Pilkada
Jakarta 2017: Kalau Ahok atau Anies Menang
Toriq Hadad ; Wartawan Senior TEMPO
|
INDONESIANA, 19 April 2017
Jakarta
melaksanakan pemilihan kepala daerah hari ini. Sekitar 6,9 juta penduduk
Jakarta akan memilih salah satu dari dua pasangan calon pemimpinnya:
Ahok-Djarot atau Anies-Sandi. Tapi yang sibuk bukan hanya penduduk Jakarta,
praktis seluruh penjuru negeri seperti “terlibat” pilkada Jakarta ini.
Siapa pun yang
menang, sejarah mencatat pilkada 2017 ini sebagai salah satu yang tergolong
buruk sepanjang sejarah pemilihan di Jakarta. Isu agama dan ras secara
memualkan dieksploitasi menjadi alat untuk menyerang lawan politik. Keluarga,
grup pertemanan, komunitas kantor, semua terbelah mengikuti pilihan politik.
Suap merajalela, dan tidak seorang pun berani mengatakan kedua pasangan bebas
dari cacat dan cela ini.
Sedihnya, yang
diperdebatkan bukan program kedua pasangan, tapi stempel yang dilekatkan
paksa pada kedua pasangan. Maka yang terdengar di mana-mana: pilih Ahok itu
dosa karena dia “kafir” dan menista agama, pilih Anies itu menyuburkan
radikalisme dan mengembalikan Orde Baru karena dia dirangkul Rizieq serta
Cendana.
Adu program
yang sebenarnya terjadi, paling tidak pada saat debat, seakan-akan tidak lagi
mempengaruhi pilihan di Tempat Pemungutan Suara pagi ini.
Saya setuju
dengan pendapat ini: siapapun yang menang, ketegangan tidak akan segera pergi
dari Jakarta. Perbedaan ini akan lama mengendap, butuh usaha yang kuat dan
jujur dari sang pemenang untuk mengakomodasi yang kalah.
Bila tak
ditangani serius, kelompok kalah akan tetap bertahan sebagai “kelompok
penolak”, resisten terhadap semua program, apatis, bahkan mungkin destruktif
-- semua sikap yang sangat menghambat pemenang untuk membangun Jakarta.
Tapi lebih
baik kita tidak berkutat pada yang sudah ditunjukkan Ahok atau Anies selama
ini, tapi membayangkan Jakarta (dan Indonesia) yang kita impikan untuk masa
mendatang ini.
Yang kita
impikan adalah Jakarta yang bebas korupsi dan pungli. Kota yang menjadi
cerminan praktek demokrasi kita. Kota yang menjunjung keberagaman atau
pluralisme. Kota di mana kesetaraan warganya di mata hukum menjadi contoh
bagi kota lain. Kota yang memberikan peluang ekonomi yang proporsional bagi
warga. Kota yang adil bagi semua penghuninya, kota yang nyaman dihuni. Kota
di mana pemimpinnya mau mendengar warganya, mau mendengar kritik, mau
berembuk, berunding demi kebaikan bersama. Kota dengan pemimpin yang bersih
dari korupsi.
Dengan
Anggaran Daerah lebih dari Rp 70 triliun, tuntutan itu rasanya sangat masuk
akal. Pemimpin Jakarta perlu memiliki standar kompetensi dan standar moral
yang sangat tinggi. Pemimpin yang siap menerima yang kalah dalam barisannya.
Bagaimana
kalau Ahok menang? Apakah dia mampu memenuhi semua impian ini? Ahok jelas
memiliki kinerja yang baik sejak dia menggantikan Jokowi pada November 2014
lalu. Semua program dia jalankan dengan lugas, keras, dengan ketegasan yang
luar biasa. Bicaranya blak-blakan, pedas, dan sengaja ia unggah rapat2 yang
pedas dengan staf-nya itu di You Tube. Para pegawai DKI yang korupsi dia
sikat habis.
Jakarta jelas
berubah, warga merasakan perubahan positif itu. Kepuasan warganya pada kerja
Ahok tidak diragukan. Seharusnya dengan semua itu Ahok melenggang menang di
putaran pertama. Tapi fakta menyatakan dia tidak dipilih mutlak oleh warga
yang dilayaninya itu. Sebagian besar warga Jakarta pasti puas akan kerja
Ahok, tapi mereka banyak yang tidak memilih Ahok di TPS.
Apa yang
terjadi sebenarnya? Tentu tak ada jawaban pasti atas “keterbelahan” sikap
warga Jakarta ini. Saya menduga-duga dengan pertanyaan sederhana ini: kalau
tidak ada kasus Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu itu, apakah Ahok akan
menang satu putaran? Saya yakin jawabannya adalah: YA.
Artinya, kerja
bagus Ahok seperti dilupakan ketika dia menyinggung hal paling sensitif dalam
pandangan sebagian warga Jakarta: soal agama. Saya termasuk yang tidak
percaya Ahok menista agama dengan ucapannya di Kepulauan Seribu itu, tapi
ingatlah bahwa tidak semua orang tidak percaya. Banyak yang yakin penistaan
terjadi, banyak yang “dipaksa” yakin oleh lawan politik Ahok.
Begitu kuatnya
keyakinan penistaan itu dipompakan sampai-sampai menghanguskan semua hal baik
yang sudah ditebar Ahok. Pendukung Ahok mungkin beranggapan: panas setahun
dihapuskan oleh hujan sehari.
Tidak saya
pungkiri, barangkali sebagian kecil warga masih ada yang beranggapan “tidak
mau memilih keturunan Tionghoa” -- seperti juga sebagian yang lain “menolak
memilih keturunan Arab”.
Maka,
tantangan Ahok kalau ia terpilih adalah mengubah gaya kepemimpinannya. Gaya
otoriter yang ia pakai selama ini sudah terbukti membuatnya harus
tertatih-tatih melewati putaran kedua. Ini indikator yang jujur, tidak semua
warga suka dengan style “suka-suka gue” yang ia jalankan. Ia mesti lebih
sabar, termasuk menerima kritik dari lingkungan yang bukan teman-temannya.
Ahok perlu paham, bahwa wartawan yang mengkritik itu bukan musuh (tidak perlu
juga diusir dari Balaikota), dan kritik itu tidak berbahaya. Ia tidak perlu
sesabar Jokowi dengan makan siang lebih 50 kali sebelum memindahkan pedagang
pasar, tapi gaya buldozer hanya akan menuai problem yang tidak perlu datang
kalau ia sedikit bersabar.
Tantangan
terbesar Ahok tentu saja memberesi reklamasi. Ini tidak hanya menyangkut
perizinan, tapi perlakuan terhadap investor raksasa seperti Aguan yang sudah
menanam triliunan rupiah di sana versus keprihatinan nelayan dan para
penggiat lingkungan hidup. Kebijakan apapun yang diambil Ahok kelak kalau ia
menang, akan menunjukkan ke mana ia berpihak, maka semoga ia berhasil meniti
buih.
Bagaimana
kalau Anies menang? Anies terlempar dari kabinet Jokowi. Orang banyak bilang,
itu lantaran Anies kelak bisa jadi kuda hitam pada pemilihan presiden 2019.
Tapi tak sedikit yang mengatakan bahwa kinerjanya tidak kinclong sebagai menteri
pendidikan. Ia tidak pernah memimpin birokrasi yang besar, maka banyak yang
ragu apakah Anies sanggup mengatasi birokrasi DKI yang luas itu. Ia memang
pernah bergiat di KPK, tapi banyak yang meragukan apakah ia seberani Ahok
untuk memberantas korupsi di birokrasi Jakarta.
Lalu soal
radikalisme. Kunjungan Anies ke markas FPI di Petamburan membawa kesan bahwa
ia kelak sulit bersikap tegas kepada kelompok garis keras itu. Memang tidak
adil menimpakan meningkatnya radikalisme belakangan ini pada Anies seorang,
tapi justru itu tantangan paling besar kalau Anies terpilih. Akankah dia
sanggup mengatasi ulah kelompok-kelompok garis keras yang sekarang
mendukungnya ketika ada masalah nantinya. Orang menunggu dengan cemas sikap
Anies terhadap aksi sweeping, arak-arakan bermotor kelompok kupluk putih,
atau razia ke tempat-tempat hiburan yang selama ini kerap mereka lakukan.
Orang juga
akan menakar Anies dari hubungannya dengan Cendana, kalau ia menang kelak.
Banyak yang bilang, membawa-bawa aspirasi Orde Baru bukanlah inspirasi yang
baik bagi pemimpin yang bekerja demi masa depan, termasuk masa depan Jakarta.
Jakarta merupakan etalase negeri, termasuk dalam membangun hubungan antara
pemimpin dan rakyatnya. Kepemimpinan searah, yang tidak menumbuhkan
partisipasi luas seperti dipertontonkan Orba, bukanlah contoh yang hubungan
pemimpin-rakyat yang mesti dibangun di Jakarta.
Anies mesti
membuktikan diri kelak bebas dari pengaruh Cendana ini dalam menjalankan
kepemimpinannya, dan ini tidak akan mudah.
Banyak orang
menyayangkan Anies yang seperti tidak pandai menutupi ambisi politiknya,
untuk pada suatu hari sampai ke Istana. Ia dinilai kurang sabar, terburu-buru
memutuskan meniti “jembatan” menuju kursi tertinggi Republik itu dengan ikut
berlomba merebut Balaikota DKI.
Ia baru 47
tahun pada bulan Mei ini –lebih muda daripada Ahok yang 50 tahun. Sikap yang
dianggap terburu-buru ini membuat Anies seperti ingin cepat-cepat meraih
dukungan dari mana saja, tanpa perduli pada platform yang selama ini ia
tunjukkan: sebagai orang yang moderat, toleran, punya visi masa depan yang
baik.
Maka, Anies
punya pekerjaan besar sesungguhnya, kalau ia rela berkunjung ke markas FPI
Petamburan, bagaimana ia akan menunjukkan pada orang bahwa ia bukan bagian
ide penyebaran agama versi kelompok itu. Bagaimana ia akan meredakan
perbedaan di Jakarta yang terbelah akibat “doa bersama massal” yang sekarang
justru dipuja-puja banyak orang dan seperti “diaminkan” Anies. Jakarta
memerlukan tokoh pluralis yang bisa menjaga dan merawat kebhinekaan ini, demi
masa depan bersama yang lebih baik.
Begitu pilkada
selesai, Anies sudah tak bisa lagi berakrobat politik demi mendulang suara
–kalau ia menang. Banyak orang menunggu, sikapnya yang menerima terbuka
dukungan kelompok keras ini sikap yang temporer selama pilkada atau sikap
permanen. Anies tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan pidato dan
retorika, ia harus menjawabnya dengan tindakan dan program.
Kalau Anies
menang, bagaimana dia akan menyamai prestasi kerja Ahok. Ini yang paling
memeras keringat. Mengeruk sungai, membangun jalan layang, membangun
apartemen murah, kartu Jakarta sehat, kartu Jakarta pintar, itu hanya
sebagian yang mesti Anies kejar. Tidak akan mudah, apalagi dengan
pengalamannya yang minim dalam birokrasi kota.
Anies menolak
reklamasi. Tapi bagaimana ia akan menyelesaikan triliunan rupiah yang sudah
ditanamkan di sana. Ia tidak bisa hanya berpikir kepentingan nelayan atau
penggiat lingkungan, tapi juga jalan keluar yang win-win bagi pengusaha yang
sudah kadung mengucurkan duit besar. Tidak mudah, perlu pikiran bjak dan
terobosan berpikir yang tidak biasa.
Ahok dan Anies
bukan pemimpin ideal untuk tugas besar memimpin Jakarta yang saya dan mungkin
kita semua impikan. Tapi mereka berdua layak diberi kesempatan. Layak untuk
tidak mendapat stigma yang salah: bahwa memilih Ahok itu “dosa”, memilih
Anies itu menyuburkan yang “radikal”.
Saya tidak memilih Ahok. Saya memilih bukan Anies. Saya memilih
Rano Karno. Dan kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar