangat
ditentukan oleh metode dan pengujinya. Informasi yang disampaikan tersebut
bisa menenangkan, paling tidak membuktikan adanya vaksin palsu, tetapi masih
menyisakan tanda tanya, mengingat cara pembuatan atau pencampuran vaksin
palsu ini. Sudah pasti tidak sesuai standar pembuatan vaksin yang sangat
ketat.
Persoalan vaksin palsu, apalagi
untuk balita, bukan hanya dalam hal ketersediaan antigen untuk memacu
kekebalan, tetapi juga ditentukan bahan ikutan selain antigen. Ini mengingat
penerima vaksin masih balita, dengan pertumbuhan organ dan metabolisme yang
belum stabil.
Adanya cemaran (adventitious
agents) dalam formula vaksin bisa berasal dari luar (eksogenus) atau muncul
setelah terjadinya pencampuran bahan-bahan vaksin (endogenus). Sayang, sampai
saat ini belum ada riset atau informasi adanya cemaran dalam vaksin palsu
itu.
Adanya cemaran dalam produksi
vaksin asli biasanya disebabkan oleh proses produksi dan distribusi. Oleh
karena itu, proses produksi vaksin harus mengikuti kaidah Good Manufacture
Practices (GMP). Selain kewajiban pengujian pada semua tingkat, juga ada uji
cemaran, meliputi uji fisika-kimia; uji pada hewan yang sensitif terhadap
kuman ikutan, serta deteksi kuman dan DNA atau RNA ikutan dengan peranti
canggih. Bisa dibayangkan, betapa berbahayanya vaksin palsu yang dibuat
secara sembarangan.
Sampai saat ini ada empat kasus
fenomenal cemaran pada vaksin asli. Tahun 1959 ditemukan virus SV-40 pada
vaksin polio produksi luar negeri. Maka, muncul peraturan bahwa pada vaksin
polio tidak boleh ada cemaran virus SV-40. Ini menjadi kewajiban setiap
produsen untuk transparan dalam proses produksi dan distribusi vaksin.
Pada 1972, dengan peralatan
mutakhir ditemukan bakterofag (suatu kuman berstruktur virus) pada serum sapi
yang digunakan sebagai media proses vaksin.
Pada 1995 berhasil diidentifikasi
suatu enzim reverse transcriptase pada vaksin campak (MMR) produksi luar
negeri. Enzim ini dari Avian retrovirus karena vaksin campak diproduksi dari
telur unggas. Virus Retrovirus adalah salah satu penyebab stunting pada
unggas. Saat ini telur harus specific pathogen free (SPF) sebagai syarat
mutlak untuk produksi vaksin MMR.
Tahun 2010 diketahui ada DNA virus
Porcine circovirus (PCV-1) yang sangat menular dalam suatu vaksin Rotavirus.
Uji
cemaran vaksin palsu
WHO tahun 2014 telah menetapkan
metode menghadapi cemaran—termasuk vaksin palsu—dalam pedoman berjudul
Regulatory Risk Evaluation on Finding and Adventitious Agent in a Market Vaccine.
Kita sangat berharap cemaran vaksin balita palsu diuji secara lengkap, baik
dengan metode konvensional maupun yang baru, agar segera bisa dipetakan
cemaran apa saja yang terdapat di situ.
Meski dikatakan bahan pelarut
menggunakan cairan infus steril, mari kita lakukan yang terbaik untuk menjaga
lebih dari 1.500 anak korban vaksin palsu tersebut. Indonesia sudah memiliki
peralatan modern yang dibutuhkan, tersebar di sejumlah pusat penelitian,
bahkan dapat meminta bantuan teknis lab-lab rujukan WHO di luar negeri.
Mengetahui bahan cemaran vaksin
palsu akan memudahkan pemantauan para korban. Untuk itu, perlu kerja sama
antara orangtua (mewakili korban) dan pemerintah agar dampak pada korban bisa
diminimalkan.
Pendekatan hukum adalah suatu hak
yang harus ditegakkan, tetapi mengutamakan keselamatan masa depan anak-anak
korban jauh lebih diperlukan. Kita tidak ingin masa depan mereka terganggu
karena adanya kasus stunting, autis, dan lemahnya sistem kekebalan tubuh
akibat respons imun yang kacau. Pemantauan harus berlangsung terus-menerus
selama 3-5 tahun sejak menerima vaksin palsu mengingat mereka adalah masa
depan bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar