JKN
Mematikan Swasta
Hasbullah Thabrany ; Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas
Indonesia (CSSUI); Konsultan Dewan Jaminan Sosial Nasional–Pandangan Pribadi
|
KOMPAS, 08 April 2017
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
memasuki tahun keempat dengan gonjang-ganjing kebangkrutan BPJS Kesehatan dan
matinya JKN. Selama tiga tahun BPJS Kesehatan defisit lebih dari Rp 18
triliun.
Manajemen buruk, kecurangan dokter
dan rumah sakit (RS), kecurangan peserta, dan sebagainya sering menjadi
tudingan. Ketidakterbukaan BPJS menambah kecurigaan banyak pihak. Padahal,
sebagai badan hukum publik, BPJS harus transparan. Manajemen BPJS pun
kalap dengan membuat aturan waktu tunggu, denda pelayanan, dan upaya lain
untuk mengurangi defisit. Upaya-upaya yang tak sesuai dengan tujuan utama
JKN.
Kabinet Kerja mendapat berkah dari
JKN. Kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang kesehatan di
atas 65 persen. Kini, 175 juta orang telah menjadi peserta JKN. Namun,
sekitar separuhnya tak menggunakan haknya ketika perlu rawat jalan RS.
Penduduk kelas menengah atas dan banyak pegawai negeri, pejabat yang membuat
aturan JKN, tak menggunakan JKN. Mereka lebih memilih membayar sendiri atau
membeli asuransi kesehatan tambahan untuk mereka gunakan.
Bahkan, BPJS Kesehatan pun membeli
asuransi tambahan swasta untuk pegawainya. Hal itu merupakan indikasi layanan
JKN tak memuaskan. Namun, BPJS Kesehatan mengklaim kepuasan peserta lebih
dari 75 persen. Klaim yang bias karena sampel survei hanya dilakukan pada
peserta yang pernah menggunakan.
Meskipun lebih dari 1.000 RS
swasta telah bekerja sama dengan BPJS, pemantauan dan laporan publik
menunjukkan banyak akal-akalan RS. Pasien peserta JKN mendapat diskriminasi,
bahkan di RS milik pemerintah. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa
sebenarnya RS setengah hati melayani peserta JKN.
Waktu kunjungan yang dibatasi pagi
dan hari kerja saja, pembatasan kuota pasien JKN, dan pelayanan lab/radiologi
pasien JKN sebagian per hari, memaksa pasien JKN bolak-balik menghabiskan
waktu dan biaya transpor. Semua itu dilakukan fasilitas kesehatan karena
bayaran BPJS di bawah harga keekonomian. Selain itu, terdapat diskriminasi
besaran bayaran antara fasilitas kesehatan milik pemerintah dan milik swasta.
Bayaran
fasilitas kesehatan
Diskriminasi bayaran kapitasi dan
CBG (casemix based groups) terjadi sejak 2014. Bayaran kapitasi adalah
pembayaran borongan untuk layanan dokter umum yang mencakup konsultasi,
pemeriksaan lab, dan obat. Sejak 2014, besaran kapitasi kepada dokter umum/klinik
swasta tidak berubah, yaitu Rp 8.000 per orang per bulan (POPB). Sementara
inflasi selama empat tahun sudah hampir 20 persen.
Bidan praktik swasta juga dibayar
hanya sekitar separuh dari tarif persalinan rata-rata pada 2013 sampai
sekarang. Di tengah jalan, pemerintah dan BPJS menambah layanan yang harus
ditanggung dokter dan klinik. Jumlah peserta kapitasi di dokter umum atau
klinik swasta relatif jauh lebih sedikit.
Bayaran kapitasi ke puskesmas
hanya beda sedikit, Rp 6.000 POPB, tetapi jumlah peserta yang diberikan ke
puskesmas luar biasa banyak. Di Jakarta ada puskesmas mendapat 160.000
peserta, menghasilkan bayaran kapitasi sekitar Rp 1 miliar per bulan.
Di luar bayaran kapitasi,
puskesmas masih dapat kucuran dana APBN dan APBD yang setiap tahun bisa
dinaikkan. Alhasil, puskesmas mendapat bayaran hampir dua kali lipat. Namun,
dari berbagai pemantauan dan evaluasi, kinerja layanan puskesmas lebih jelek
dibandingkan dengan kinerja klinik swasta.
Bayaran CBG juga diskriminatif
terhadap RS swasta. Bayaran CBG yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai
konsep pembayaran borongan berbasis risiko. Seharusnya bayaran CBG sama besar
antar-kelas RS dan memperhitungkan dana APBN/APBD yang masuk ke RS
pemerintah. Namun, sejak 2014, RS kelas C dan D dibayar sekitar sepertiga
untuk kasus dan tingkat kesulitan yang sama.
Teori ekonomi, untuk mendorong
persaingan sehat dan efisiensi, RS harus dibayar sama untuk kasus dan tingkat
kesulitan yang sama. Lagi pula, kebanyakan RS swasta dikategorikan kelas C
dan D oleh pemerintah. Maka, jadilah bayaran ke RS milik pemerintah yang
umumnya masuk kelas B, A, dan kelas khusus, 2-3 kali lebih besar. Padahal, RS
milik pemerintah masih dapat kucuran dana APBN dan APBD. Keluhan pimpinan RS
swasta yang begitu banyak tampaknya tidak berefek. Tidak mengherankan jika RS
swasta mematok kuota bagi pasien JKN dan sering memaksa pasien mambayar
sendiri layanan yang diterimanya, tidak menggunakan hak JKN.
Dengan bayaran yang di bawah harga
keekonomian dan tidak disesuaikan dengan inflasi, fasilitas kesehatan swasta
dibayar semakin kecil. Padahal, bayaran awal pun sudah di bawah harga
keekonomian. Kabarnya, Kementerian Keuangan-lah yang mematok kenaikan bayaran
CBG tidak lebih dari 6 persen per tiga tahun. Kebijakan ini sama sekali tidak
masuk akal sehat dan akan mematikan swasta.
Ketika Indonesia masuk era
reformasi, tarif telepon dinaikkan agar swasta berminat investasi. Namun, di
era JKN, tarif JKN malah ditekan jauh di bawah harga keekonomian. Tender obat
pun ditekan pada harga terendah, menimbulkan spekulan yang ikut tender.
Industri farmasi besar yang ikut tender e-catalogue tidak memadai jumlahnya.
”Jangankan ada ruang pengembangan, biaya produksi untuk kualitas yang bagus
saja sulit dicapai,” begitu ucap seorang pengusaha farmasi.
Iuran-biang
keladi
Dalam policy paper yang
diluncurkan Oktober 2016, Bank Dunia mengimbau Indonesia untuk memperbesar
belanja kesehatan. Tentu termasuk iuran JKN. Mengapa? Karena sejak 40 tahun
lalu, belanja kesehatan Indonesia terendah di dunia untuk kelas ekonomi yang
sama. Belanja JKN 2016 hanya sekitar Rp 35.000 POPB. Iuran rata-rata yang
diterima BPJS Kesehatan sekitar Rp 34.000 POPB. Iuran Penerima Bantuan Iuran
yang dibayar dari dana APBN hanya Rp 23.000 POPB.
Sangat kontras dengan premi
jaminan kesehatan pejabat tinggi yang dibayar dari APBN yang mencapai Rp 2
juta POPB. Namun, jaminan kesehatan pejabat itu ke perusahaan asuransi, bukan
ke BPJS Kesehatan. Belanja kesehatan rata-rata penduduk Indonesia pada 2013,
sebelum JKN, sudah mencapai Rp 136.000 POPB. Jelas, iuran yang ditetapkan
pemerintah jauh di bawah harga keekonomian yang memungkinkan layanan
kesehatan berkembang.
Akankah Indonesia keluar dari
buruknya layanan kesehatan? Keberanian dan konsistensi Presiden Jokowi dengan
Nawacita 5, peningkatan kualitas bangsa, bisa mengubah. Namun, pejabat
Indonesia harus berani keluar dari belenggu ”tidak ada fiskal”, lagu lama
yang selalu diputar. Nawacita belum diikuti kebijakan operasional yang
konsisten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar