Membangun
Peradaban Kota
Nirwono Joga ; Kemitraan Habitat
|
KOMPAS, 11 April 2017
Kota menentukan peradaban.
Warga kota menentukan wajah kota.
Membangun warga kota maka peradaban terbangun.
Prof Gunawan Tjahjono, 2017
Perhelatan akbar Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua
segera berlangsung. Di sejumlah wilayah lain, gubernur, bupati, dan wali kota
telah terpilih pada Pilkada Serentak 2017. Mereka langsung dihadapkan pada
tantangan, antara lain, berbagai bencana lingkungan yang melanda sejumlah
kota, seperti banjir dan krisis air bersih, kekeringan dan kebakaran, gempa,
serta pencemaran udara, air, dan tanah.
Lalu, sebenarnya pembangunan kota itu untuk apa dan untuk
siapa?
Pembangunan kota harus mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui tata ruang yang berkeadilan dan berkelanjutan (apa). Pembangunan kota
ditujukan bagi seluruh warga agar terwujud masyarakat adil dan makmur melalui
tata ruang dan segenap peraturan (siapa). Dengan demikian, peradaban kota
bisa sejajar dengan kota/bangsa besar dunia lain melalui rekayasa antartindak
warga/aktor (capaian).
Pembangunan kota harus berkelanjutan. Keberlanjutan
memiliki makna mewariskan ke generasi selanjutnya. Apa yang perlu diwariskan
dan dilanjutkan? Lingkungan hidup yang lestari tetap terjaga. Ekonomi yang
senantiasa meningkat dan hijau. Kesetaraan dan kesejahteraan sosial bagi
segenap warga kota/negara.
Adakah kota yang berakar budaya ”Indonesia” atau
”Nusantara”? Pemahaman tentang kota sendiri bisa dilihat dari definisi polis,
city, pura, nagara, kuta. Polis dihuni dan dikendalikan sejumlah warga
penjunjung moral (Kitto) dan ia berhubungan dengan puram (Sanskerta,
benteng). Dari polis menurunkan konsep politic, policy, polite, police. City
berisi warga (citizen) yang beradab (civilis) dan menurunkan konsep civil,
civilian, civic, civilization.
Pura menentukan sejenis kehidupan di dalam batas benteng.
Nagara merujuk ke suatu pengalaman kehidupan yang dalam jarak tertentu
pejalan kaki tak menemukan ladang atau sawah. Juga suatu pemerintahan yang
terbentuk dari sistem sosial yang tumbuh dari dalam lokasi. Kuta merujuk ke
suatu keadaan kehidupan di dalam dinding batas suatu pemerintahan.
Persoalannya kini bukan lagi isu tentang yang mana
dirujuk, melainkan apa yang sesuai untuk dikembangkan. Bukti dan data ke arah
mengakui bahwa hal itu ada belumlah cukup. Pertanyaannya adalah apakah perlu
kita cari lebih jauh akar itu.
Lalu, apakah dengan mengetahui semangat berkota melalui
sejarah yang wilayahnya tersebar luas dari Sabang hingga Merauke, dari Rote
hingga Tarakan, membentang dari daratan ke lautan yang diselimuti oleh budaya
lisan ini, mampu membawa kita ke konsep merekayasa demi penjaminan kesetaraan
sosial dalam mengembangkan kota.
Keberlanjutan
Adakah ukuran keberhasilan pembangunan/perkembangan kota
di Indonesia? Kota yang berlanjut itu, menurut Gunawan Tjahjono, harus penuh
vitalitas. Kota diukur dari kecukupan udara bersih, pasokan air bersih (siap
minum), makanan bergizi, pakaian dan hunian layak, keamanan lingkungan,
kegiatan sehat dalam berekreasi dan berkarya, berkesempatan menyatakan diri
dan pendapat, serta keselarasan antarsemua unsur tersebut.
Kota perlu mengurangi ketergantungan pasokan akan unsur-
unsur vital dan dengan ketat menjaga agar planet bumi berlanjut. Vitalitas
kota diukur dari efisiensi kecukupan dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
kota. Lingkungan kota dijaga dengan hati-hati, seperti ruang terbuka hijau
(RTH) kota memadai, udara segar, air senantiasa cukup dan bersih dengan
jaminan pasokan, bencana terantisipasi, keamanan lingkungan terjamin dan
terkendali, serta cukup taman untuk berinteraksi sosial dan meredakan beban
kegiatan harian.
Keberlanjutan kota perlu untuk mendukung keberlangsungan
ekonomi dalam arti segi biaya dan keuntungan serta keterkelolaan dan pengurangan
ketimpangan penghasilan. Dalam mengukur keberlanjutan kota, kepadatan lahan
pekerjaan (employment density) belum lazim dicatat dan diatur. Kota sudah
saatnya membaca kesempatan kerja di suatu lahan agar dapat lebih adil dan
efisien mengendalikan keberlanjutan ekonomi.
Kesesuaian penggunaan lahan harus mencantumkan jumlah dan
ragam pekerjaan yang bakal tersedia di atas setiap bidang lahan. Perubahan
penggunaan atau usulan perlu ada pencocokan kegiatan agar kota makmur,
inklusif, dan beragam.
Dalam segitiga pilar pembangunan keberlanjutan, unsur
manusia, yakni kesetaraan dan keadilan sosial, merupakan sisi yang sulit
diukur. Kesempatan dilayani secara adil dan efisien untuk mencapai (akses)
pelayanan publik merupakan salah satu faktor utama kesetaraan, ketercapaian
merata dan adil ke pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pasar,
hiburan, tempat ibadah, serta prasarana (air, listrik, komunikasi, dan
angkutan).
Dari sisi keberlanjutan, apakah ada kemungkinan kita
turunkan tolok ukurnya. Kini, dunia ramai mengukur kota dengan tema-tema
seperti berhidup (livable), kebahagiaan (happiness), keinklusivan, dan
ketahanan (resilient). Bagaimana sikap kita, ikuti atau kritisi dan
mengangkat semangat khas kelokalan.
Pada akhirnya, kota harus nyaman bagi anak-anak, usia
lanjut, dan disabilitas. Masyarakat dapat menghabiskan waktu untuk keluarga,
memiliki kebersamaan di taman-taman kota, saling bercanda dan berdiskusi
dalam memecahkan masalah di lingkungan. Segenap masyarakat dapat
menyelenggarakan aktivitas sehari-hari, terbebas dari kriminalitas dan
ancaman teror atau terjebak di dalam kemacetan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar