Malaikat
dan Iblis dalam Mimpi
AS Laksana ; Cerpenis dan Esais kelahiran Semarang,
tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 12
April 2017
SATU kebiasaan berharga yang sudah bertahun-tahun saya
tinggalkan adalah meminta tolong kepada malaikat penjaga menjelang tidur. Itu
kebiasaan yang saya kerjakan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Guru
agama yang memberi tahu.
Saya duduk di kelas IV waktu itu. Pada suatu hari, guru
agama menanyakan kepada kami, murid-muridnya, siapa yang tidak mengerjakan salat
sama sekali. Tidak ada yang mengacungkan jari telunjuk. Selanjutnya, dia
menanyakan siapa yang mengerjakan salat lima waktu. Beberapa anak
mengacungkan jari, tidak banyak. Lalu empat, tiga, dua, satu.
Saya hanya bisa empat kali sehari, tanpa salat Subuh,
karena selalu bangun kesiangan, mandi tergesa-gesa, dan langsung lari ke
sekolah. ”Tapi, ingin mengerjakan salat Subuh atau tidak?” tanya guru. Saya
jawab ingin.
”Kalau begitu, minta tolong kepada malaikat agar
dibangunkan lebih pagi,” katanya. Dia memberitahukan bahwa setiap orang
memiliki malaikat penolong yang dengan senang hati akan membantu jika
diminta.
”Jadi, mulai nanti malam, sebelum tidur sampaikan
permintaanmu kepada malaikat penolong itu,” kata guru. ”Misalnya, kau ingin
bangun setengah lima. Katakan saja, ’Malaikat yang baik, tolong bangunkan
saya setengah lima agar saya bisa salat Subuh.’ Ia pasti membangunkanmu.
Tetapi, kau mungkin belum paham cara ia membangunkanmu dan belum kenal
bahasanya. Minta lagi besoknya. Pokoknya, setiap malam menjelang tidur
mintalah kepada malaikat penjaga agar membangunkanmu pukul setengah lima.”
Saran itu saya ikuti. Seperti yang dikatakan guru,
malaikat penjaga benar-benar suka membantu. Tidak sampai seminggu sejak mulai
menyampaikan permintaan tolong, saya bisa bangun pagi. Spontan, saya melihat
jam dinding: pukul setengah lima.
Selama berbulan-bulan saya melakukan kebiasaan seperti itu
menjelang tidur dan baru berhenti meminta tolong setelah saya yakin sudah
bisa bangun pagi tanpa perlu dibantu lagi. Dan saya melupakannya.
Urusan minta tolong menjelang tidur itu baru muncul lagi
bertahun-tahun kemudian, ketika saya membaca buku panduan menulis cerita
pendek yang disusun Mohammad Diponegoro, berjudul Yuk, Nulis Cerpen yuk. Saya
membacanya ketika SMA dan membeli tiga eksemplar lagi untuk saya bagikan
kepada teman-teman. Saya menyukai buku itu dan saya pikir mereka juga perlu
membacanya.
Di sana, Mohammad Diponegoro memperkenalkan metode
kreativitas dengan memberdayakan bawah sadar. Dia menyebutnya ”Jin Ifrit di
dalam kepala” karena bawah sadar memiliki kemampuan untuk mengerjakan hal-hal
yang luar biasa.
Saya mengikuti secara harfiah apa yang dia sarankan untuk
menulis cerita pendek dengan bantuan mimpi. Setiap hari saya memikirkan dua
atau tiga karakter, memikirkan kesulitan yang mereka hadapi, latar belakang
mereka, tempat kejadian, dan beberapa detail lagi tentang mereka.
Tiap malam menjelang tidur, saya membaca catatan yang
sudah saya siapkan pada siang hari dan meminta bawah sadar memunculkan cerita
dalam mimpi. Beberapa lembar kertas dan sebatang pensil saya sediakan di
samping tempat tidur. Mohammad Diponegoro menyampaikan bahwa biasanya kita
terbangun pada ujung mimpi; pada saat itu kita harus segera mencatatnya. Jika
kita tidur lagi setelah terbangun, pada saat nanti terbangun lagi, kita
cenderung lupa apa mimpi kita semalam.
Cerpen-cerpen awal saya lahir sangat mudah dengan cara
itu. Tetapi, kemudian muncul pikiran yang tidak-tidak: jika terus-menerus
berbuat begini, saya niscaya kehilangan mimpi alami. Saya tidak mungkin bisa
memimpikan tujuh lembu gemuk ditelan tujuh lembu kurus. Para pecandu judi
buntut tidak bisa menafsirkan mimpi saya menjadi deretan angka-angka. Saya
juga akan kehilangan pesan gaib yang mungkin disampaikan melalui mimpi. Pendeknya,
mimpi saya tidak lagi menyimpan rahasia. Kerisauan itu membuat saya
meninggalkan ”Jin Ifrit di dalam kepala” dan melupakannya.
Cerita fantastis berikutnya mengenai mimpi yang saya
jumpai dalam riwayat Giuseppe Tartini (1692–1770). Komposer kelahiran
Venesia, Italia, itu mengakui bahwa komposisinya, Devil's Trill Sonata, lahir
dari mimpi. Suatu malam dia bermimpi membuat perjanjian dengan iblis yang
bersedia memenuhi apa pun keinginannya. Sebelum menyepakati perjanjian,
Tartini ingin menguji kecakapan si iblis. Dia serahkan violin miliknya dan
minta iblis itu memainkannya.
”Saya seperti berhenti bernapas ketika melihatnya
memainkan sebuah komposisi,” katanya.
Saat bangun tidur, dia memainkan lagi komposisi tersebut,
mencatat notasinya, dan memberinya judul Devil's Trill Sonata. Anda bisa
menikmatinya di YouTube jika tertarik pada komposisi terbaik Tartini itu.
Sekarang, ketika mengingat lagi semuanya, saya menyesal
kenapa tidak melanjutkan kebiasaan meminta tolong kepada malaikat. Ia
membantu saya bangun pagi; ia tentu bisa membantu saya untuk urusan lain.
Saya juga menyesal melupakan kehebatan ”Jin Ifrit di dalam kepala”.
Tetapi, memang inilah salah satu yang paling misterius di
dalam perilaku manusia. Ketika kesulitan, orang mengeluh. Ketika jalannya
terlalu mudah, orang tidak percaya bahwa di dalam hidup ini ada jalan mudah.
Kalaupun percaya, mereka tidak punya ketekunan melakukannya. Padahal, yang
diperlukan cuma meminta tolong menjelang tidur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar