Penghematan
dan Pemangkasan APBN
Kacung Marijan ; Guru besar FISIP Universitas Airlangga; Wakil Rektor UNUSA
|
JAWA
POS, 14
April 2017
SEPERTI tahun lalu dan tahun terakhir pemerintahan SBY,
tahun ini pemerintah kembali melakukan penghematan anggaran besar-besaran.
Yang menjadi sasaran adalah penghematan pada alokasi belanja barang dan jasa.
Setidaknya ada dua argumentasi mengapa penghematan itu
kembali mengemuka. Pertama, terkait dengan efektivitas dan efisiensi
anggaran. Anggaran untuk penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk
untuk pelayanan publik, selama ini belum sepenuhnya dirancang berdasar
kinerja, melainkan masih banyak dipengaruhi pertimbangan alokasi berbasis
struktur organisasi pemerintahan. Konsekuensinya, alokasi anggaran masih
terkesan ’’bagi-bagi’’ anggaran bagi berjalannya struktur. Belum sepenuhnya
pada berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan, khususnya yang terkait dengan
pelayanan publik.
Memang, belakangan sudah terdapat perubahan pandangan
dalam alokasi anggaran bagi bergeraknya pemerintahan, dari awalnya ’’money
follows structure’’ ke ’’moneyfollows functions’’ dan ke ’’money follows
program’’. Namun, dalam realisasinya, perencanaan anggaran belum sepenuhnya
mengikuti perubahan pandangan demikian. Konsekuensinya, kalau ditelisik lebih
jauh, masih banyak ditemui anggaran yang masih berbasis pandangan lama.
Kedua, pendapatan negara masih belum sesuai dengan harapan
sebagai akibat masih adanya guncangan-guncangan ekonomi global. Implementasi
tax amnesty yang tidak sesuai dengan target dan penerimaan pajak pada
awal-awal 2017 yang masih kecil merupakan peringatan awal bahwa perolehan
pendapatan dari sektor pajak 2017 bisa berpotensi di bawah asumsi.
Sekiranya fenomena kedua itu tidak mengalami banyak
perbaikan dan terus berlanjut, secara rasional pemerintah mau tidak mau harus
melakukan evaluasi terhadap anggaran 2017, betapapun postur anggaran 2017
telah disusun berdasar asumsi-asumsi yang lebih realistis dari anggaran 2016.
Meski demikian, sekiranya pendapatan 2017 tidak sesuai dengan asumsi, tidak
tertutup kemungkinan pemerintah akan meninjau kembali anggaran melalui
RAPBNP. Seperti tahun lalu, ’’P’’ bukan lagi penambahan, melainkan
pengurangan.
Dalam hal penghematan, alokasi belanja barang dan jasa
dimungkinkan direalokasikan ke belanja modal. Tetapi, manakala terdapat
kesenjangan besar dalam target penerimaan pajak, bisa muncul potensi
pemotongan belanja modal.
Dalam hal penghematan belanja barang dan jasa, terdapat
kemungkinan implikasi negatif terhadap sektor ekonomi tertentu seperti
perhotelan dan transportasi. Bagaimanapun, pengeluaran yang besar terhadap
belanja barang dan jasa membuat mobilitas pihak-pihak yang terkait ke
berbagai daerah cukup tinggi. Implikasinya, tingkat hunian hotel dan
kebutuhan jasa transportasi juga tinggi. Manakala anggaran itu dikurangi,
pertumbuhan dari sektor perhotelan dan transportasi berpotensi berkurang.
Namun, dalam jangka panjang, penghematan belanja barang
dan jasa yang berimplikasi pada efisiensi dan efektivitas pelayanan publik
serta adanya realokasi ke belanja modal memungkinkan roda pemerintahan
berjalan semakin sehat.
Pemangkasan anggaran untuk belanja modal memiliki
implikasi yang lebih besar. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran
mungkin mengalami perlambatan. Serapan angkatan kerja akibat proyek-proyek
pemerintah juga berpotensi menurun. Secara keseluruhan, pemotongan itu
berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Selain memiliki asumsi-asumsi yang lebih baik dari
penyusunan anggaran tahun lalu, pemerintah saat ini juga memiliki fondasi
yang lebih baik dari penerimaan pajak. Program tax amnesty memang tidak
sepenuhnya berhasil. Namun, program tersebut telah memungkinkan adanya
penambahan orang dan kelompok riil pembayar pajak, baik adanya penambahan
jumlah pemilik NPWP maupun data aset yang dimiliki para wajib pajak.
Tetapi, potensi itu juga tidak lepas dari perkembangan
perekonomian. Ketika dunia usaha berjalan baik, kelompok wajib pajak
potensial itu juga akan memiliki kemampuan riil dalam membayar tanggungan
pajaknya. Sebaliknya, manakala dunia usaha tetap berjalan lambat, kemampuan
pembayar pajak juga stagnan, kalau tidak malah menurun.
Dalam kondisi semacam itu, selain memperbaiki iklim usaha,
pemerintah terus dituntut memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola
fiskal dan moneter. Melakukan penghematan dan pemotongan anggaran tanpa
perhitungan secara matang dan serius bisa berpotensi memperburuk dunia usaha.
Bagaimanapun, fiskal tetap memiliki peran penting dalam mendorong tumbuh
kembangnya dunia usaha.
Adanya penghematan anggaran, bukan pemangkasan, tetap
menjadi pilihan utama. Selain memperbaiki mental aparat negara dan pemerintah
agar bekerja berbasis kinerja, jauh dari praktik korupsi, upaya tersebut juga
berpotensi membangkitkan kepercayaan publik, khususnya para pembayar pajak,
memiliki kepercayaan kepada pemerintah.
Beberapa pembayar pajak selama ini sakit hati karena
merasa uang yang dibayarkan ke pemerintah telah disalahgunakan. Apabila
mental birokrasi lebih baik dan anggaran disusun serta diimplementasikan
berbasis kinerja, sakit hati semacam itu pelan-pelan terobati.
Memang, sektor perhotelan dan transportasi bisa jadi akan
terkena implikasi langsung dari penghematan belanja barang dan jasa itu.
Namun, dalam jangka panjang, hal demikian bisa terkurangi. Manakala dunia
usaha pulih dan berkembang, sektor perhotelan dan transportasi bakal tumbuh
dengan sendirinya.
Selain itu, pemerintah bisa mengoptimalkan potensi lain,
yakni sektor pariwisata. Dunia ini jelas memiliki keterkaitan langsung dengan
perhotelan dan transportasi. Di daerah-daerah yang memiliki sektor pariwisata
yang baik, perkembangan dunia perhotelan dan transportasinya juga berlangsung
secara baik. Yang menjadi tantangan adalah masih terbatasnya jumlah wisatawan
ke Indonesia.
Pemerintah menyadari potensi besar sektor pariwisata
tersebut. Karena itu, dalam tahun-tahun belakangan, terdapat upaya lebih
serius untuk memperbaikinya. Potensi wisatawan tidak hanya datang dari luar
negeri, melainkan juga dari dalam negeri. Kelompok yang terakhir ini malah
lebih potensial dalam melakukan kunjungan.
Sekiranya kunjungan wisata dari dua kelompok itu cepat
berkembang, mereka bisa berpotensi menutup berkurangnya tingkat hunian hotel
dan penggunaan transportasi akibat ’’perjalanan dinas’’. Setidaknya, hal
demikian bisa kita lihat di negara-negara yang sektor pariwisatanya sudah
mapan. Sektor perhotelan dan transportasi berkembang bukan karena adanya
alokasi anggaran bagi aparatur dan pemerintahan yang melakukan perjalanan
dinas, melainkan karena sektor pariwisata dan dunia usaha pada umumnya terus
berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar