Kejutan
Jumat Pagi Trump
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 08 April 2017
Penyair Romawi, Quintus Horatius
Flaccus (65-8 SM), dikenal sebagai Horace, pernah menulis puisi begini: carpe
diem, quam minimum credula postero. Jika diterjemahkan secara bebas, frasa
tersebut berarti 'petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari
esok'.
Apakah Presiden Amerika Serikat
Donald Trump membaca puisi Horatius itu atau tidak, tetapi baginya keputusan
untuk menyerang pangkalan militer Suriah adalah momen carpe diem. Ia tidak
mau membuang waktu, segera bertindak, selagi kesempatan itu ada.
Maka, sekitar satu jam setelah
makan malam dengan tamunya, Presiden China Xi Jinping-sambil membahas
"kebandelan" Korea Utara yang terus melakukan uji coba nuklir-di
kelab Mar-a-Largo, Florida, Trump memerintahkan penyerangan terhadap
pangkalan udara Suriah, Shayrat, di Provinsi Homs. Jumat pagi (waktu Suriah)
itu, 59 peluru kendali serang daratan Tomahawk (TLAMs) meluncur dari kapal
perusak USS Porter dan USS Ross yang berada di Laut Mediterania Timur.
Inilah keputusan tegas yang
diambil Trump, kurang dari tiga bulan setelah berkuasa. Ia memerintahkan
intervensi militer di Timur Tengah, sebuah tindakan yang sangat berbeda
dengan apa yang berulang kali dikatakan semasa kampanye presiden- tidak akan
menjadi presiden intervensionis-dan mengecam malapetaka akibat kebijakan
pendahulunya, Presiden Barack Obama.
Serangan militer seperti itulah
yang beberapa tahun dipertimbangkan oleh Obama untuk dilakukan, setelah
pasukan Presiden Bashar al-Assad menggunakan gas saraf dalam operasi
militernya, 2013. Diberitakan saat itu, lebih dari 1.000 orang tewas.
Ketika itulah Obama
mempertimbangkan akan "menghukum" Assad karena tindakannya telah
melewati "garis merah". Persiapan militer sudah dilakukan, tetapi
tidak pernah ada serangan sampai masa jabatannya selesai. Kini, serangan
militer terhadap Suriah itulah yang dilakukan Trump.
Serangan militer tersebut secara
dramatik menegaskan keterlibatan langsung militer AS di Suriah. Hal ini,
secara teori, berisiko memunculkan konfrontasi AS dengan Rusia dan Iran yang
mendukung Assad.
Kepentingan
nasional
Trump menyatakan, tindakannya
tersebut dalam konteks "kepentingan keamanan nasional vital" AS. Ia
juga menyerukan "semua bangsa beradab untuk bergabung dengan AS guna
mengakhiri pembantaian dan pertumpahan darah di Suriah." Ajakan Trump
itu mengingatkan pada pernyataan George Bush saat mengawali invasi ke Irak
(2001): "You are either with us or against us" . Inilah perang yang
mengakhiri pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein yang dituduh memiliki
senjata pemusnah massal. Tuduhan itu tidak terbukti, tetapi Saddam telanjur
disingkirkan.
Kini, apakah nasib Assad akan
seperti Saddam, setelah jatuhnya korban jiwa demikian banyak? Belum lama ini
Gedung Putih menyatakan, penyingkiran Assad adalah tidak realistis (Assad
didukung oleh Rusia dan Iran). Namun, Kamis pagi, Menteri Luar Negeri AS Rex
Tillerson mengatakan, AS dan negara-negara lain mempertimbangkan penyingkiran
Assad dari kekuasaan, tetapi ia tidak mengatakan caranya bagaimana. Kebijakan
itu berbeda dengan Obama yang ingin mengakhiri kekuasaan Assad meski tidak
diwujudkan.
Rasanya, serangan militer tidak
akan serta-merta sampai pada kesimpulan seperti itu, mengingat Assad selama
ini dilindungi Rusia dan Putin adalah sahabat Trump. Ini alasan yang paling
sederhana. Apalagi, reaksi Rusia terhadap aksi militer AS juga bisa dikatakan
"normatif" dengan menyatakan, "agresi terhadap negara
berdaulat, melanggar norma-norma internasional."
Yang pasti, serangan militer itu
adalah reward politik bagi Trump yang selama ini kebijakannya selalu membuat
orang, rakyatnya, dan negara lain bingung. Boleh jadi serangan militer itu
juga "bisa" menjadi sarana untuk mendorong Assad pergi ke meja
perundingan guna mengakhiri perang yang sudah menelan ratusan ribu jiwa
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar