Jokowi,
Rini, dan Sri Mulyani
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
|
KOMPAS, 13 April 2017
Dalam bulan-bulan awal pemerintahannya, saya menulis di
harian ini bahwa realisasi pandangan dan kebijakan ekonomi Presiden Joko
Widodo (Jokowinomics) secara
struktural mendorong kebijakan fiskal yang ekspansif.
Hari ini, dalam konteks interpretatif, saya menemukan
jawaban dasarnya: bahwa dibandingkan dengan para pemimpin sebelumnya,
Jokowinomics itu menggambarkan perubahan dramatik pandangan
"politik-budaya" (the politics of culture) itu sendiri. Frasa
"membangun dari wilayah pinggiran" (start from the periphery),
salah satu matra dalam janji kampanye kepresidenannya pada 2014, dengan
terang merefleksikan kecenderungan ini.
Bagaimana "perubahan dramatik" itu harus kita
lihat? Meski lahir dan tumbuh di salah satu pusering (pusat) Tanah Jawa,
yaitu Solo, Jokowi tidak melihat Indonesia dari tanah kelahirannya. Yang
terjadi adalah sebaliknya: ia cenderung melihat Jawa dari sudut Indonesia.
Tanpa ada preseden, misalnya, Jokowi memilih merayakan Lebaran di Aceh dan
Minangkabau serta menghormati perayaan Natal di Papua. Perayaan-perayaan
besar yang secara konvensional dirayakan presiden-presiden sebelumnya di
istana Jakarta beralih ke tempat-tempat lain. Maka secara simbolis, di bawah
Jokowi, "istana" menjadi mobile atau bahkan tersebar hingga keluar
Jawa.
Dalam spekulasi imajinasi sejarah, tingkah laku politik
"mengindonesia" Jokowi ini bukan saja menunjukkan melunturnya
konsep Jawa sebagai "pusat", melainkan juga ketakberlakuan
kesadaran petanen dalam kosmologi politik tradisional. Melalui karyanya, Java
and Modern Europe: Ambiguous Encounter (1997), sejarawan Ann Kumar
menggambarkan petanen sebagai "jantung istana", refleksi kuatnya
kaitan ideologis antara istana dan dunia pertanian.
Maka sebagai petanen, kediaman raja-raja tradisional Jawa
yang secara harfiah berarti farmer's palace (istana petani) itu dianggap juga
sebagai "rumah suami-istri Dewi Sri" (housing the rice diety and
her consort). Sebagai akibatnya, upacara memasak beras juga dianggap sebagai
salah satu ritual raja yang paling suci.
Kendatipun benar bahwa presiden-presiden sebelumnya
mengetahui dengan pasti bahwa Indonesia tidaklah sebatas Jawa, dengan
mengambil risiko debatable, saya cenderung berspekulasi bahwa konsep petanen
ini memengaruhi bawah sadar mereka akan politik dan strategi pembangunan.
Melalui konsep petanen lahir kepercayaan pembangunan yang bukan saja
terkonsentrasi di Jawa, melainkan juga bersifat landed based.
Gabungan kenangan kolektif yang terpatri dalam pandangan
tradisional, sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan berasal dari daratan.
Dalam arti kata lain, konsep-konsep pembangunan yang selama ini berlaku lebih
merefleksikan landed-based ideological
and political views (pandangan-pandangan ideologi dan politik yang
didasarkan pada keutamaan daerah daratan).
Maka, tidak pula mengherankan bahwa sepanjang kurun
sebelum kepresidenan Jokowi, konsep Archipelagic State (Negara Nusantara)
belum menemukan realisasi maksimal. John G Butcher dan RE Elson dalam
Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (2017)
menyatakan bahwa sampai pertengahan 1950-an, negara ini tidak mempunyai
kedaulatan atas laut di sekitarnya.
Sebagai konsekuensinya, Indonesia, tulis keduanya,
"was made up of hundreds of pieces of territory separated from one
another by high seas" (terdiri dari ratusan wilayah yang terpisah satu
sama lain oleh laut bebas). Baru pada 1982, setelah Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957 dan penetapan undang-undang 1960 dalam Kabinet Djuanda,
Indonesia mendapat pengakuan internasional atas kedaulatan lautnya. Dan,
sejak itu, sesuai Konvensi PBB atas Hukum Laut, Indonesia secara resmi
menjelma menjadi archipelagic state, negara nusantara atau kepulauan.
Akan tetapi, sebagaimana telah disebut, negara kepulauan
ini "hanya nama resmi". Bahkan, di masa Orde Baru, ketika negara
"sangat kuat" dari segi politik-ekonomi, dan, ini penting, militer,
anarki kekuasaan di wilayah-wilayah perbatasan tetap terjadi. Ini
mengindikasikan bahwa dalam realitasnya negara nusantara atau negara
kepulauan belum tegak karena kekuasaannya tak penetratif. Wewenang
non-negara, tulis Michael Eilenberg dalam At the Edges of States: Dynamic of
State Formation in the Indonesian Borderlands (2012), lebih berlaku daripada
undang-undang resmi.
Kuatnya bentuk-bentuk wewenang non-negara ini, sambungnya
lagi, dengan jelas menunjukkan lemahnya kehadiran negara, apalagi di masa
kian bertambahnya otonomi daerah.
Maka, dari segi konseptual, strategi pembangunan yang
dimulai dari wilayah pinggiran yang dilaksanakan Jokowi dapat kita tafsirkan
sebagai perubahan dramatik politik budaya di Indonesia. Dan, prioritasnya
membangun infrastruktur di luar Jawa, terutama di wilayah perbatasan, adalah
refleksi perubahan kesadaran itu: mewujudkan langkah konkret ke arah
kemantapan eksistensi Negara Nusantara.
Rini dan Sri Mulyani: kekuatan
fiskal dan BUMN
Perubahan dramatis pandangan politik budaya dan hasrat merealisasikan
negara nusantara melalui pembangunan infrastruktur di luar Jawa inilah yang
mendorong kebijakan fiskal menjadi ekspansif. Bagaimanapun juga pembangunan
infrastruktur di semua wilayah pinggiran bagi sebuah negara nusantara sebesar
Indonesia memerlukan dana raksasa dalam jumlah tak berpreseden. Maka,
ketepatan kebijakan fiskal menjadi sangat menentukan.
Semua ini menyangkut kemampuan penyusunan APBN yang prima.
Dalam tulisannya, "Titik Kritis APBN 2015" (Kompas, 2/10/2014),
Mudrajad Kuncoro memberikan kisi-kisi teknikal penyusunan APBN, yang salah
satunya adalah revenue cluster.
Pertanyaan yang harus diangkat di sini adalah bagaimana mengantisipasi
berapa penerimaan negara tahun depan dengan asumsi tak ada perubahan struktur
pajak tahun depan? Ke manakah pajak akan difokuskan dan bagaimana dampaknya
bagi daerah maupun bagi golongan ekonomi berbeda?
Terhadap pertanyaan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati telah memberikan jawaban konkret. Walau belum maksimal, program
pengampunan pajak yang dikawalnya selama sembilan bulan ini telah
memperlihatkan hasil lebih nyata. Dalam tulisannya, "Pasca Program
Amnesti Pajak" (Kompas, 5/4/2017), Yustinus Prastowo menyatakan bahwa
hingga 31 Maret lalu, Rp 4,866 triliun harta telah dideklarasikan para wajib
pajak di dalam maupun luar negeri dan sebesar Rp 147 triliun komitmen
repatriasi.
Kendatipun masing-masing repatriasi harta hanya mencapai
15 persen dan uang tebusan hanya mencapai 82 persen dari target, deklarasi
harta melampaui target Rp 4.000 triliun. Yang terpenting ditekankan di sini
bukan saja dengan fakta di atas ahli pajak Prastowo melihat program
pengampunan itu "berhasil", melainkan juga gambaran data tentang
sumber-sumber pemasukan pajak menjadi kian jelas dibandingkan dengan sebelumnya.
Namun, yang terpenting di sini adalah soal expenditure
cluster dalam APBN sebagaimana diajukan Mudrajad. Pertanyaannya: program apa
yang akan dibiayai APBN (dan APBD) untuk mencapai target? Pertanyaan ini
jelas menunjukkan "politik anggaran", yakni bagaimana
mengalokasikan anggaran secara produktif untuk mencapai target politik, yaitu
langkah-langkah konkret mengukuhkan negara nusantara, sebagaimana telah
menjadi kesadaran politik Jokowi. Di sini, peranan Sri Mulyani menjadi
krusial. Di tengah-tengah keterbatasan kemampuan fiskal, mampukah ia
menyelesaikan tugas "sejarah-politik" ini secara bermakna?
Atas pertanyaan ini, saya teringat pada optimisme Sri
Mulyani terhadap perekonomian Indonesia dalam perubahan geopolitik dan
ekonomi dunia dewasa ini. Di samping menunjuk kuatnya konsumsi domestik dan
naiknya neraca perdagangan, Sri Mulyani menyatakan sebagaimana dilaporkan The
Jakarta Post (24/3/2017): "increasing capital expenditure among
state-owned companies" (meningkatnya belanja modal BUMN-BUMN) untuk
menguatkan struktur optimismenya itu atas perekonomian Indonesia.
Di sini, kita melihat krusialnya peranan Menteri BUMN Rini
Mariani Soemarno di dalam peneguhan politik negara nusantara Jokowi. Di bawah
Rini, akumulasi energi seluruh BUMN telah menjelma menjadi "kuasi
BUMN". Frasa ini saya ambil dari ucapan Rini sendiri dalam sebuah
seminar BUMN bersama harian Kompas: BUMN sebagai sisi lain dari APBN. Dalam
arti bahwa BUMN, di samping korporasi, adalah "agen pembangunan".
Untuk merealisasikan tujuan ini, Rini menekankan sinergi antar-BUMN dan
mengakumulasikan modal secara produktif serta berdaya guna dengan program
pembentukan induk usaha antarsektor badan usaha milik negara ini.
Sebagai "agen pembangunan", Rini bukan saja
mengarahkan energi BUMN berinvestasi di sektor-sektor strategis, seperti
infrastruktur, yang dihindari pelaku swasta, melainkan juga berusaha menekan
inflasi, melalui kinerja Pertamina, dengan kebijakan satu harga bagi
komoditas BBM dari Papua ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Secara teknikal-ekonomis,
tindakan ini menstabilkan harga di "wilayah pinggiran" karena
tingginya BBM cenderung mendorong inflasi. Akan tetapi, secara politik,
tindakan Rini ini bisa kita lihat sebagai salah satu langkah meneguhkan
Negara Nusantara Indonesia.
Sebagai "kuasi APBN", proses pembentukan induk
BUMN antarsektor secara teoretis akan melahirkan dua hal pokok. Pertama,
ketersediaan dana dalam negeri yang lebih terintegrasi untuk mendorong
kinerja perekonomian nasional secara lebih signifikan. Kedua, akibat efek
kumulatifnya, penciptaan induk BUMN menciptakan leverage, yaitu kemampuan
membuka akses sumber daya finansial secara eksponensial dibanding korporasi
negara yang "terpencar-pencar".
Pilar politik negara nusantara
Perubahan budaya politik Jokowi yang terefleksi pada
Jokowinomics, dengan demikian, berintikan langkah-langkah meneguhkan Negara
Nusantara Indonesia. Sebuah langkah yang jauh lebih luas dari hanya
pergeseran paradigma pembangunan dari darat ke laut. Sebab, tekanannya
terfokus pada "membangun Indonesia" secara keseluruhan yang
melingkupi berbagai pulau yang luas. Tanpa terasa, melalui distribusi
kewenangan yang dimiliki masing-masing, proyek politik raksasa ini banyak
bergantung pada kepiawaian dua perempuan Indonesia: Menteri BUMN Rini Mariani
Soemarno dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Maka, walau terasa agak melebih-lebihkan, kedua perempuan
ini telah bertindak sebagai pilar yang menentukan tugas bersejarah bagi
bangsa: keberhasilan politik Negara Nusantara Indonesia dalam pengertian yang
sebenarnya.
Kinerja yang telah, sedang, dan akan digelar Sri Mulyani
dan Rini ini adalah usaha kita merayakan bulan Raden Ajeng Kartini di dalam
perspektif tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar