Pola
Dana Transfer Berubah, Sikap Daerah?
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 17
April 2017
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lagi-lagi melakukan
terobosan dalam sistem keuangan negara dan daerah. Kebijakan terbaru
termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/ 2017 tentang
Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
Isinya merombak sebagian besar dari PMK Nomor 187/2016.
Poin-poin yang diubah lebih banyak membahas perbaikan beberapa ketentuan
mengenai pengelolaan TKDD, terutama dari sisi pengalokasian, penyaluran, dan
pelaporan serta efektivitas penggunaan TKDD. Dengan perubahan tersebut,
daerah dituntut berbenah dan melewati transisi kelembagaan ini dengan cermat
lantaran kebijakan ini bisa sangat memengaruhi kapasitas mereka dalam
penyelenggaraan pembangunan sebagaimana telah disusun dalam APBD.
Pemikiran tersebut setidaknya disandarkan pada empat poin
tujuan yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam siaran pers beberapa hari
lalu.
Pertama, Kemenkeu berkeinginan adanya penguatan
efektivitas penganggaran dan pengalokasian TKDD dalam mengatasi kesenjangan
antardaerah dengan tetap menjaga kredibilitas APBN.
Kedua, Kemenkeu berharap ada perbaikan mekanisme
penyaluran TKDD dengan mempertimbangkan kinerja penyerapan dana dan
ketercapaian output untuk mendorong efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas.
Ketiga, Kemenkeu mendorong pemerintah daerah agar
mengoptimalkan dana transfer dan dana desa untuk meningkatkan kualitas
belanja infrastruktur daerah.
Keempat, Kemenkeu tengah membangun komitmen yang utuh
dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan pelayanan dasar publik yang
berkualitas.
Dengan melihat pola-pola tujuannya, kita bisa
menyimpulkan, PMK ini akan mengarahkan pemerintah daerah (dan desa) untuk
memperbaiki kinerja birokrasi anggarannya. Misalnya dari segi penyerapan
dana. Sejak pertama kali desentralisasi fiskal mewarnai masamasa reformasi
dan otonomi daerah, dana transfer ke daerah cenderung mengalami tren
kenaikan. Kemenkeu (2017) mencatat besaran TKDD 2017 bahkan sudah sembilan
kali lipat jika dibandingkan dengan TKDD 2001.
Namun peningkatan dana transfer juga lebih sering diikuti
dengan kenaikan sisa lebih/kurang perhitungan anggaran (SILPA). Misalnya
belajar dari pengalaman tahun lalu, dari total realisasi TKDD 2016 yang
mencapai Rp710,9 triliun, dana idle yang mengendap di perbankan berjumlah
sekitar Rp83,85 triliun. Pencapaian tersebut bahkan lebih tinggi dari tahun
2015 yang dana idle-nya hanya Rp81,14 triliun.
Kondisi seperti inilah yang mungkin membuat pemerintah
pusat “sesak napas”. Karena di tataran pemerintah pusat dan khususnya
Kemenkeu, mereka sangat bersusah payah menjaga defisit fiskal agar tetap
terkendali (bahkan dengan menambah utang) di tengah tuntutan untuk
mengakselerasi pembiayaan pembangunan. Namun respons di tataran pemerintah
daerah justru tampak relatif biasa-biasa saja.
Tidak banyak pemerintah daerah yang mampu melahirkan
gebrakan kebijakan yang menjurus pada inovasi dan efisiensi pembangunan.
Karena itu sangat wajar jika output yang dihasilkan era desentralisasi fiskal
belum mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat inklusif. Namun ada
catatan tersendiri untuk kejadian dana idle 2016. Daerah-daerah yang memiliki
dana idle terbesar mengaku memiliki dana idle karena keterlambatan transfer
dari pemerintah pusat yang baru terealisasi di Desember.
Kondisi penerimaan negara yang seret menyebabkan
terjadinya penundaan TKDD. Dengan demikian pada waktu tersebut bukan murni
keteledoran dari pemerintah daerah. Selain menyampaikan poinpoin tujuan,
Kemenkeu juga merilis enam substansi utama yang tertuang di dalam PMK
50/2017.
Pertama, untuk pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU)
besaran nilai per daerah akan bersifat dinamis dan tergantung pada
perkembangan penerimaan dalam negeri (PDN) neto. Kemenkeu mengatakan DAU bisa
saja lebih tinggi dari target sebelumnya yang dijanjikan jika realisasi PDN
neto melebihi target APBN 2017.
Pola ini sekali lagi berpotensi secara signifikan
memengaruhi kredibilitas perencanaan dalam APBD/APBD-P. Apalagi jika ternyata
realisasi PDN neto di bawah angka target sebagaimana kondisi di tahuntahun sebelumnya.
Kedua, penyaluran TKDD mulai saat ini akan
mempertimbangkan kinerja penyerapan dan capaian output atas penggunaan TKDD
pada triwulan/ tahap atau tahun sebelumnya. Kebijakan ini tidak hanya
mengikat untuk skema DAU saja, melainkan juga untuk Dana Alokasi Khusus (DAK)
fisik dan nonfisik, Dana Insentif Daerah (DID), Dana Otonomi Khusus (Otsus)
dan Tambahan Infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat serta dana desa.
Ketiga, terdapat perubahan proses penyaluran DAK fisik dan
dana desa dari yang sebelumnya dikelola Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK)
bergeser kepada KPPN di seluruh Indonesia. Alasan pergeseran ini ialah untuk
meningkatkan efisiensi koordinasi dan konsultasi antara pemerintah daerah
dengan Kemenkeu serta meningkatkan monitoring dan evaluasi serta kinerja
pelaksanaan DAK fisik dan dana desa.
Keempat, PMK 50/2017 memberikan wewenang yang lebih besar
kepada gubernur untuk memberikan rekomendasi atas usulan DAK fisik di level
kabu-paten/kota dengan alasan sinkronisasi dan harmonisasi perencanaan
pendanaan.
Kelima, penyempurnaan kriteria dalam pengalokasian DID
berdasarkan beberapa indikator tertentu seperti pengelolaan keuangan daerah
(e-budgeting , e-planning, dan e-procurement), pelayanan dasar publik serta
ekonomi kesejahteraan (seperti pengentasan masyarakat dari kemiskinan).
Dan keenam, peningkatan kualitas belanja infrastruktur
daerah untuk meningkatkan pelayanan dasar publik dengan menganggarkan
persentase tertentu dari dana transfer.
Menentukan Sikap Daerah
Perspektif normatif yang coba ditampilkan para perangkat
Kemenkeu dalam PMK ini sebenarnya sangat menarik. Karena ada fakta pembenaran
yang mendukung upaya pemerintah pusat untuk mengendalikan lebih dalam kinerja
pengelolaan dana transfer ke daerah. Namun jika melihat momentum
sosialisasinya, penulis patut menyayangkan mengapa kebijakan ini justru baru
dilakukan ketika neraca APBD 2017 mulai bergerak.
Yang penulis khawatirkan, perubahan ini bisa merombak
skema perencanaan belanja dan psikologis pemerintah daerah secara drastis.
Dan rentetan dampaknya juga bisa menyasar ke target-target indikator
makroekonomi daerah. Catatan berikutnya, efek PMK 50/2017 ini sangat mungkin
menghambat programprogram yang sudah disepakati dan telah dilelang, khususnya
yang sebelumnya direncanakan dari DAU.
Memang selama ini banyak asymmetric information
bermunculan yang seakanakan menganggap bahwa DAU lebih banyak digunakan untuk
belanja tidak langsung (belanja pegawai). Namun poin keenam dari PMK ini kan
sudah “memaksa” pemerintah daerah untuk lebih mengedepankan belanja
infrastruktur dan kebutuhan dasar publik lainnya sehingga Kemenkeu tinggal
mengawal agar penyalurannya tidak termakan habis untuk belanja pegawai.
Dengan karakteristik DAU sebagai block grant yang pola
penggunaannya diserahkan kepada daerah (peruntukan untuk sektoral, termasuk
besarannya), keuntungan lainnya bisa mendorong daerah untuk berimprovisasi.
Dengan demikian jika betul nantinya terjadi penundaan/pengurangan, sebenarnya
telah terjadi juga penurunan kewenangan daerah untuk mengakselerasi
pembangunan daerahnya.
Selain kritik mengenai momentum sosialisasi, penulis
menganggap substansi lain dalam PMK 50/2017 sudah berjalan ke arah mekanisme
pengelolaan yang lebih ideal. Nah yang perlu kita persiapkan berikutnya
adalah langkah yang harus ditempuh pemerintah daerah.
Pertama, pemerintah daerah sebisa mungkin mulai menentukan
milestones kebijakan dan memilah-milah program berdasarkan level urgensinya.
Dengan pertimbangan keterbatasan anggaran yang nyaris
selalu terjadi, pemerintah daerah sudah seharusnya terlatih bersikap tegas
dan realistis untuk mulai mengutamakan program- program prioritas. Pembinaan,
pengawasan, koordinasi, dan sinkronisasi program menjadi salah satu cara
untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan sehingga pemerintah daerah harus
matang dalam menyusun rencana-rencana kebijakan prioritas beserta dengan
determinasi-determinasi kebijakannya.
Kedua, kerangka reformasi birokrasi khususnya untuk
strategi penyerapan anggaran seharusnya sudah melangkah secara progresif.
Kunci utama langkah reformasinya terletak pada
pengembangan SDM yang berwenang merencanakan dan mengelola anggaran. Karena
selama ini keterbatasan kapasitas aparatur anggaran sering kali dijadikan
kambing hitam dalam kinerja yang kurang optimal. Poin ini sangat terkait erat
dengan poin pertama sebelumnya.
Pengembangan teknologi informasi dapat menjadi sarana
pendukung untuk proses akuntabilitas, penyerapan aspirasi untuk menentukan
target prioritas, serta membuka akses pengawasan yang lebih baik.
Kredibilitas anggaran pemerintah daerah dapat dibangun ketika pemerintah
daerah mampu menuntaskan visi-misi utamanya dalam proses pembangunan. Jika
ditarik ke arah simpulsimpul indikator makroekonomi, penulis menyarankan
alangkah lebih baiknya jika pemerintah daerah menempatkan pembangunan
infrastruktur dan SDM sebagai kepentingan utamanya.
Ketiga, daerah perlu didorong lebih giat lagi agar tidak
bergantung dengan dana transfer dari pemerintah di atasnya.
Tujuan utamanya adalah agar proses pembangunannya tidak
terjebak dengan dinamika keuangan pemerintah pusat. Alangkah lebih baik
pemerintah daerah bisa meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi yang
mendorong agar PAD bisa lebih optimal.
Namun langkah ini lebih pas diposisikan sebagai output
yang dilahirkan dari kebijakan- kebijakan sebelumnya, mulai dari proses hulu
ekonomi (regulasi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur) hingga tahap
hilirisasi ekonomi (daya saing pasar dan insentif-insentif pendukung
lainnya). Karena itu pemerintah daerah perlu menyusun tahap-tahap kebijakan
secara detail agar tidak hanya melahirkan output-output parsial yang bernilai
ekonomi rendah. Mudah-mudahan pemerintah daerah bisa lebih arif menerjemahkan
perubahan ini, khususnya melalui rancangan APBDP 2017 yang akan disusun dalam
waktu dekat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar