Reformasi
Kejaksaan (1)
Widyopramono ; Jaksa Agung Muda Pengawasan
Kejaksaan Agung
|
SUARA
MERDEKA, 24 Maret 2017
REFORMASI 1998 menjadi tonggak pembaruan semua bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali bidang hukum. Hal tersebut
dilandasi kesadaran bahwa sistem hukum yang dikembangkan selama Orde Baru
bersifat represif dan hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan yang korup.
Reformasi hukum menjadi salah satu kebijakan reformasi pembangunan
sebagaimana tertuang dalam Tap MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara. Dalam ketetapan tersebut dinyatakan salah
satu tujuan reformasi pembangunan adalah menegakkan hukum berdasarkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, HAM menuju terciptanya ketertiban umum
dan perbaikan sikap mental.
Kebijakan reformasi hukum terus berlanjut hingga era
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dalam salah satu Program Nawacita
adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Hal tersebut
dilanjutkan dengan paket kebijakan reformasi hukum yang menitik beratkan pada
tiga prioritas, yaitu penataan regulasi untuk menghasilkan regulasi hukum
berkualitas, reformasi kelembagaan penegak hukum, serta menumbuhkan
pembudayaan hukum di masyarakat.
Sejak dilaksanakan pada 1998, reformasi hukum belum
mencapai perkembangan signifikan, dan masih terbatas pada substaansi hukum,
antara lain mengamandemen UUD 1945 dan pembentukan beberapa lembaga pendukung
penegakan hukum, seperti MK, dan KY. Namun penegakan hukum yang adil dan
tanpa diskriminasi sebagai cita-cita reformasi di bidang hukum sampai saat
ini belum tercapai. Praktik mafia peradilan masih terjadi, antara lain
ditunjukkan dengan tertangkapnya oknum aparat penegak hukum oleh KPK. Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan masih
rendah, antara lain ditunjukkan hasil survei Indo Baromoter Oktober 2015 yang
menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap Kepolisian hanya mencapai 56,6
persen, dan terhadap Kejaksaan hanya mencapai 53,5 persen. Berbeda dengan
tingkat kepercayaan publik terhadap KPK yang mencapai 82 persen.
Reformasi di Kejaksaan dimulai dengan pencanangan Agenda
Pembaruan Kejaksaan pada Hari Bhakti Adhyaksa 22 Juli 2005. Hasil program
pembaruan pada 12 Juli 2007 telah ditandatangani enam Peraturan Jaksa Agung
RI mencakup pembaruan di bidang rekrutmen, diklat, standar minimum profesi Jaksa,
pembinaan arier, Kode Perilaku Jaksa serta pembaruan di Bidang Pengawasan.
Agenda Pembaruan Kejaksaan dilanjutkan dengan Program Reformasi Birokrasi
Kejaksaan Republik Indonesia yang diluncurkan pada tanggal 18 September 2008
dengan berpedoman pada ketentuan/ peraturan/juklak yang dikeluarkan oleh
Kementerian PAN/RB. Pelaksanaan. Reformasi Birokrasi Kejaksaan mencakup tiga
aspek, yaitu Kesatu Aspek Kelembagaan (Organisasi), untuk mewujudkan
organisasi Kejaksaan yang modern, ramping, tepat ukuran dan tepat fungsi,
dengan mengutamakan pada pelayanan publik. Kedua Aspek Tata Laksana, dengan
penyusunan standar operasional prosedur (SOP). Ketiga Aspek Sumber Manusia,
dengan melakukan perubahan pola pikir (mind set), budaya kerja (culture set),
dan Ketiga Perilaku (behavior). Diharapkan terjadi perubahan yang mendasar di
Kejaksaan dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan.
Sesuai teori sistem menurut Lawrence M. Friedman, terdapat
tiga komponen dalam sistem hukum yang saling berkaitan erat, yaitu : Kesatu
Komponen Struktur Hukum, Kedua Komponen Substansial Hukum, dan Ketiga
Komponen budaya (budaya hukum masyarakat). Komponen struktur hukum berkaitan
dengan tatanan kelembagaan, kinerja kelembagaan dan aparaturnya dalam
melaksanakan dan menegakkan hukum. Komponen substansi hukum berkaitan dengan
aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu,
termasuk di dalamnya asas dan etika, serta putusan pengadilan. Komponen
kultur hukum merupakan nilainilai dan sikap serta perilaku anggota masyarakat
dalam kehidupan hukum yang tercermin dalam perilaku pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif) dan perilaku masyarakat.
Dalam konteks struktur hukum, kepemimpinan Kejaksaan
Republik Indonesia menjadi salah satu bagian yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam rangka mewujudkan Kejaksaan yang lebih baik. Menurut
Miftah Thoha, kepemimpinan merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
suatu organisasi karena supaya organisasi berhasil dalam mencapai tujuan,
maka harus melewati proses kegiatan kepemimpinan. Secara umum kepemimpinan
dapat terjadi dimana saja, asalkan seseorang dapat menunjukkan kemampuannya
dalam mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan
tertentu. Apabila kepemimpinan tersebut dibatasi oleh tata krama birokrasi
atau dikaitkan dalam suatu organisasi tertentu maka dinamakan manajemen.
Lebih lanjut Maxwell menyatakan bahwa integritas merupakan
faktor kepemimpinan yang paling penting, karena dengan integritas
kepemimpinan menjadi lengkap sebagai satu kesatuan dari perkataan dan
perbuatan yang dapat membangun kepercayaan. Untuk membangun Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif,
efisien, transparan, akuntabel, dan dapat memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat diperlukan adanya kepemimpinan Kejaksaan yang berintegritas.
Kepemimpinan Birokrasi
Secara etimologi Inu Kencana Syafi’ie memberikan definisi
kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin (lead) yang berarti bimbing atau
tuntun, sehingga di dalamnya terdapat dua pihak, yaitu pihak yang dipimpin
dan yang memimpin. Dengan penambahan awalan ‘’pe’’ menjadi ‘’pemimpin’’
(leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan
komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai
tujuan tertentu. Setelah ditambah akhiran ‘’an’’menjadi ‘’pimpinan’’artinya
orang yang mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu
pimpinan (kepala) cenderung lebih otokratis, sedangkan pemimpin (ketua)
cenderung lebih demokratis. Dilengkapi dengan awalan ‘’ke’’ menjadi
‘’kepemimpinan’’ (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang
dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan
pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi
awal struktur dan pusat proses kelompok.
Maxwell menyatakan, kepemimpinan adalah kemampuan
memperoleh pengikut. Pemimpin terkemuka suatu kelompok tertentu mudah
ditemukan, khususnya orang-orang sedang berkumpul. Untuk menentukan pemimpin
adalah siapa di antara orang-orang dalam kelompok tersebut yang pendapatnya
paling diperhatikan, siapa yang paling cepat disetujui, dan siapa yang paling
diikuti oleh orang lain dalam kelompok tersebut. Gibson menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah suatu usaha menggunakan suatu gaya mempengaruhi dan tidak
memaksa untuk memotivasi individu dalam meraih tujuan. Pengertian tersebut
mengisyaratkan bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh dan semua
hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Berdasarkan pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan untuk mencapai
suatu tujuan bersama.
Dengan mendasarkan pendapat beberapa ahli, Harbani
Pasolong menyatakan bahwa konsep kepemimpinan tersebut berkaitan erat dengan
sembilan hal, yaitu pertama Kredibilitas, sebagai fondasi kepemimpinan untuk
mendapatkan kepercayaan dan keyakinan yang bersumber dari masa lalu dan
berhubungan dengan reputasi (jaminan manusia karena masa lalunya yang baik).
Kedua Integritas, sebagai faktor kepemimpinan yang paling penting karena
merupakan kesatuan dari perkataan dan perbuatan yang membangun kepercayaan.
Ketiga Kedudukan, sebagai sekumpulan tugas, tanggung jawab dan wewenang
seseorang. Keempat Jabatan, sebagai pekerjaan yang telah melembaga dalam
suatu instansi atau telah membudaya dalam masyarakat. Kelima Wewenang
(authority), suatu bentuk kekuasaan, seringkali dipergunakan secara lebih
luas untuk menunjuk kemampuan manusia menggunakan kekuasaan sebagai hasil
dari ciri-ciri seperti pengetahuan atau gelar.
Keenam Tanggung Jawab, sebagai hal yang menjadi keharusan
pembang tanggung jawab unuk menerima diri sebagai penyebab utama mengenai
suatu kejadian, baik atau buruk, benar atau salah, menerima diri untuk
dibenarkan atau disalahkan mengenai suatu kejadian, menerima hukuman jika
salah melakukan sesuatu, dan memberikan jawaban dan penjelasan dalam hal
tertentu. Ketujuh Kewibawaan, yaitu berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
seseorang sehingga orang lain dapat mematuhi kehendaknya tanpa tekanan dalam
melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Kedelapan Kemampuan, yaitu
totalitas kekuatan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan untuk mencapai tujuan. Kesembilan Pengaruh (influence), yaitu
tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau
tingkah laku orang atau kelompok lain.
Definisi yang disampaikan Inu Kencana Syafiíie di atas
dengan jelas telah membedakan pengertian antara pemimpin dan pimpinan.
Pemimpin pada dasarnya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan
pimpinan adalah orang yang menduduki jabatan dalam suatu organisasi atau
birokrasi. Dalam suatu kasus tertentu seorang pejabat struktural dalam suatu
instansi pemerintahan sudah pasti merupakan pimpinan, namun dia belum tentu
memiliki kapasitas sebagai pemimpin manakala dia tidak mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain dalam lingkup organisasinya untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Birokrasi menurut Kartasapoetra diartikan sebagai
pelaksanaan perintah- perintah secara organisatoris yang harus dilaksanakan
sedemikian rupa sehingga dan secara sepenuhnya pada pelaksanaan pemerintahan
melalui instansi-instansi atau kantor-kantor. Sinambela menyatakan, birokrasi
merupakan organisasi yang ditujukan untuk memaksimumkan efisiensi dalam
administrasi. Said menyatakan, birokrasi pemerintah adalah seluruh jajaran
badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintahan di bawah
tingkat menteri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
birokrasi merupakan jajaran lembaga eksekutif yang dipimpin oleh pejabat
pemerintahan di bawah tingkat menteri yang melaksanakan perintah-perintah
secara organisatoris.
Dari dua definisi istilah di atas dapat diketahui bahwa
kepemimpinan birokrasi merupakan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi serta
membujuk pihak lain agar melakukan tindakan untuk mencapai suatu tujuan
bersama dalam lingkup lembaga eksekutif yang dipimpin oleh pejabat
pemerintahan di bawah tingkat menteri yang melaksanakan perintah-perintah
secara organisatoris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar